Perubahan iklim telah memunculkan tantangan serius bagi keberlanjutan dan ketahanan pangan global. Di tengah perubahan cuaca yang tidak stabil, penting bagi suatu negara seperti Indonesia yang memiliki sumber daya alam dan pertanian yang kaya, untuk mengembangkan solusi inovatif guna memastikan ketersediaan pangan yang cukup dan berkelanjutan. Salah satu solusi menarik yang dapat adalah meningkatkan konsumsi "ugly food" atau bahan pangan berpenampilan buruk. Dalam tulisan ini, akan dianalisis manfaat dan potensi solusi ini, dengan merujuk pada data dan temuan yang terdapat dalam laporan "Kajian Food Loss and Waste di Indonesia" yang dinisiasi oleh Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional Republik Indonesia/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional.
Permasalahan Ketahanan Pangan dan Pemborosan Makanan di Indonesia
Laporan tersebut mengungkapkan bahwa Indonesia menghadapi permasalahan serius dalam hal ketahanan pangan dan pemborosan makanan. Sekitar 13,7 juta ton makanan, setara dengan 18% dari total produksi makanan, hilang atau terbuang setiap tahunnya. Angka ini mencerminkan kerugian ekonomi yang signifikan, dengan estimasi mencapai Rp163,28 triliun (USD 11,43 miliar) per tahun. Sebagai perbandingan, negara ini juga mengalami masalah kelaparan dan malnutrisi. Meskipun ada 19,4 juta penduduk Indonesia yang mengalami kelaparan, 10,6% anak di bawah usia lima tahun mengalami stunting akibat malnutrisi.
Potensi Solusi "Ugly Food" dalam Meningkatkan Ketahanan Pangan
Konsumsi "ugly food" telah muncul sebagai solusi potensial untuk mengatasi permasalahan ini. Dalam laporan tersebut, terungkap bahwa budaya di Indonesia cenderung lebih menyukai produk pertanian dengan penampilan yang sempurna, sehingga produk-produk dengan penampilan buruk seringkali diabaikan atau dibuang. Namun, produk-produk ini masih memiliki nilai gizi yang sama dan juga rasa yang enak. Meningkatkan konsumsi "ugly food" memiliki beberapa manfaat yang signifikan.
Manfaat Konsumsi "Ugly Food"
Pertama, peningkatan konsumsi "ugly food" dapat secara efektif mengurangi pemborosan makanan. Dengan menggeser perhatian dari penampilan ke nilai gizi dan rasa, produk-produk yang sebelumnya terbuang dapat dimanfaatkan sepenuhnya. Ini berpotensi mengurangi tekanan pada pasokan pangan dan membantu menjaga stabilitas harga pangan. Selain itu, ini juga memberikan peluang bagi petani untuk menjual produk-produk yang sebelumnya tidak memenuhi standar pasar.
Kebijakan Dukungan dan Kesadaran Publik
Meningkatkan konsumsi "ugly food" memerlukan dukungan kebijakan dan kesadaran publik yang kuat. Laporan tersebut menunjukkan bahwa implementasi regulasi yang mengatur penanganan pemborosan makanan dapat menjadi langkah yang efektif. Misalnya, pelarangan supermarket membuang produk yang masih layak konsumsi dapat mendorong pengurangan pemborosan makanan di tingkat distribusi. Selain itu, kampanye edukasi juga sangat penting untuk meningkatkan kesadaran publik akan nilai gizi dan potensi yang dimiliki oleh "ugly food".
Pemanfaatan Teknologi dan Platform Daring
Teknologi juga dapat memainkan peran penting dalam mendukung solusi ini. Seperti yang dijelaskan dalam laporan, platform daring dan aplikasi seluler dapat menghubungkan produsen langsung dengan konsumen, memungkinkan penjualan produk pertanian yang tampilannya "buruk" secara langsung. Platform ini juga dapat memberikan informasi tentang manfaat gizi dan ide resep untuk produk-produk tersebut, sehingga dapat menjembatani kesenjangan antara produsen dan konsumen.
Integrasi Solusi "Ugly Food" dalam Agenda Keberlanjutan
Meminimalkan limbah makanan, khususnya melalui konsumsi "ugly food", sejalan dengan komitmen Indonesia terhadap pembangunan berkelanjutan dan pelestarian lingkungan. Studi tersebut menggarisbawahi bahwa limbah makanan berkontribusi signifikan terhadap emisi gas rumah kaca, penggunaan lahan, dan konsumsi air. Peningkatan konsumsi "ugly food" berpotensi mengurangi dampak lingkungan hidup di Indonesia secara signifikan, sehingga sejalan dengan tujuan aksi iklim yang dijabarkan dalam Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) khususnya pada SDGs ke-12 poin ke-3 di mana negara-negara di dunia diharapkan dapat mengurangi 50% limbah makanan per kapita di tingkat retail dan konsumen pada 2030.
Konteks Budaya Indonesia dalam Strategi Mengatasi Pemborosan Makanan
Ketika merumuskan strategi mengatasi pemborosan makanan, mempertimbangkan konteks budaya Indonesia adalah suatu hal yang penting. Studi ini mengakui pentingnya budaya makan bersama dan pengalaman bersama dalam budaya Indonesia. Memasukkan pesan penerimaan "ugly food" dalam kerangka budaya makan bersama ini akan menciptakan narasi yang mendalam. Mengakui bahwa mengonsumsi produk tidak sempurna sejalan dengan nilai budaya akan memperkuat dampak gerakan ini, mengembangkan hubungan yang lebih berkelanjutan dan harmonis antara tradisi dan budaya di dalam kehidupan masyarakat.
Meningkatkan konsumsi "ugly food" menawarkan solusi yang menarik dan berpotensi dalam mengatasi tantangan ketahanan pangan lokal di masa perubahan iklim. Mengatasi tantangan ini dengan efektif memerlukan upaya yang terkoordinasi di berbagai bidang, termasuk mengubah perilaku konsumen, mengembangkan kebijakan progresif, memanfaatkan teknologi, dan mengintegrasikan keberlanjutan ke dalam norma budaya. Dengan melakukan pendekatan-pendekatan tersebut, Indonesia dapat mengoptimalkan potensi sumber daya pertaniannya. Melalui kolaborasi antara pemerintah, petani, konsumen, dan sektor swasta, solusi ini dapat menjadi langkah positif dalam mencapai ketahanan pangan yang lebih kuat dan berkelanjutan.
Sumber:
Low Carbon Development Indonesia. (2021). Food Loss and Waste di Indonesia. Diakses pada 25 Agustus 2023, dari https://lcdi-indonesia.id/wp-content/uploads/2021/06/Report-Kajian-FLW-FINAL-4.pdf
#keanekaragamanhayati #adaptasiperubahaniklim #panganlokal #festivalgolokoe
Tinggalkan Balasan
Anda harus masuk untuk berkomentar.