Tahap konsumsi menjadi penyumbang paling tinggi angka timbulan sampah dan emisi gas rumah kaca (GRK) pada lingkup food loss dan waste (FLW) di Indonesia. Berdasarkan data Sistem Pengelolaan Sampah Nasional Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, 40,8% sampah makanan dihasilkan oleh masyarakat Indonesia di tahun 2022. Timbulan sampah ini juga memiliki keterkaitan dengan perubahan iklim dan pemanasan global. Terhitung pada tahun 2000-2019 , persentase rata-rata Gas Rumah Kaca (GRK) akibat sampah makanan adalah sebesar 77% dimana paling besar terjadi pada tahap konsumsi [1]. Sehingga upaya mereduksi timbulan sampah makanan sebagai bentuk pengelolaan sampah makanan dari tahap konsumsi harus dilakukan untuk menekan timbulan sampah makanan dan mengurangi emisi GRK.
Upaya reduksi jumlah timbulan sampah makanan di tahap konsumsi dapat dilakukan dengan pembuatan konsep pengelolaan sampah makanan yang mudah diingat dan dilakukan untuk merubah perilaku masyarakat dalam mengelola sampah makanan. Konsep ini dirumuskan dalam rangka menyelesaikan 5 penyebab utama timbulan sampah makanan di Indonesia yang telah dikaji oleh Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas antara lain: kurangnya implementasi Good Handling Practice (GHP), kualitas ruang penyimpanan yang kurang optimal, standar kualitas pasar & preferensi konsumen, kurangnya informasi/edukasi pekerja pangan & konsumen, dan kelebihan porsi & perilaku konsumen. Dari sini, dirumuskanlah konsep pengelolaan sampah makanan di tahap konsumsi: Konsep 5S+1D (Sadari, Sukai, Siapkan, Simpan, Salurkan, dan Daur Ulang). Konsep ini mengimplementasikan penerapan pengelolaan sampah (pengurangan dan penanganan) dimana pada sampah makanan pengelolaan dapat dimulai dari masyarakat membeli bahan makanan hingga akhirnya menjadi sampah sesuai dengan peraturan perundang-undangan pengelolaan sampah di Indonesia [3]. Ilustrasi konsep ini dapat dilihat pada Gambar.1.
Gambar 1. Ilustrasi konsep 5S+1D
Sadari: Menyadari pentingnya pengelolaan sampah makanan dari sumber.
Hal ini dapat dicapai dengan menerapkan edukasi konsumen mengenai pengelolaan sampah makanan. Edukasi pengelolaan sampah makanan dapat dimulai dari tahap membeli bahan makanan, menyimpan bahan makanan, mengolah makanan menjadi layak makan, hingga mengolah sampah makanan menjadi kompos. Edukasi dapat dilakukan secara langsung dengan melakukan pendampingan serta penyuluhan ke masyarakat oleh para pemangku kepentingan dan kampanye pengelolaan sampah makanan secara langsung turun ke masyarakat atau menggunakan sosial media oleh lembaga-lembaga tertentu [1]. Selain itu menerapkan kurikulum pengelolaan sampah makanan di pendidikan lingkungan hidup pada lingkup sekolah juga dapat dilakukan untuk mengurangi sampah sisa makanan dimana dapat menciptakan perubahan perilaku siswa yang sadar akan pentingnya pengelolaan makanan di rumah [4].
Siapkan: Menyiapkan daftar bahan makanan yang ingin dibeli
‘Siapkan’ menjadi tahap lanjutan dalam mencegah timbulnya sampah makanan dari sumbernya [2] setelah konsumen menyadari pentingnya pengelolaan sampah makanan. Tahap ini mengimplementasikan praktik gaya hidup nol sampah yaitu 6R dimana konsep rethink atau berpikir kembali dan refuse atau menolak [5]. Berpikir kembali dan menolak hal-hal yang dapat menyebabkan sampah makanan dapat dilakukan dengan membuat daftar bahan makanan yang ingin dibeli. Ketika di pusat perbelanjaan, jika mengadopsi prinsip ini, konsumen akan belanja sesuai karena menyesuaikan dengan daftar belanjaan yang telah dibuat selanjutnya. Hal-hal yang dapat dipertimbangkan oleh konsumen dalam membuat daftar belanja antara lain: urgensi dari masing-masing bahan makanan yang ingin dibeli sesuai dengan bahan makanan yang disimpan, kapasitas ruang penyimpanan bahan makanan, dan kondisi ekonomi.
Sukai: Menyukai bahan makanan bukan dari tampilannya.
Ugly food atau produk pangan yang layak makan namun tidak memenuhi standar penampilan cenderung tidak dipilih konsumen sehingga dapat menyebabkan sampah makanan. Padahal, bahan makanan tersebut masih layak untuk dikonsumsi. Merubah cara pandang masyarakat kepada bahan makanan yang tidak sempurna ini menjadi hal yang harus dilakukan. Salah satu cara merubahnya adalah dengan melakukan strategi-strategi yang dapat mempengaruhi konsumen untuk merubah preferensi mereka untuk mengkonsumsi ugly food. Seperti yang dilakukan oleh The Body Shop dengan mempengaruhi konsumen untuk berperilaku yang ramah lingkungan melalui kampanye pelestarian lingkungan serta memproduksi produk yang berkelanjutan[6].
