Bagi petani kebanyakan, tidak penting mengenal siapa itu Rachel L. Carson, yang terpenting adalah bagaimana ketika matahari mulai menampakkan wajahnya, mereka harus menuju ke kebun untuk bekerja, mengolah lahan, mengurus tanaman, dan atau ketika tanaman telah ditanam dan memerlukan nutrisi maka para petani tersebut memberikan sedikit nutrisi (pupuk) untuk kesuburan tanaman mereka.
Singkat kata, yang ada dalam pikiran para petani adalah bagaimana melipatgandakan hasil pertanian mereka untuk mendapatkan sebanyak-banyaknya keuntungan. Begitulah siklus kehidupan para petani.
Ketika tersebar isu yang tidak berkaitan dengan lahan (kebun), tanaman, hasil panen, dan segala tetek bengkeknya yang berhubungan dengan pekerjaan mereka, maka itu hanyalah menjadi angin lalu. Apalagi menanyakan kepada mereka perihal Rachel L. Carson. Bukannya mendapatkan respon posistif, kita akan dibuat terdiam seribu bahasa dengan pertanyaan balik mereka, "memangnya Rachel Carson akan membantumu mengurus kebun dan tanaman?" atau, "apakah Rachel Carson akan memberimu makan sehari-hari?". Begitulah kira-kira pertanyaan balik yang dicontohkan oleh seorang teman beberapa waktu lalu yang masih terrekam dalam ingatan saya.
Mengenal sosok Rachel L. Carson bagi seorang petani pada era sekarang memang tidak menjadi sebuah keharusan, disaat para petani dituntut untuk bagaimana menghasilkan panen yang dapat menopang kebutuhan hidup sehari-hari. Tetapi, mengenal pemikirannya dan mengetahui kekhawatirannya atas apa yang akan dialami oleh petani dan masyarakat dunia adalah menjadi sebuah keharusan.
Beberapa dekade lalu, tepat pada tahun 1962, Rachel L. Carson, seorang biolog kelautan dan penulis alam berkebangsaan Amerika Serikat pernah menulis buku yang sangat fenomenal. Silent Spring, merupakan salah satu dari beberapa buku yang ditulis oleh Rachel L. Carson yang mengungkapkan kekhawatirannya atas penggunaan bahan-bahan kimia (pestisida) secara berlebihan dalam peningkatan produktivitas hasil pertanian yang selanjutnya dikonsumsi oleh manusia.
Kekhawatiran yang dirasakan oleh Rachel L. Carson akan hasil-hasil pertanian yang telah terkontaminasi dengan zat-zat pestisida, secara tidak langsung membawa dampak buruk bagi kelangsungan kehidupan mahluk hidup di Bumi, termasuk manusia itu sendiri. Unsur-unsur kimia yang terkandung dalam pestisida tidak dapat dengan mudah dihancurkan. Unsur-unsur itu bahkan terakumulasi melalui rantai makanan dan tersebar melalui ekosistem. Bersamaan dengan pupuk nitrogen, pestisida juga dapat membahayakan kesehatan petani dan buruh tani.
Jauh sebelum manusia mengenal teknologi pertanian dan pemanfaatan bahan kimia untuk menggenjot pertumbuhan produksi hasil pertanian. Para petani dahulu biasanya menanam berbagai macam tanaman pangan setiap tahun, yang memutarnya sehingga keseimbangan di dalam tanah itu terlestarikan. Tidak ada keperluan untuk pestisida, karena serangga yang tertarik dengan suatu tanaman pangan tertentu akan menghilang dengan adanya tanaman pangan berikutnya. Dengan demikian petani tidak membutuhkan pupuk kimia, melainkan memperkaya sawah dan ladang mereka dengan pupuk hijau, yang berarti mengembalikan materi ketanah untuk memasuki siklus biologis.
Praktik pertanian ekologis yang telah kuno itu berubah secara drastis kira-kira tiga abad yang lalu, ketika para petani beralih dari produk organik ke produk sintetis. Penggunaan pupuk kimia dan pestisida secara besar-besaran telah mengubah keseluruhan susunan pertanian dan peternakan. Industri membujuk para petani bahwa mereka akan dapat memperoleh hasil yang melimpah dengan menanami tanaman pertanian mereka yang luas dengan satu tanaman pangan tunggal/monokultur yang benar-benar menguntungkan dan mengendalikan hama dengan bahan-bahan kimia.
Pada tahun 1968, sejak bergulirnya revolusi hijau. Salah satu pembenaran utama revolusi hijau adalah argumen bahwa teknologi pertanian yang baru diperlukan untuk memberi makan dunia yang lapar. Pada masa kelangkaan, hanya produksi yang ditingkatkan yang akan menyelesaikan masalah kelaparan, dan hanya agribisnis dalam skala besarlah yang mampu menghasilkan lebih banyak makanan.
Pembenaran revolusi pertanian bahwa pemanfaatan teknologi dan pemanfaatan bahan-bahan kimia dalam dunia pertanian akan mendatangkan keuntungan yang berlipat ganda justru memberikan dampak negatif. Adalah Frances More Lapped dan Joseph Collins, pendiri Institute for Food and Development Policy di San Fransico. Dalam penelitiannya menyimpulkan bahwa, kelangkaan makanan merupakan suatu mitos, dan agribisnis tidak dapat menyelesaikan masalah kelaparan, tetapi malah sebaliknya justru melestarikan dan bahkan membuatnya semakin buruk.
Misalnya, China, mempunyai penduduk dua kali lipat dari pada India, tetapi China tidak ada kelaparan dalam skala besar. Ketimpangan merupakan penghambat utama di dalam semua upaya untuk memerangi kelaparan dunia saat ini (Frances M. Lapped & Joseph Collins). Di Amerika Tengah, sekurang-kurangnya separuh dari tanah pertanian digunakan untuk menanam tanaman perdagangan untuk ekspor, sementara 70% dari jumlah anak-anak yang ada menderita kekurangan gizi. Senegal pun demikian, sayur-sayuran untuk diekspor ke Eropa ditanam di tanah pilihan, sementara mayoritas penduduk pedesaannya kelaparan.
Di Indonesia pun tidak ketinggalan praktik-praktik kejam tersebut diterapkan. Penerapkan sistem pertanian monokultur dalam jumlah besar untuk di ekspor merupakan salah satu persoalan serius dikala masyarakat sendiri diliputi masalah gizi buruk, kelaparan dan lain-lain.
Intinya, semua khasanah sistem tradisional lokal itu sesungguhnya dapat dikembangkan dan dimanfaatkan sebagai bagian dari program ketahanan pangan, baik ditingkat lokal, daerah, maupun nasional. Untuk itu diperlukan serangkaian kebijakan dan seperangkat kelembagaan. Tetapi yang paling mendasar adalah perubahan cara pandang pembangunan itu sendiri secara keseluruhan, termasuk cara pandang yang selama ini selalu "memandang sebelah mata" terhadap sistem-sistem tradisional lokal.
Tinggalkan Balasan
Anda harus masuk untuk berkomentar.
Terkait