Biological Bird Club “Ardea” berkesempatan kembali untuk melakukan penelitian dan pengamatan mengenai burung hutan yang terdapat di Situ Patenggang, Bandung, Jawa Barat. Sebelum pandemi Covid-19 mulai membatasi aktivitas, kami telah melakukan pengamatan burung untuk mengetahui keanekaragaman jenis pada dua kawasan konservasi CA dan TWA Situ Patenggang pada tahun 2019. Namun, pembatasan sosial selama pandemi ini, membuat kami tidak dapat melakukan pengamatan kembali di Situ Patenggang.
Beruntungnya kami berkesempatan untuk melakukan pengamatan kembali pada masa pandemi Covid-19 dengan dukungan dari Yayasan KEHATI dan Biodiversity Warriors dalam program Biodiversity Warriors Sponsorship Program 2021. Pengamatan yang kami lakukan ini tentunya dengan menerapkan protokol kesehatan yang sangat ketat untuk mendapatkan data keanekaragaman burung dan membandingkannya dengan data yang diambil pada tahun 2019. Tujuannya yakni untuk membandingkan jumlah keanekaragaman burung dan mengetahui apakah pandemi Covid-19 memiliki dampak terhadap keanekaragaman burung di CA dan TWA Situ Patenggang.
Pada hari pertama pengamatan dilakukan di kawasan Cagar Alam Patengan 2 yang dipisahkan oleh jalan raya. Saat hendak memulai pengamatan, kami langsung disambut oleh Elang Ular Bido (Spilornis cheela) yang sedang melakukan soaring.
Tutupan tajuk dan vegetasi hutan dikawasan CA Patengan 2 sangat rimbun, cukup sulit untuk melihat secara visual terhadap burung-burung yang ada. Namun, dirimbunnya hutan CA Patengan 2 ini suara kicauan burung sangat ramai, dari beberapa suara yang terdengar kami berhasil mengidentifikasi suara burung Takur tohtor (Psilopogon armillaris), Cincoang cokelat (Brachypteryx leucophrys), dan Sempur hujan rimba (Eurylaimus javanicus).
Pada saat berjalan menuju lokasi pengamatan selanjutnya, kami menemukan pohon yang digunakan pemburu liar untuk membentangkan mist net, biasanya jaring tersebut digunakan pemburu liar untuk dapat menangkap burung dengan mudah. Lokasi ini memang memiliki tutupan tajuk lebih terbuka dan pada lokasi ini sangat jarang sekali burung dijumpai, bahkan suara di lokasi sebelumnya yang ramai, menjadi sepi saat berada di lokasi ini.
Setelah jalur hutan tereksplor secara menyeluruh kami melanjutkan pengamatan di luar kawasan hutan yang berbatasan langsung dengan perkebunan teh sangat luas yang disebut dengan kawasan “ekoton”. Kawasan ini merupakan batas antara vegetasi hutan dengan perkebunan teh. Sepanjang jalur pengamatan ekoton ini aktivitas burung menurun sangat drastis, hanya terlihat Walet linchi (Collocalia linchi) yang terbang. Pengamatan di kawasan CA Patengan 2 tercatat 35 jenis dari 22 suku burung.
Hari kedua pengamatan di Situ Patenggang di lakukan pada kawasan Cagar Alam Patengan 1. Kawasan CA Patengan 1 berbatasan langsung dengan kawasan TWA Situ Patenggang. Pada lokasi ini kami menemukan burung Takur tohtor (Psilopogon armillaris), Kipasan ekor merah (Rhipidura phoenicura), dan juga saat sedang fokus pengamatan keatas tajuk pohon tiba-tiba ada gerakan kepakan sayap dari terestrial hutan pada jalur yang akan kami lalui. Kami menduga itu merupakan Ayam hutan merah (Gallus gallus) karena menurut informasi dari petugas BKSDA yang mendampingi kami, jalur ini merupakan lokasi biasa ditemukannya jenis ini.
Kondisi pada saat pengamatan sedang hujan dan kami memutuskan untuk berteduh menunggu hujan sedikit reda. Hujan mungkin memang mendatangkan rezeki atau keberkahan, pohon yang sedang berbuah di depan kami berteduh mendatangkan berbagai macam jenis burung yang dapat kami lihat secara langsung seperti Sikatan ninon (Eumyias indigo), Burung madu gunung (Aethopyga eximia), Cikrak kutub (Phylloscopus borealis), Kipasan ekor merah (Rhipidura phoenicura), Tepus pipi perak (Stachyris melanothorax), dan Takur tohtor (Psilopogon armillaris). Setelah hujan benar-benar reda kami melanjutkan kembali pengamatan ke titik-titik selanjutnya. Kami juga mendapatkan jenis Bentet kelabu (Lanius schach), Bondol jawa (Lonchura leucogastroides), Srigunting kelabu (Dicrurus leucophaeus), dan Sikatan belang (Ficedula westermanni) di CA Patengan 1 ini. Tercatat sebanyak 36 jenis dari 20 suku yang kami jumpai di CA Patengan 1.
Pengamatan pada hari ke tiga kami menelusuri kawasan disekitar danau, kami menyebutnya sebagai jalur TWA (Taman Wisata Alam). Pada lokasi pengamatan ini kondisi hutan berdekatan langsung dengan tempat wisata dan memiliki tutupan tajuk yang terbuka. Jenis burung yang kami jumpai pada lokasi ini lebih sedikit dibandingkan pada lokasi CA 1 dan 2, tercatat 21 jenis dari 18 suku burung yang berhasil dijumpai di jalur TWA Situ Patenggang. Beberapa jenis diantaranya yakni Blekok sawah (Ardeola speciosa), Kuntul kecil (Egretta garzetta), Kicuit batu (Motacilla cinerea), dan Trinil pantai (Actitis hypoleucos).
