Mentilin, atau yang dalam bahasa ilmiah dikenal sebagai Cephalopachus bancanus bancanus, adalah primata mungil yang menjadi kebanggaan masyarakat Pulau Bangka. Dengan mata besar, tubuh kecil, dan karakter unik, mentilin memikat hati siapa pun yang berkesempatan melihatnya. Tidak hanya itu, mentilin juga telah ditetapkan sebagai fauna identitas Provinsi Kepulauan Bangka Belitung melalui Keputusan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor 522.53-958/2010. Namun, di balik keindahan dan keunikan satwa ini, ada cerita tragis tentang bagaimana kehidupannya yang semakin terancam akibat ulah manusia dan degradasi lingkungan.
Secara fisik, mentilin sangat menonjol dengan mata yang sangat besar, hampir seukuran otaknya sendiri. Matanya yang tajam menjadi senjata utama untuk berburu mangsa di malam hari, karena mentilin adalah hewan nokturnal. Dalam perburuan, ia mengandalkan telinganya yang tajam untuk mendeteksi bunyi serangga di sekitarnya. Kemudian, dengan ketepatan luar biasa, mentilin melompat dan menyergap mangsanya menggunakan tangan yang panjang dan kuat. Dalam aktivitas sehari-harinya, mentilin bergerak secara lincah dari satu pohon ke pohon lain, terutama di malam hari ketika mereka aktif mencari makanan dan berinteraksi dengan lingkungan sekitar.
Namun, meski kelincahannya mengesankan, kehidupan mentilin di alam liar kini menghadapi tantangan besar. Pulau Bangka, yang terkenal sebagai penghasil timah, telah mengalami deforestasi masif sejak abad ke-18, dengan maraknya penambangan timah yang terus berlanjut hingga hari ini. Tidak hanya itu, pada abad ke-19, perkebunan lada (Piper nigrum) dan karet (Hevea brasiliensis) mulai mendominasi lanskap Pulau Bangka, menggusur habitat alami mentilin. Dalam dua dekade terakhir, ancaman semakin besar dengan perluasan perkebunan kelapa sawit dan penambangan timah ilegal yang memperparah kerusakan lingkungan.
Saat ini, hutan di Pulau Bangka telah terfragmentasi menjadi area yang terpisah-pisah, dengan sebagian besar lahan kini menjadi kulong (lubang-lubang besar bekas penambangan timah yang terisi air). Pulau ini mulai dikenal sebagai "Pulau Seribu Kulong," yang ironisnya menjadi simbol kehancuran habitat alami mentilin. Mentilin yang sebelumnya hidup di hutan-hutan primer kini harus beradaptasi dengan hutan sekunder, hutan karet, atau bahkan lahan pertanian, yang semakin mengecil dan terancam oleh konversi lahan besar-besaran.
Sebagai satwa yang bergantung pada habitat arboreal (hidup di atas pohon), mentilin mengalami kesulitan besar ketika hutan-hutan mereka berubah menjadi kawasan tambang atau perkebunan kelapa sawit. Vegetasi tinggi yang dibutuhkan untuk tempat tidur dan bergerak semakin hilang, dan hal ini memengaruhi pola hidup serta populasi mentilin di Pulau Bangka. Hutan karet yang semula masih bisa menyediakan habitat tambahan bagi mentilin, kini banyak yang dikonversi menjadi tambang atau perkebunan kelapa sawit yang lebih menguntungkan secara ekonomi.
Deforestasi yang masif ini menyebabkan menurunnya populasi mentilin secara signifikan. Berdasarkan data dari The IUCN Red List of Threatened Species, status konservasi mentilin saat ini dikategorikan sebagai Endangered (EN). Ini berarti bahwa satwa ini berada di ambang kepunahan jika habitatnya terus-menerus terdegradasi. Ancaman utama datang dari hilangnya habitat akibat penambangan timah ilegal dan konversi hutan menjadi perkebunan kelapa sawit. Selain itu, perburuan liar dan perdagangan satwa liar juga menjadi faktor signifikan yang mempercepat penurunan populasi mentilin.
Perburuan mentilin masih marak di beberapa daerah di Pulau Bangka. Satwa ini sering ditangkap dan diperdagangkan sebagai hewan peliharaan eksotis karena keunikan dan daya tariknya. Namun, mentilin adalah hewan liar yang sangat sensitif dan sulit dipelihara dalam kondisi domestik. Sebagian besar mentilin yang dijual sebagai hewan peliharaan tidak dapat bertahan lama karena stres yang dialami di lingkungan buatan. Di sisi lain, masih ada kepercayaan kuno di beberapa kalangan masyarakat yang menganggap mentilin sebagai pembawa sial atau hama yang merusak tanaman. Hal ini memicu pembunuhan mentilin secara sengaja, meskipun sudah ada upaya untuk melindungi mereka melalui peraturan konservasi dan program kesadaran masyarakat.
Untuk menyelamatkan mentilin dari ambang kepunahan, diperlukan langkah-langkah konservasi yang lebih intensif dan komprehensif. Salah satu cara yang dapat ditempuh adalah dengan melestarikan hutan karet sebagai habitat tambahan bagi mentilin. Meskipun bukan habitat asli, hutan karet telah terbukti menjadi tempat yang layak bagi mentilin untuk bertahan hidup. Struktur hutan karet yang menyerupai hutan sekunder menyediakan vegetasi tinggi yang dibutuhkan mentilin untuk aktivitas harian mereka.
Namun, tantangan yang dihadapi dalam pelestarian hutan karet adalah nilai komersialnya yang semakin rendah. Banyak petani di Bangka yang memilih untuk mengubah lahan karet mereka menjadi tambang atau perkebunan kelapa sawit karena nilai ekonomi yang lebih tinggi. Untuk mengatasi hal ini, pemerintah dan lembaga konservasi harus memberikan insentif bagi petani yang mempertahankan hutan karet mereka. Pendampingan sosio-ekonomi dan penelitian yang memberikan manfaat finansial bagi pemilik lahan dapat menjadi solusi yang efektif dalam menjaga keberlanjutan hutan karet dan melindungi mentilin.
Di sisi lain, edukasi dan program kesadaran masyarakat tentang pentingnya pelestarian mentilin harus terus ditingkatkan. Masyarakat lokal harus diberdayakan untuk menjadi bagian dari upaya konservasi, bukan hanya sebagai penonton. Dengan meningkatkan pengetahuan masyarakat tentang status perlindungan hukum mentilin dan sanksi bagi pelanggar, diharapkan tingkat perburuan liar dan perdagangan satwa liar bisa berkurang.
Mentilin adalah harta yang tidak ternilai dari Pulau Bangka, namun keberadaannya yang semakin terancam mengingatkan kita akan pentingnya menjaga keseimbangan alam. Deforestasi, perburuan, dan perubahan iklim merupakan ancaman nyata yang bisa menghancurkan ekosistem tempat mentilin tinggal. Sudah saatnya kita bertindak lebih proaktif dalam melindungi mereka sebelum satwa ini hanya tinggal cerita di balik julukan Pulau Seribu Kulong.
[Artikel ini juga diterbitkan pada koran Bangka Pos (Selasa, 10 September 2024) dan laman https://bangka.tribunnews.com/2024/09/08/mentilinku-sayang-mentilin-yang-malang]
Tinggalkan Balasan
Anda harus masuk untuk berkomentar.