Perdagangan Satwa Liar

Perdagangan Satwa Liar
15 October 2019
891

Indonesia merupakan negara yang terdiri dari pulau-pulau dan dipenuhi dengan keanekaragaman baik hayati maupun hewani. Hampir seluruh spesies satwa maupun tumbuhan ada di Indonesia. Letak Indonesia yang strategis diapit oleh dua benua dan oleh dua samudera membuat negara ini semakin memiliki daftar keindahan dan kekayaan alam yang berlimpah. Selain itu, Indonesia adalah salah satu jalur perdagangan internasional baik pada masa kerajaan Hindu-Budha, Islam, Kolonial hinga sampai saat ini. Banyak bangsa-bangsa dari luar yang datang ke Indonesia untuk berdagang seperti bangsa Arab, Persia, India bahkan Cina. Hanya caranya saja yang berbeda. Jika dulu menggunakan sistem barter atau bertukar barang seiring perkembangan zaman sehingga memiliki mata uang sebagai patokan untuk pembelian barang.

Dalam sejarahnya, sistem barter telah dipakai oleh orang pribumi atau orang Indonesia sendiri dari zaman purbakala. Pada zaman itu benda-benda yang ditukar dapat berupa makanan, daging hewan, kapak untuk berburu, aksesoris dan lainnya. Setelah perkembangan zaman pada masa kerajaan, sistem barter masih digunakan sebagai bentuk perniagaan di Nusantara, dimana barang yang mereka tukarkan dapat berupa kerajinan dari bagian tubuh hewan, buah-buahan, makanan yang dapat berupa daging hewan dan lainnya. berarti dapat kita katakan bahwasannya sebelum kedatangan Dinasti Han ke Nusantara untuk melakukan barter dengan penduduk pribumi, penduduk pribumi sendiri sudah melakukan perdagangan satwa terlebih dahulu dengan sesama pribumi.
Perkembangan selanjutnya perdagangan satwa liar dianggap mulai meresahkan ketika mulai terjadi perdagangan satwa liar secara besar-besaran pada tahun 1960-an dimana perdagangan ini dilakukan oleh perusahaan-perusahaan besar. Maraknya perdagangan satwa liar secara berlebihan ini mulai dianggap memilki dampak yang merugikan sehingga pada tahun 1980-an CITES (Convention On International Trade In Endergered Species dan negara barat lainnya mulai mewacanakan program-program penangkaran satwa liar yang ada di seluruh dunia.

Untuk di Indonesia sendiri dengan kekayaan alam yang berlimpah dan banyaknya jenis flora dan fauna yang ada, Indonesia menjadi sala satu penyumbang perdagangan satwa liar yang besar. Ternyata tidak hanya Indonesia yang menarik, hewan-hewan endemik di Indonesia banyak diburu dan menjadi objek untuk diperjualbelikan. Ada beberapa alasan mengapa satwa menjadi salah satu hal yang diperjualbelikan atau menjadi bahan dagangan. Pertama adalah dikarenakan kebiasaan dari terdahulu kita. Dari zaman kerajaan bagian tubuh satwa sudah dimanfaatkan dalam kehidupan sehari-hari. Menurut beberapa orang, bagian tubuh dari satwa dianggap memiliki hal magis sehingga banyak yang menyimpan dan ingin memilikinya. Selain itu, banyak juga naskah-naskah aksara yang ditemukan oleh sejarawan ditulis menggunakan media tanduk kerbau, gading gajah atau yang sejenis.

Hingga zaman kolonial kaum-kaum terpandang biasa menjadikan bagian dari tubuh satwa sebagai hiasan baik dijadikan pajangan dinding sampai menjadi hiasan dimeja, dijadikan sebagai mantel bahkan karpet alas mereka duduk. Semuanya dijadikan untuk menunjukkan status sosial mereka yang berkelas. Sehingga, tidak salah jika kebiasaan seperti ini tetap berkembang sebagai bentuk wujud pembuktian status sosial beberapa golongan yang tinggi. Berikutnya yang kedua adalah beberapa orang percaya bahwa beberapa satwa dapat menyembuhkan berbagai macam penyakit. Contohnya monyet dipercayai dapat meningkatkan vitalitas tubuh, otak monyet dipercayai dapat mengatasi gangguan lemah sahwat. Padahal hal tersebut dapat dikatakan sebagai mitos. Dikarenakan belum teruji secara medis.

Kemudian yang ketiga adalah trend kekinian. Saat ini, pasti sering kita temui setiap minggu sore ditaman kota masing-masing beberapa komunitas yang mengatakan diri mereka sebagai “pecinta hewan” seperti pecinta musang, pecinta reptil dan komunitas hewan lainnya. Masyarakat biasanya selalu mengikuti perkembangan zaman. Ketika musim bermain sepeda mereka menyukai sepeda, ketika sedang tenar-tenarnya mencari pokemon semua ikut-ikutan mencari pokemon. Begitu juga dengan komunitas yang berbasis “pecinta hewan” ini. Melihat orang-orang yang berkumpul dengan membawa satwa yang menurut mereka sepertinya menarik dan mudah untuk merwatnya banyak masyarakat yang mulai tertarik untuk memeliharanya juga. Padahal mau berbentuk apapun komunitas “pecinta hewan” jika benar-benar mencintai mereka pasti tidak akan memelihara hewan tersebut, karena itu dapat menghilangkan naluri alam liar dari satwa tersebut. Seperti yang dipaparkan oleh Pungki dari Animals ID saat kegiatan The World Biodiversity Day 2016 di Palembang, “Mencintai tidak harus memiliki. Jika kita memang cinta dengan hewan tidak harus didalam sebuah komunitas. Kita cukup menjaganya namun tidak memeliharanya”