Selain melakukan proses pengambilan data keanekaragaman jenis burung di kawasan Situ Patenggang, kami juga telah melakukan kegiatan wawancara kepada pedagang yang berada di Situ Patenggang mengenai kegiatan selama pandemi, jumlah pengunjung sebelum dan saat pandemi, strategi pedagang untuk tetap memperoleh penghasilan pada masa pandemi, hingga ancaman perdagangan dan perburuan burung di area situ patenggang. Wawancara ini dilakukan untuk mendapatkan informasi mengenai keanekaragaman burung dan kaitannya dengan jumlah pengunjung pada masa sebelum dan saat pandemi. Jumlah responden (pedagang) yang telah kami wawancara yakni sebanyak 30 orang yang menjual berbagai jenis dagangan seperti penjual pakaian, warung makan, gorengan, dan cinderamata khas Situ Patenggang. Respon masyarakat terhadap beberapa pertanyaan kami sangat beragam. Rentang usia pedagang yang menjadi responden yakni antara 21-67 tahun. Kebanyakan dari mereka merupakan warga asli yang tinggal disekitar Situ Patenggang atau menetap di warung mereka.
Sejak adanya pandemi Covid-19, tak hanya pelaku wisata yang mengalami penurunan omset, namun para pedagang pun juga mengalami penurunan omset yang sangat drastis terlebih lagi untuk para pedagang yang hanya memanfaatkan hasil berdagang untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Pada masa pandemi Covid-19 sedang naik naiknya dan penerapan PPKM yang terus berkepanjangan juga mengakibatkan banyak pedagang untuk tutup selama 4 bulan karena tempat wisata juga terpaksa harus ditutup untuk mengurangi penyebaran Covid-19. Saat dibukanya kembali tempat wisata, jumlah pengunjung yang datang berangsur-angsur mengalami kenaikan, walaupun belum sebanyak pada masa sebelum pandemi. Jika menurut ibu Yanti, salah satu pedagang yang kami wawancarai jumlah pengunjung sebelum pandemi bisa mencapai lebih dari 2000 orang pada hari biasa, namun saat pandemi pengunjung yang datang hanya sekitar 600 saja.
Kebanyakan pengunjung yang datang ke Situ Patenggang hanya menikmati keindahan danau dan pemandangan disekitar dengan menaiki perahu wisata, camping, serta melakukan prewedding. Tidak ada pengunjung yang sampai memasuki kawasan hutan disekitar Situ Patenggang. Menurut pak Dede (39 tahun), disekitar tempat wisata telah terpampang papan yang menunjukkan larangan untuk melakukan kegiatan didalam kawasan hutan yang mana hutan sekitar situ patenggang merupakan kawasan Taman Wisata Alam dan Cagar Alam yang dilindungi oleh undang-undang.
Dalam proses wawancara kami juga menanyakan kepada para responden mengenai pengetahuan mereka terkait satwa dan burung yang ada di sekitar kawasan Situ Patenggang serta membandingkannya dengan masa sebelum dan saat pandemi ini. Rata-rata para responden mengenal satwa yang berada di kawasan Situ Patenggang berupa monyet, owa jawa, surili, kelinci, musang, burung, babi, dan ular. Sedangkan jenis burung yang diketahui yakni elang jawa, kuntul, burung gereja, tekukur, anis, cekakak, kerak kerbau, cucak kutilang dan banyak dari responden sering mendengar suara burung tersebut namun kurang tahu apa nama burung tersebut. Pengetahuan warga mengenai jenis jenis burung ini karena mereka melihat secara langsung bentuk, terbang, dan aktivitas burung tersebut. Menurut empat responden, suara burung lebih ramai terdengar pada saat sebelum pandemi. Menurut pak Dede, suara kicauan burung justru lebih ramai pada masa pandemi. Kedua argumen yang berbeda ini tentu memiliki alasan tersendiri. Tidak terdengarnya suara burung saat pandemi, kemungkinan dipengaruhi oleh faktor berkurangnya aktivitas warga di area situ patenggang pada pagi hari karena sempat adanya penutupan wisata. Namun suara burung yang semakin ramai saat pandemi dapat menjadi sebuah pertanda bahwa kehadiran pengunjung yang sedikit tidak akan mengganggu kelangsungan hidup burung di alam.
Tidak semua responden yang kami wawancara juga memelihara burung di rumahnya. Hanya beberapa responden yang mengaku memelihara burung karena warnanya yang cantik dan suaranya yang memikat hati. Rata-rata jenis burung yang biasa dipelihara seperti cucak kutilang, lovebird, murai batu, jalak, kenari, dan anis. Burung burung ini didapatkan oleh para responden dari pedagang burung yang berada di daerah Ciwidey dikarenakan tidak adanya pedagang burung di sekitar Situ Patenggang.
Pengetahuan para responden terkait peran burung di alam masih sedikit, namun sebagian besar responden mengatakan apabila tidak ada burung di alam maka tidak akan baik untuk lingkungan seperti suasana menjadi sepi hingga tidak adanya pencegah hama petani. Pada akhir proses wawancara, kami membagikan kalender dan memberikan edukasi sebagai salah satu ajakan dan upaya yang dapat dilakukan bersama sama untuk mencegah terjadinya perburuan, kerusakan habitat, dan menjaga agar alam sekitar kawasan Situ Patenggang tetap lestari.
(Proses edukasi dan pemberian kalender kepada para pedagang; Salah satu warung pedagang memasang kalender di dekat meja pelanggan)
Tinggalkan Balasan
Anda harus masuk untuk berkomentar.