Pulau Bawean terletak dalam administrasi Kabupaten Gresik, Provinsi Jawa Timur. Wilayah Bawean pun terbagi menjadi dua kecamatan yaitu, Kecamatan Tambak dan Kecamatan Sangkapura. Berdasarkan posisi geografisnya pulau ini terletak pada koordinat 5⁰40’-5⁰50’ LS dan 112⁰3’-112⁰36’ BT. Luas Pulau Bawean sendiri sekitar 190 km². Apabila dilihat berdasarkan struktur tanah yang ada di wilayah ini terdiri atas sedimen batuan tua sebesar 85% meliputi lapisan batuan kapur, pasir, tanah liat dan batu. Topografi Bawean cukup bervariasi mulai bergelombang, berbukit, dan bergunung. Tipe hutan yang ada berupa hutan dataran rendah kering (Danarto dan Rahadiantoro 2015). Terdapat banyak kawasan konservasi di wilayah ini yang terdiri dari tiga cagar alam dan satu suaka margasatwa. Lokasi cagar alam Pulau Noko dan Pulau Nusa berada di luar Pulau Bawean. Sedangkan lokasi Cagar Alam Bawean dikelilingi oleh Suaka Margasatwa Bawean dengan lokasi terkenal yaitu Danau Kastoba.
Dilihat dari sisi sosial, masyarakat yang tinggal di Pulau Bawean memiliki ciri khas budaya tersendiri. Hal tersebut dikarenakan masyarakat Bawean berasal dari etnis Jawa, Minang, dan Melayu yang budayanya saling berasimilasi. Meskipun demikian, masyarakat bawean yang bersuku bawean dikelompokkan sebagai sub Suku Jawa karena secara administrative bagian dari wilayah Gresik. Contoh asimilasi budaya yang terbentuk yaitu Jukung atau budaya membuat perahu yang berasal dari Kepulauan Riau. Ciri khas dari jukung adanya kayu balok penstabil pada setiap sisi perahu. Budaya islam juga turut berpengaruh sejak penyebarannya di Pulau Jawa dan dibawa oleh cucu Sunan Drajat, Maulana Umar Mas’ut. Berdasarkan hasil hasil sesus 2011 sebanyak 83.844 jiwa mayoritas beragama Islam. Maka tidak heran bila banyak budaya islam yang berkembang seperti, perayaan hari besar Islam (Idul Fitri dan Idul Adha), peringatan Maulud Nabi Muhammad, dan perkawinan secara adat Bawean yang berlandaskan islam atau sering dikenal makabin-kabin (Farid et al. 2013). Masyarakat Bawean juga dikenal sebagai suku perantau. Wilayah tujuan merantau adalah negara Singapura dan Malaysia. Kebudayaan tersebut dapat dibuktikan berupa perkampungan boyan (bawean) di negeri tujuan (Kartono 2004). Terdapat juga seni lokal asli Bawean yang berkembang di sini. Pencak silat Bawean (Pokolan) yang diwariskan secara turun-temurun. Pencak silat ini mirip dengan Silat Betawi namun lebih fokus pukulan mematikan dengan menekuk jari (sotok) untuk mematahkan tulang rusuk lawan. Ada juga tarian Alu-alu sebagai upacara panen yang diiringi tabuhan rebana(Farid et al. 2013).
Pulau Bawean memiliki sumberdaya hayati yang luar biasa unik. Banyak spesies endemik dapat ditemukan disini salah satunya Elang Ular Bawean. Hal ini bisa terjadi karena luas habitat dan vegetasi yang spesifik mengakibatkan perubahan evolusioner sehingga satwa mengalami spesiasi pulau. Elang Ular Bawean (Spilornis baweanus) menjadi bagian dari 12 jenis Elang Ular Indomalayan yang mayoritas anggotanya juga hidup secara endemik di suatu pulau. Burung ini termasuk burung diurnal atau beraktifitas di siang hari. Elang Ular Bawean sering ditemui ketika terbang sendiri dan mengeluarkan suaranya terutama saat mengalami perjumpaan dengan individu lain.
Penelusuran keendemikan Elang Ular Bawean (Spilornis baweanus) dibuktikan tidak ditemukannya spesies ini di wilayah lain sekitar Laut Jawa seperti di Pulau Karimunjawa, Madura, atau Kangean (MacKinnon et al. 1992). Hubungan antara Pulau Bawean dengan Pulau Jawa diperkirakan selama periode glasial ketika permukaan air laut masih rendah. Proses spesiasi ini semakin diperkuat dengan adanya temuan kerapatan vegetasi dan kondisi alam yang masih asli berupa hutan lebat hingga abad ke-14. Pulau Bawean ini baru mulai berpenghuni saat abad ke-14 dan kini luasan total habitat asli di pulau ini tersisa sebesar 40%. Secara sekilas satwa ini sama seperti Elang Ular Bido (Spilornis cheela) namun tidak melakukan migrasi dan menetap di pulau ini.