Simpan: Menyimpan bahan makanan dengan benar di fasilitas penyimpanan.
Masyarakat yang memiliki fasilitas penyimpanan seperti lemari pendingin cenderung memiliki perlakuan yang dapat memperpendek umur simpan makanan. Padahal, tidak hanya memperpanjang umur simpan makanan, penanganan yang baik akan menjaga kualitas dan gizinya[7]. Sehingga, penyimpanan makanan dengan benar harus dilakukan seperti menerapkan cara preparasi dan pencucian bahan makanan sesuai jenisnya sebelum disimpan dan penerapan first in first out (FIFO) bahan makanan di lemari pendingin[1]. Selain itu, kualitas ruang penyimpanan yang belum optimal juga dapat menyebabkan sampah makanan. Maka, penerapan SOP lemari pendingin menjadi penting diterapkan seperti melakukan perawatan lemari pendingin dalam jangka waktu tertentu.
Salurkan: Menyalurkan makanan yang berlebih ke orang lain
Kelebihan porsi makanan menjadi persoalan sampah makanan di tahap konsumsi. Hal ini diakibatkan adanya diskon saat berbelanja, kebiasaan ‘lapar mata’ dan satuan unit penjualan[1]. Dengan menyalurkan makanan yang berlebih kepada orang yang lebih membutuhkan, potensi sampah makanan akan berkurang karena makanan yang lebih ini termanfaatkan. Penyaluran dapat melalui berbagai platform pencegah sampah makanan di Indonesia.
Daur Ulang: Melakukan daur ulang sampah makanan untuk mencegahnya berakhir di TPA
Sampah sisa makanan dapat didaur ulang menjadi kompos organik yang sangat baik untuk tanaman. Di segmen konsumen, pembuatan kompos dapat dilakukan dalam skala rumah tangga maupun non rumah tangga seperti membuat pupuk kompos sendiri atau menyalurkannya ke rumah kompos[1]. Upaya ini dapat mengurangi timbulan sampah dan dapat mengurangi emisi pengangkutan sampah ke TPA.
Dari keseluruhan pembahasan dapat dikatakan bahwa upaya menurunkan timbulan sampah makanan pada tahap konsumsi di Indonesia dapat dilakukan dengan menggunakan konsep 5S+1D (Sadari, Sukai, Siapkan, Simpan, Salurkan, dan Daur Ulang). Hal ini diupayakan dengan menerapkan dan menjadikannya slogan yang mudah diingat oleh aktor rantai pasok di segmen konsumsi. Diharapkan dukungan dari berbagai pihak untuk mewujudkan implementasi konsep ini agar dapat berjalan dengan baik untuk mewujudkan pembangunan yang rendah karbon di Indonesia.
#keanekaragamanhayati #adaptasiperubahaniklim #panganlokal #festivalgolokoe
Daftar Pustaka
[1] Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas, “Laporan Kajian Food Loss and Waste di Indonesia Dalam Rangka Mendukung Penerapan Ekonomi Sirkular dan Pembangunan Rendah Karbon,” 2021.
[2] M. Chaerul dan S. U. Zatadini, “Perilaku Membuang Sampah Makanan dan Pengelolaan Sampah Makanan di Berbagai Negara : Review,” J. Ilmu Lingkung., vol. 18, no. 3, hal. 455–466, 2020, doi: 10.14710/jil.18.3.455-466.
[3] Republik Indonesia, "UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2008 TENTANG PENGELOLAAN SAMPAH".
[4] M. Alpusari, “Analisis Kurikulum Pendidikan Lingkungan Hidup Pada Sekolah Dasar Pekanbaru,” Prim. J. Pendidik. Guru Sekol. Dasar, vol. 2, no. 02, hal. 10, 2014, doi: 10.33578/jpfkip.v2i02.1957.
[5] D. Riska dan N. I. Idrus, “Zero Waste Lifestyle: Gaya Hidup Ramah Lingkungan di Kalangan Anak Muda di Kota Makassar,” E M I K J. Ilm. ILMU-ILMU Sos., vol. 6, hal. 22–51, 2023.
[6] H. Fikra, F. Tazkiyah, dan K. Khairunnisa, “Analisis Kampanye Branding The Body Shop terhadap Perubahan Persepsi Konsumen,” Gunung Djati Conf. Ser., vol. 20, hal. 83–88, 2023.
[7] N. I. D. Arista, “Penanganan Pasca Panen Sayuran Serta Strategi Sosialisasinya Kepada Masyarakat Ditengah Pandemi Covid-19,” in Peningkatan Produktivitas Pertanian Era Society 5.0 Pasca Pandemi, 2021, hal. 207–216, doi: 10.25047/agropross.2021.223.
Tinggalkan Balasan
Anda harus masuk untuk berkomentar.
Terkait