Faktor yang terakhir adalah peluang pasar. Maraknya komunitas hewan semakin mendorong keinginan masyarakat untuk memelihara satwa. Sehingga banyak hewan yang tergolong disiksa terlebih dahulu sebelum diperjualbelikan. Seperti musang atau monyet yang dipotong terlebih dahulu gigi-gigi mereka sebelum diperjualbelikan atau dengan cara lainnya. Hal-hal seperti ini memang memiliki keuntungan bagi penjual namun sangat menyiksa satwa-satwa. Dari beberapa faktor diatas, wajar jika perdagangan satwa liar masih sangat banyak terjadi khususnya di Indonesia.

Berdasarkan buku buletin dari ProFauna dimana salah satu pembahasan mengenai Perdagangan Satwa Liar dan Bagian-Bagiannya Semakin Tak Terkendali. Hasil wawancara dengan Chairman Profauna Indonesia, Rosek Nursahid. Jika dirangkingkan berdasarkan tingginya tingkat perdagangan satwa liar, yang saat ini sangat tinggi diperdagangkan adalah spesies reptil seperti biawak dan ular, kedua pada spesies teringgiling dan landak dan ketiga pada spesies primata seperti lutung dan kera ekor panjang dan yang terakhir spesies penyu. Kemudian jika kita pergi ke “pasar burung” tempat penjualan hewan-hewan untuk peliharaan. Akan kita temui penjual musang, burung elang, sugar glider, landak mini, ular, kadal hingga jenis satwa yang dilindungi seperti kucing hutan.

Jika perdaganagan satwa biasanya dilakukan pertemuan antar penjual dan pembeli. Saat ini dikarenakan globalisasi, era dimana semua sudah masuk ke era digital segala hal dijual melalui via online. Sebenarnya penjualan online dimulai dari barang-barang yang biasa kita gunakan setiap harinya kemudian dimanfaatkan bagi para pedagang satwa sebagai rana baru mereka untuk menjual satwa. Hal ini mereka lakukan agar yang mereka lakukan lebih rapih dan tidak diketahui oleh pihak
yang berwenang. Bagai penjualan narkoba, tidak banyak orang yang mengetahui tentang pedagang online yang menjual satwa liar tetapi ada link-link tertentu jika masyarakat ingin membelinya.

Perdagangan satwa liar membawa dampak di bidang ekonomi, lingkungan bagi seluruh golongan. Dalam bidang ekonomi perdagangan satwa liar membawa dampak positif bagi penjualnya. Dimana mereka mendapatkan kekayaan secara pribadi dari apa yang mereka lakukan. Sedangkan untuk negara mengalami kerugian yang sangat banyak dikarenakan merugikan pemasukan negara. Sedangkan di bidang lingkungan, ketidaksadaran orang-orang berburu satwa liar membuat jumlah satwa ini semakin hari semakin berkurang. Satwa yang dulunya tidak langka perlahan menjad langka lalu bisa jadi menjadi punah. Padahal beberapa satwa menjadi penyambung ekosistem disekitar mereka. Seperti harimau yang menjadi rantai penyambung dari penyebaran biji tanaman yang mereka makan. Tapi jika jumlah harimau mulai berkurang lantas siapa yang bertugas sebagi penyebar biji tanaman?

Keadaan seperti ini tidak dapat kita diamkan dan kita anggap hal yang sepele. Kesadaran untuk tidak berburu, menjual, memelihara bahkan untuk memakan satwa harus kita tanamkan dari diri masing-masing dan didukung oleh hukum negara yang kuat pula. Di Indonesia hukum mengenai satwa dan habitatnya tergolong cukup banyak tetapi masih terjadi penyelewengan. Seperti UU No 32/2009 tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, UU No 5/1990 tentang konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya, PP No 7/1999 pengawetan jenis tumbuhan dan satwa, PP No 8/1990 tentang pemanfaatan jenis tumbuhan dan satwa liar, PP No 13/1994 tentang perburuan satwa buru, PP No 36/2010 tentang pengusahaan pariwisata alam di suaka margasatwa, taman hutan raya dan taman wisata alam, PP No 28/2011 tentang pengelolaan kawasan suaka alam dan kawasan pelestarian alam, UU No 16/1992 tentang karantina tanaman, ikan dan binatang, UU No 41/1999 tentang kehutanan, PP no 45/2004 tentang perlindungan hutan, UU no 31/2004 sehubungan dengan UU No 45/2009 tentang perikanan dan peraturan UU lainnya.

Sangat banyak bukan hukum mengenai satwa? Lantas mengapa masih banyak pelanggaran dari UU tersebut? Hukum yang lemah merupakan jawaban dari hal diatas. Ketegasan mengenai hukum harus benar-benar dijalankan. Kita sebagai masyarakat harus membantu pemerintah dalam menjalankan hukum yang berlaku dan pemerintah harus bertindak tegas bagi para pelanggar hukum.

 

Sumber
https://joroxstiger.wordpress.com/2009/07/10/sejarah-perdagangan-satwa/
http://www.profauna.net/sites/default/files/suara-satwa/volume-xvi-juli-september-
2012.pdf
http://pdf.usaid.gov/pdf_docs/PA00KH51.pdf

About Author
Muhammad Jaka Swarna

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Related
Article
No items found
2019-10-15
Difference:

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *