Indonesia memang dikenal sebagai negara yang kaya keanekaragaman hayatinya. Negara kepulauan dengan 2/3 wilayahnya berupa perairan ini juga menyimpan aneka biota laut yang memiliki banyak manfaat. Salah satunya adalah kepiting tapal kuda atau umum disebut dengan nama belangkas. Di beberapa daerah seperti di Jawa, fauna yang memiliki tekstur dengan tempurung yang keras tersebut memiliki sebutan “Mimi”. Nama Mimi tersebut identik dengan budaya Jawa, yang mana apabila ditemukan sepasang maka disebut dengan “Mimi lan Mintuno” yang berarti pasangan yang setia. Mimi atau belangkas ini merupakan hewan kelompok makrobentos yang biasanya ditemukan di perairan pesisir dengan substrat yang berlumpur ataupun berpasir halus (Nuraisah et al. 2020).
Hewan ini memiliki karakteristik berupa bagian atas tubuhnya yang tertutupi tempurung berwarna kecoklatan dengan duri panjang atau ekor di bagian belakang. Sementara bagian depan (anterior prosoma) hewan ini mempunyai bentuk yang menyerupai “tapal kuda”. Hal inilah yang menyebabkan hewan tersebut diberi nama kepiting tapal kuda. Panjang tubuh belangkas ini mampu tumbuh hingga 23-24 cm, sedangkan duri ekornya berbentuk runcing berwarna hitam yang dapat mencapai panjang 24 cm (Pratiwi 1993).
Selain itu, hewan ini termasuk unik karena darahnya yang berwarna biru. Menurut Romadhon et al. (2018), hal tersebut dikarenakan kandungan tembaga pada hemosianin belangkas. Uniknya lagi, darah belangkas tidak mengandung haemoglobin, tetapi hemosianin dan memiliki fungsi untuk mengangkut oksigen.
Hewan yang sering dikira sebagai kepiting ini merupakan hewan yang kaya manfaat baik secara ekologi maupun ekonomi. Menurut Smith (2007), belangkas secara ekologi bermanfaat sebagai bioturbator dan mampu mengendalikan hewan bentik sehingga tercipta keseimbangan ekosistem di perairan pesisir. Keberadaan belangkas juga turut membantu penyediaan makanan bagi beberapa spesies burung pantai dan menyeimbangkan ketersediaan rantai makanan di ekosistem tersebut (Beekey et al. 2013).
Sementara dari segi ekonomi, belangkas memiliki peran penting bagi kehidupan manusia baik untuk dikonsumsi sebagai sumber protein ataupun dalam industri farmasi. Belangkas banyak dikonsumsi pada telurnya, sedangkan darahnya digunakan sebagai pendeteksi racun pada darah manusia serta sebagai penguji obat-obat tertentu (John et al. 2012). Bahkan, ekstrak plasma darah belangkas tersebut juga digunakan dalam kajian biomedis maupun lingkungan. Maka tidak mengherankan jika hewan ini banyak diburu karena banyaknya manfaat yang dimiliki. Hal inilah yang menyebabkan belangkas akhirnya masuk kategori hewan yang langka dan harus dilindungi.
Di dunia hanya terdapat empat spesies belangkas, tiga di antaranya masih ditemukan di Indonesia. Ketiga spesies tersebut, yakni Tachypleus tridentatus (Leach, 1819), Tachypleus gigas (Müller, 1785), dan Carcinoscorpius rotundicauda (Latreille, 1802). Ketiga spesies belangkas tersebut termasuk hewan yang dilindungi berdasarkan Peraturan Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 20 Tahun 2018.
Di sisi lain, International Union for Conservation of Nature (IUCN) telah menyatakan bahwa tiga jenis belangkas di Asia termasuk kategori defisit. Sementara di Indonesia menurut Pratiwi (1993), hewat tersebut dikelompokkan kategori primitive marine animal atau hewan laut langka yang masuk kategori rawan dalam “Red Date Book”. Oleh karena itu, biota pesisir ini harus terus dilindungi dan dilestarikan baik pada ekosistem maupun populasinya untuk mencegah kasus kepunahan.
Berbagai cara yang dapat dilakukan untuk melestarikan biota ini adalah dengan melindunginya dari perburuan ilegal dan menjaga ekosistemnya. Ekosistem pesisir seperti yang diketahui kerap tercemar oleh tumpukan sampah plastik atau pencemar lainnya sehingga dapat mengancam kehidupan belangkas ini. Salah satu tindakan sederhana yang dapat dilakukan adalah dengan menjaga kelestarian pesisir melalui minimalisir penggunaan produk berplastik. Selain itu, pemerintah melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) dan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) dapat melakukan kolaborasi bersama berbagai pihak terutama wilayah yang menjadi sumber populasi belangkas tersebut. Kerja sama tersebut dapat berupa kolaborasi perlindungan bersama atau melakukan pengawasan ketat di area-area lokasi belangkas hidup sehingga turut mencegah adanya pencemaran pada wilayah tersebut ataupun kasus perburuan liar.
Referensi
Beekey MA, Mattei JH, Pierce BJ. 2013. Horseshoe crab eggs: A rare resource for predators in Long Island Sound. J Exp Mar Bio Ecol. 439(1): 152-159.
John BA, Kamaruzzaman BY, Jalal KCA, Zaleha K. 2012. TAL- a source of bacterial endotoxin detector in liquid biological samples. Int Food Res J. 19(2): 423-425.
Tinggalkan Balasan
Anda harus masuk untuk berkomentar.