Keberagaman budaya Indonesia telah menjadi daya tarik unik yang tak ternilai. Di tengah pesatnya modernisasi dan perkembangan zaman, beberapa wilayah di Indonesia masih menjadi rumah bagi masyarakat adat yang mempertahankan tradisi leluhur mereka. Salah satu contoh yang menonjol adalah Desa Cigugur, sebuah permukiman yang terletak di Kabupaten Kuningan, Jawa Barat. Desa Cigugur menjadi saksi bisu dari kelestarian budaya dan tradisi yang telah mengakar dalam kehidupan masyarakatnya. Salah satu upacara tradisi yang masih dijaga dengan penuh kehormatan dan kepercayaan oleh masyarakat adat di sana adalah Seren Taun.
Pelaksanaan tradisi Seren Taun diselenggarakan oleh penganut Penghayat Kepercayaan. Tradisi ini telah diwariskan turun-temurun dari nenek moyang mereka. Seren Taun menjadi sebuah peristiwa tahunan yang dinantikan oleh seluruh warga Desa Cigugur, walaupun terdapat tiga agama yang dominan dianut oleh masyarakat Desa Cigugur, yaitu Islam, Katolik, dan agama lokal (Penghayat Kepercayaan). Seren Taun menjadi momen istimewa ketika masyarakat desa bersatu padu untuk merayakan hasil panen yang melimpah, sebagai bentuk rasa syukur atas anugerah dari Tuhan yang telah melimpahkan berkah pada pertanian mereka. Pertanian telah menjadi mata pencaharian utama bagi masyarakat desa ini selama bertahun-tahun. Perayaan ini menjadi waktu yang tepat untuk mengucapkan rasa syukur atas anugerah yang diberikan. Penyerahan berbagai produk pertanian, terutama padi melambangkan ungkapan syukur mereka. Kehadiran padi memiliki keterkaitan yang tak terpisahkan dengan legenda Pwah Aci Sanghyang Asri (Dewi Sri) yang turun ke Marcapada dan dianggap sebagai pemberi kesuburan pada tanah dan tumbuhan seperti yang diceritakan dalam kisah masyarakat Pasundan.
Potensi hasil panen yang melimpah menjadikan Seren Taun sebagai salah satu upacara pertanian yang terbesar dan paling mencolok di wilayah Kuningan. Upacara Seren Taun menjadi saksi kehadiran berbagai lapisan masyarakat, termasuk yang hadir secara mandiri maupun yang mendapat undangan khusus dari Ketua Adat masyarakat Cigugur. Sejumlah masyarakat adat dari berbagai wilayah di Jawa menjadi tamu yang selalu turut hadir dalam upacara ini. Kehadiran masyarakat adat tersebut memiliki tujuan utama yaitu sebagai bentuk penghormatan terhadap upacara Seren Taun yang digelar oleh masyarakat Cigugur. Bukti nyata dari penghormatan ini dapat dilihat dari kesediaan mereka untuk berpartisipasi aktif dalam prosesi Seren Taun. Selain membantu dalam upacara ritual religius, mereka juga turut menyajikan pertunjukkan kesenian tradisional yang masih diwariskan secara turun temurun.
Istilah Seren Taun berasal dari kosakata bahasa Sunda, dengan "Seren" mengandung makna menyerahkan, sementara "Taun" merujuk pada tahun yang terdiri dari 12 bulan. Upacara ini diselenggarakan secara rutin di Desa Cigugur, Kabupaten Kuningan, Jawa Barat yang berlangsung selama satu minggu atau bahkan lebih dengan rangkaian upacara yang puncaknya adalah pada tanggal 22 Rayagung. Setiap tahun, seluruh warga desa berkumpul di Gedung Paseban (Keraton Tri Panca Tunggal) yang telah dihias dengan indah. Seluruh warga mengenakan pakaian adat dan menampilkan beragam kesenian tradisional seperti tarian, musik, dan pertunjukkan seni lainnya yang dijalankan dengan penuh kekhidmatan dan semangat budaya.
