Gula merah menjadi teman utama gula pasir di dapur sebagian besar warga Indonesia. Rasa manis legitnya akrab dijumpai pada kuliner khas nusantara mulai dari pencuci mulut hingga makanan utama seperti dawet, lupis, rujak, kolak, bubur kacang hijau, bubur sumsum, dan gudeg. Umumnya, gula merah di pasaran berasal dari nira kelapa (gula jawa) ataupun nira aren (gula aren). Tetapi di wilayah Indonesia bagian Timur, seperti provinsi Nusa Tenggara Timur yang memiliki cuaca kering pohon kelapa tidak cocok tumbuh, sehingga mereka membuat gula merah dari nira lontar.
Baca juga: Riboflavin pada Gula Aren Baik untuk Metabolisme Tubuh
Nira diambil dari mayang (bonggol bunga) lontar dari jenis Borassus flabellifer yang disadap selama musim kemarau. Terdapat dua waktu puncak penyadapan nira, yaitu awal kemarau antara April dan Mei serta menjelang akhir musim pada bulan September dan Oktober.
Mayang B. flabellifer mulai disadap saat berumur 10 tahun dan bisa mengeluarkan nira hingga umur 40 tahun. Saat musim panen, nira disadap setiap hari dan diolah menjadi gula merah secara rumahan. Gula dibentuk menjadi kepingan bulat yang disebut sebagai gula lempeng. Harganya mulai dari Rp 15ribu perkilogram.
NTT meliputi Pulau Timor, Flores, Sumba, Sabu dan Rote merupakan wilayah persebaran alami B. flabellifer. Dengan sentra utama penghasil lontar di Pulau Rote dan Sabu, dimana terdapat perkebunan. Bagi masyarakat Pulau Sabu pohon lontar dianggap sebagai pohon kehidupan karena pada musim kemarau panjang, nira lontar sangat bermanfaat.
Musim kemarau bisa berlangsung selama 8-9 bulan sehingga banyak ternak dan tanaman ladang yang mati. Sehingga nira lontar berfungsi sebagai sumber nafkah maupun makanan. Hasil penjualan nira digunakan untuk biaya makan sekali perhari, sehingga ketika lapar lagi warga akan meminum nira atau larutan gula lempeng sebagai sumber energi pengganti makan.
Sumber: Bappenas, Kemenperin, Litbang, Tropical Fern, Kompas
Leave a Reply
You must be logged in to post a comment.
Article