Nama cendana tentunya sudah tidak asing lagi di telinga masyarakat Indonesia. Selain seringkali disematkan sebagai nama keluarga salah satu mantan presiden Republik Indonesia, tanaman dengan nama ilmiah Santalum album ini dikenal karena hasil kayu teras (heartwood) dan harumnya yang khas. Kayu cendana telah dimanfaatkan sebagai bahan baku furnitur, kerajinan tangan, pembungkus keris (warangka), dan rosario. Kandungan minyak asiri yang dimiliki oleh kayu cendana juga menjadi primadona di dunia parfum. Di dunia internasional, tanaman ini dikenal sebagai sandalwood dan sering dijadikan sebagai campuran dalam pembuatan parfum.
Cendana merupakan tumbuhan endemik asli dari Nusa Tenggara Timur (NTT) dan wilayah di sekitarnya. Terdapat dua jenis cendana, yaitu cendana merah dan cendana putih. Cendana yang dimiliki oleh tanah NTT merupakan jenis cendana putih yang memiliki kualitas terbaik dan aroma yang lebih harum daripada jenis lain, sehingga memiliki potensi ekonomi yang lebih menjanjikan.
Pulau Timor, Pulau Sumba, dan Pulau Solor merupakan sentra produksi cendana di Nusa Tenggara Timur. Sejak dahulu kala, wilayah ini telah masyhur karena cendana yang dimilikinya. Bangsa India, China, hingga Eropa berdatangan ke Nusantara sejak sebelum abad masehi demi menyusuri jejak keharuman tumbuhan ini. Para pelaut India dan China, hingga pedagang dari Nusantara bagian barat telah melakukan perburuan cendana sebelum Nusantara dikolonialisasi oleh Belanda. Pada masa ini, seluruh kayu cendana yang tumbuh di tanah Nusa baik di lahan masyarakat maupun di lahan milik pemerintah secara otomatis menjadi milik pemerintah atau penguasa lokal. Masyarakat hanya mendapatkan upah tebang dan upah angkut. Bahkan jika terdapat kayu cendana yang mati atau rusak di lahan milik masyarakat, maka masyarakat wajib membayar denda dengan menyerahkan hewan ternaknya.
Eksploitasi cendana secara besar-besaran seperti ini ternyata berlanjut hingga masa setelah kemerdekaan. Cendana sempat menjadi komoditas utama dan penyumbang Pendapatan Asli Daerah (PAD) untuk menunjang pembangunan Provinsi Nusa Tenggara Timur. Sebesar 28,2-47,6% pendapatan asli daerah Nusa Tenggara Timur pada tahun 1986/1987 hingga tahun 1990/1991 merupakan hasil eksploitasi cendana dan merupakan komoditas yang menyumbangkan devisa tertinggi. Tercatat eksploitasi cendana meningkat tajam antara tahun 1986 dan memuncak pada tahun 1996. Total produksi kayu cendana pada tahun 1996 mencapai 2.458.594 kg (2.458 ton) dengan total pohon yang ditebang sebanyak 12.804 pohon. Eksploitasi ini berakibat pada memudarnya harum cendana di tanah Nusa Cendana hingga sekarang.