Tarian yang dipertunjukkan antara lain tarian Tarawangsa yang dipertunjukkan pada malam hari menjelang pagi hari, dimulai pukul 21.00 WIB hingga pukul 04.00 WIB. Tarian ini merupakan salah satu tarian daerah yang berasal dari masyarakat Sunda, tepatnya dari daerah Sumedang, Jawa Barat. Dalam bahasa Sunda, kata "Tarawangsa" terbentuk dari gabungan kata "Tarawang" yang berarti menerawang, dan "Esa" yang berarti Maha Esa (Tuhan). Pertunjukkan tarian Tarawangsa berkaitan dengan upacara penghormatan terhadap padi. Menari dalam Tarawangsa menjadi perantara dengan dunia spiritual, para leluhur atau karuhun dan Pwah Aci Sanghyang Asri.
Tarian Tarawangsa menampilkan keindahan budaya dengan melibatkan kelompok pemain musik yang memainkan alat musik yang juga bernama Tarawangsa dan dikenal dengan sebutan Jentréng yang menyerupai kecapi, tetapi alat musik ini hanya berdawai dua. Di samping para pemusik, terdapat "dukun" yang bertugas membaca mantra.
Tarian Tarawangsa diawali dengan petikan atau jentréngan dan gesekan alat musik Jentréng, kemudian ada seorang lelaki yang mengenakan kain dengan keris di belakang pinggangnya beserta empat selendang berwarna warni di leher. Lelaki tersebut menari atau Ngibing mengikuti tempo irama Jentréng yang semula bertempo lambat berubah menjadi bertempo cepat. Setelah lelaki tersebut selesai menari dan alunan Jentréng yang bertempo cepat berhenti, pergantian penari pun dilakukan. Tarian dilanjutkan oleh lima penari perempuan. Hal yang menarik adalah ketika tarian dari para penari telah usai, setiap penonton, baik laki-laki maupun perempuan memiliki kesempatan untuk menjadi penari dengan bergabung dalam kelompok orang-orang yang sedang menari. Bagi perempuan yang sedang dalam keadaan haid tidak boleh ikut menari karena tarian Tarawangsa mewajibkan penarinya dalam keadaan suci dari haid.
Setiap penari diharuskan menggunakan selendang berwarna warni seperti merah, putih, kuning, dan hijau. Tidak terdapat gerakan tari khusus yang harus diikuti, tetapi umumnya para penari akan mengekspresikan diri secara bebas dan menari menurut hati nurani mengikuti alunan musik tradisional khas Sunda yang sedang dimainkan. Khusus penari yang mengalami kenaikan tingkat sisi spiritual, maka akan dikalungkan selendang tambahan. Dengan demikian, tarian Tarawangsa dapat dianggap sebagai seni yang bersifat spiritual. Melalui tarian ini, masyarakat disadarkan akan pentingnya meningkatkan rasa ketuhanan. Ketika kesadaran tentang ketuhanan sudah mengakar dalam diri seseorang, diharapkan manusia tersebut akan berperilaku baik dan bermoral.
Seren Taun dapat menjadi ajang untuk memperkenalkan budaya desa kepada wisatawan yang datang dari berbagai daerah. Tidak hanya beragam pertunjukkan kebudayaan, pada upacara Seren Taun juga disajikan hidangan lezat dari hasil panen seperti nasi dari beras merah. Setiap hidangan disajikan dalam suasana penuh keakraban, ketika masyarakat berbagi cerita dan tawa bersama. Seren Taun di Desa Cigugur bukan hanya sekadar upacara seremonial, tapi juga merupakan momen berharga untuk mempererat tali persaudaraan antarwarga desa. Semangat gotong-royong dan kebersamaan begitu kental terasa selama perayaan ini, memperkuat solidaritas serta rasa cinta terhadap tanah kelahiran mereka. Di tengah pesatnya perkembangan teknologi dan modernisasi, tradisi Seren Taun tetap dijaga dan dilestarikan sebagai warisan budaya yang berharga. Melalui perayaan ini, Desa Cigugur menjadi lebih hidup, berwarna, dan penuh dengan kearifan lokal yang tak ternilai.
Tinggalkan Balasan
Anda harus masuk untuk berkomentar.
Terkait