Di habitatnya, harimau merupakan satwa pemangsa teratas di dalam jaring makanan. Maka tidak heran, mereka kerap disebut sebagai raja rimba.
Foto: harimau sumatra (Panthera tigris sumatrae)
Dari delapan subspesies harimau yang ada di dunia, kini hanya tersisa lima subspesies yang masih bertahan hidup di muka bumi. harimau sumatra (Panthera tigris sumatrae) kini menjadi satu-satunya kucing besar yang ada di Indonesia, dengan status kritis atau sangat terancam punah (dinyatakan The International Union for Conservation of Nature and Resources/IUCN).
Laju deforestasi yang tinggi, perburuan, dan perubahan alih fungsi hutan menjadi penyebab utama berkurangnya jumlah harimau di alam. Selain itu, angka kelahiran rendah, angka kematian anak cukup tinggi, tingkat ancaman tinggi dan rendahnya populasi mangsa merupakan faktor yang mempengaruhi kepadatan populasi jenis di alam.
Sebelum tahun 1990, status, distribusi, dan ancaman terhadap populasi harimau sumatra di alam sebagian besar tidak diketahui. Pada tahun 1985, diperkirakan ada sekitar 800 individu (Santiapillai & Widodo, 1985). Kini, belum diketahui secara pasti berapa populasi harimau sumatra. Siswomartono (1994) menyatakan, 400 individu harimau diduga hidup di kawasan-kawasan konservasi sedangkan 100 individu lainnya hidup di kawasan yang tidak dilindungi, yang cepat atau lambat areal non konservasi tersebut akan berubah menjadi lahan perkebunan atau pertanian. Angka tersebut tentu telah berkurang seiring perburuan, alih fungsi lahan, dan deforestasi.
Indonesia memiliki peranan penting dalam hal pelestarian harimau di dunia karena memiliki tiga subspesies, dua spesies di antaranya, yaitu harimau jawa (Panthera tigris sondaica) dan harimau bali (Panthera tigris balica) telah dinyatakan punah.
Meskipun secara umum kebiasaan hidup harimau jawa sama dengan harimau lainnya, namun berdasarkan fisiknya, sosok harimau jawa memperlihatkan ciri khas yang jauh berbeda. Ukuran tubuh rata-rata harimau jawa lebih besar dibandingkan dengan harimau sumatra dan harimau bali. Bahkan, sedikit lebih besar dari harimau malaya dengan panjang rata-rata 200-245 cm. Berat tubuh individu jantan berkisar antara 100-140 kilogram (kg) dan individu betina berkisar antara 75-115 kg.
Dari jejak dan kotoran yang ditinggalkan, diketahui bahwa harimau jawa tergolong predator yang oportunis. Harimau jawa akan memangsa satwa apa saja yang dapat ditemukan selama menjelajahi hutan. Rusa (Muntiacus muntjak) dan babi hutan (Sus scrofa) adalah makanan favoritnya. Satwa lain seperti: banteng (Bos javanicus), monyet-ekor panjang (Macaca fascicularis), trenggiling (Manis javanica), ular, hingga ayam hutan juga termasuk dalam menunya.
Hingga pertengahan abad ke 19 (tahun 1850), harimau jawa masih banyak ditemukan di seluruh pelosok Pulau Jawa. Bagi penduduk lokal yang tinggal di daerah pinggiran pedesaan dan pemerintah kolonial Hindia-Belanda saat itu, harimau jawa dianggap sebagai hama karena seringkali mencuri dan memangsa hewan ternak, seperti kambing dan domba. Sejak itu, kerap terjadi konflik dan perburuan. Hilangnya hutan-hutan di Jawa juga turut mempercepat punahnya harimau jawa.
Harimau dan legenda lokal
Meski dulunya sama-sama memiliki spesies harimau, kerajaan Jawa dan Sumatera memiliki perbedaan unik dalam memaknai hewan karnivora ini. Di Jawa, khususnya di Keraton Kasunaan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta, harimau menjadi pusat tontonan. Mereka akan diadu dengan banteng atau menjadi sasaran menombak –dikenal dengan rampogan matjan-. Sedangkan di Sumatra tidak ditemukan demikian. Peter Boomgaard, sejarawan asal Belanda dalam bukunya Frontiers of Fear, Tigers and People in the Malay, 1600-1950 mengatakan bahwa Kerajaan Sumatra tidak memiliki budaya seperti di Jawa.
Masyarakat sekitar hutan di Sumatra menghormati harimau Sumatra sebagai leluhurnya. Misalnya, masyarakat Sumatra Barat dan Jambi memanggil dengan sebutan Datuk. Salah satu suku di Jambi percaya bahwa keberadaan satwa belang ini dapat menjadi penanda alam. Lain lagi dengan masyarakat Batak, mereka memanggil dengan “Opung”. Sejatinya keduanya merupakan panggilan hormat.
Namun, sayangnya keadaan ini berbeda dengan saat ini. Hari ini, harimau sumatera mengalami ancaman perburuan, perdagangan, kehilangan habibat karena deforestasi, degradasi dan kebakaran hutan.
Fotografer: Ahmad Baihaqi/Yayasan KEHATI
Referensi
Santiapillai C and Ramono WS. 1985. On the Status of the Tiger (Panthera tigris sumatrae, Pocock 1829) in Sumatera. World Wide Fund (WWF) & International Union for Conservation of Nature and Natural Resources (IUCN). Jakarta
Siswomartono, D., Samedi, N. Andalusi, F. I. Hardjanti. 1994. Strategi Konservasi Harimau Sumatera (Panthera tigris sumatrae). Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam Depertemen Kehutanan Republik Indonesia. Jakarta
Tinggalkan Balasan
Anda harus masuk untuk berkomentar.
Terkait