Menghilangnya aroma cendana dari tanah Nusa dapat dikatakan merupakan hasil keserakahan pemerintah yang hanya menghargai cendana dari seberapa banyak rupiah yang dihasilkan, tanpa memperhatikan aspek kelestarian dan keberlanjutannya. Perda Provinsi NTT Nomor 16 Tahun 1996 merupakan wujud keserakahan pemerintah. Perda ini menunjukkan adanya dominasi penguasaan cendana oleh pemerintah setempat. Berdasarkan Perda tersebut, cendana yang berada di dalam kawasan hutan maupun di luar kawasan hutan negara dalam Provinsi NTT dikuasai oleh pemerintah. Proporsi pembagian hasil cendana dari lahan petani adalah sebanyak 15% untuk petani dan 85% untuk pemerintah daerah. Hadirnya peraturan ini merupakan dasar bagi eksploitasi besar-besaran kayu cendana antara tahun 1986-1996. Peraturan ini juga menyebabkan masyarakat menjadi tidak tertarik untuk menanam cendana karena hasilnya hanya akan diambil oleh pemerintah. Tak hanya itu, pemerintah juga menetapkan denda dan hukuman penjara bagi masyarakat yang mengambil hasil kayu cendana tanpa izin pemerintah setempat, meskipun itu cendana yang tumbuh di lahannya sendiri. Ini seperti mencuri dari tanah sendiri. Akibatnya, masyarakat yang tinggal di kawasan sekitar hutan tak lagi peduli pada penebangan ilegal cendana yang dilakukan.
Aksi pemerintah setempat yang sembrono dan tidak bertanggung jawab ini menyebabkan angka populasi cendana terjun bebas. Berdasarkan data dari Dinas Kehutanan Provinsi NTT, dalam kurun waktu 1987-1997 populasi cendana menurun hingga 64%. Tidak berlebihan apabila dikatakan populasi cendana di Indonesia akan menemui jalan kepunahannya. Berdasarkan data International Union for Conservation of Nature (IUCN) Red List, yaitu sebuah organisasi internasional yang bergerak di bidang konservasi alam dan pemanfaatan sumber daya alam yang berkelanjutan, tumbuhan cendana telah berada pada kategori vulnerable karena terus mengalami penurunan jumlah populasi. Jika tidak ada pertanggungjawaban dari pemerintah untuk mengembalikan harum cendana di bumi Flobamora, hanya menunggu sebentar lagi sebelum kita mendengar kabar kepunahan cendana.
Hingga saat ini, berbagai upaya telah dilakukan untuk mengembalikan kejayaan tanaman yang beraroma harum ini di tanah asalnya. Sayangnya, upaya-upaya rehabilitasi yang dilakukan antara tahun 2012-2015 belum menunjukkan hasil seperti yang diharapkan. Banyak tanaman yang pada akhirnya mati. Hal ini bisa disebabkan karena kondisi lingkungan tempat cendana ini ditanam yang kurang baik. Lebih jauh, kematian ini juga dapat disebabkan oleh rendahnya kualitas benih yang digunakan. Rendahnya kualitas benih cendana juga merupakan hasil dari kelangkaan cendana saat ini. Saat ini, cendana yang tumbuh di NTT kebanyakan tumbuh soliter tanpa individu lain di sekitarnya. Hal ini meningkatkan frekuensi terjadinya inbreeding atau perkawinan sendiri. Peningkatan frekuensi terjadinya inbreeding selaras dengan penurunan variasi genetik yang dimiliki tumbuhan cendana saat ini, sehingga menyebabkan daya hidupnya di alam juga rendah.
Keadaan ini tentu saja tidak boleh dibiarkan terus-menerus. Dibutuhkan upaya serius dan kerja sama yang baik antara pemerintah dengan tenaga ahli untuk meningkatkan kesintasan tumbuhan cendana di alam dan mengedukasi masyarakat agar mau menanam cendana lagi. Cendana telah mengiringi sejarah panjang masyarakat timur Nusantara, khususnya Nusa Tenggara Timur selama ribuan tahun. Tumbuhan ini juga telah menjadi ikon dan ciri khas bumi Flobamora. Kejayaan dan keharuman tanaman ini sangat disayangkan harus diruntuhkan oleh ambisi pembangunan semata tanpa memikirkan aspek kelestariannya. Seluruh elemen masyarakat dan pemerintah harus bekerja sama untuk mengembalikan semerbak harum cendana di tanah Nusa Cendana agar generasi di masa depan juga merasakan segar dan semerbaknya.
Tinggalkan Balasan
Anda harus masuk untuk berkomentar.
Terkait