Elang Ular Bawean dapat dijumpai pada empat habitat. Habitat pertama yaitu hutan primer dan sekunder yang didominasi oleh vegetasi Nyawai (Ficus variegate), Awar-awar (Ficus septiceca), Podocarpus rumphii dan beberapa spesies Eugenia. Habitat kedua, Semak belukar dan lahan hutan yang telah terdegradasi. Habitat ini juga termasuk perkebunan yang tidak dikelola lagi sehingga vegetasi pionir dapat tumbuh. Habitat ketiga, areal perkebunan dimana termasuk persawahan, sebagian kecil padang rumput, taman, dan di sekitar areal pedesaan. Habitat keempat, areal tegakan hutan jati (Tectona grandis) yang juga ditumbuhi alang-alang (Imperata cylindrica). Tegakan jati di Bawean mulai dibudidayakan sejak terbatasnya lahan di Pulau Jawa dalam memenuhi permintaan kayu komersil. Mayoritas kayu jati digunakan untuk kontruksi kapal yang pada saat itu perdagangan rempah-rempah nusantara memasuki masa keemasannya. Karena tidak adanya pengelolaan setelah menurunnya permintaan kayu jati, pada awal abad ke-20 banyak areal bekas tebangan yang dibiarkan beregenerasi secara alami. Kawasan ini terpisah dengan bentangan alam berupa sungai dan lembah. Perjumpaan Elang Ular Bawean paling tinggi berada di hutan primer sebesar (49%), lahan terdegradasi (27%), lahan perkebunan (16%), dan tegakan jati (8%) menurut Nijman (2006). Jika dilihat dari kemampuan terbang, ketinggian terbang Elang Ular Bawean yang tercatat >500 m di atas permukaan laut.
Sebagai sebuah pulau yang dihuni manusia, tentunya kekayaan alam di Pulau Bawean juga memiliki ancaman tersendiri. Sepertiga pulau bawean tertutup hutan dengan setengahnya berupa tegakan jati dan berbagai tanaman kehutanan. Dapat disadari bahwa kebakaran semak di sekitar tegakan jati baik sengaja maupun tidak, dapat membahayakan cagar alam yang ada. Bahkan saat ini, maraknya penebangan liar di hutan jati dan hutan alam semakin memperluas areal lahan terbuka.
Elang Ular Bawean tidak menyukai hutan mangrove dan hutan pantai. Tentunya dengan melihat hal ini, kita menyadari bahwa habitat utama elang ini hanya tersisa di hutan primer. Lokasi hutan primer hanya berada di cagar alam dan suaka margasatwa bawean. Cagar alam Pulau Noko dan Nusa juga tidak mungkin menjadi habitat dari satwa ini. Kedua pulau tersebut termasuk dalam ekosistem pesisir. Dilihat dari sisi pengelolaan cagar alam bawean, lahan pertanian menjadi ancaman yang cukup serius. Lahan ini mengelilingi wilayah cagar alam sehingga memungkinkan adanya perambahan oleh masyarakat sekitar. Belum lagi aktivitas pengumpulan kayu bakar dan penebangan liar di kawasan cagar alam, padahal telah ada undang-undang yang mengatur secara ketat ketika masuk kawasan tersebut. Hal tersebut menjadikan kawasan cagar alam seperti milik umum. Selain perusakan habitat melalui penebangan hutan, ancaman Elang Ular Bawean dipengaruhi oleh aktivitas dispersal satwa dan perburuan burung untuk dipelihara.
Berdasarkan hasil analisis data oleh (Nijman 2006), perburuan untuk perdagangan satwa dan peliharaan domestic menjadi ancaman utama kelimpahan Elang Ular Bawean. Masalah ini berbeda dengan situasi elang di Pulau Jawa yang banyak disebabkan oleh degradasi habitat. Hampir setiap pria memiliki senapan angin dan mengajarkan anak-anaknya untuk membidik burung-burung kecil. Di pagi dan sore hari ketika elang terbang rendah, sering menjadi sasaran empuk bagi penembak. Disisi lain, kelimpahan Elang Ular Bawean tidak juga dipengaruhi oleh kedekatan dengan desa terdekat. Hal tersebut dibuktikan adanya perjumpaan elang yang bertengger di beberapa desa. Hasil penelusuran historis, perburuan elang mulai ada sejak kedatangan senapan angin di daerah ini setelah era penurunan Presiden Soeharto.
Perilaku dan ekologi Elang Ular Bawean tidak terlalu berbeda dengan kerabatnya yang ada di Jawa, Sumatera, Kalimantan, dan Semenanjung Malaya. Secara umum, burung ini terbang sendiri atau berpasangan sambal terbang tinggi. Suaranya pun lebih sering didengar saat pagi hari. Meskipun bukan elang hutan sejati, turunnya habitat hutan primer dapat mempengaruhi keberadaan burung ini. Keberadaan Elang Ular Bawean di ekosistem mangrove juga menyadarkan kepada pembaca bahwa spesies ini berbeda dengan kerabatnya Elang Ular Bido (Spilornis cheela) dan Elang Laut Dada Putih (Haliaeetus leucogaster) yang lebih menyukai ekosistem ini. Faktor pembeda yang paling memungkinkan adalah tidak adanya ketersediaan pakan favorit genus ini berupa ular laut.
Hasil penelusuran terkini sejak artikel ditulis sangat disayangkan bahwa Elang Ular Bawean (Spilornis baweanus) belum mendapat status perlindungan dari pemerintah. Tidak tercatat jenis ini dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan P.106 Tahun 2018 Tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P.20 Tahun 2018 Tentang Jenis Tumbuhan dan Satwa Yang Dilindungi. Bahkan saat ini, spesies ini belum mendapat evaluasi keterancaman dari IUCN. Nijman (2006) merekomendasikan bahwa spesies ini seharusnya masuk dalam kriteria Critical Endangered atau Sangat Terancam Punah. Berdasarkan luas persebaran berada kurang dari 100m2 yang mana hanya ada di Pulau Bawean. Ukuran individu dewasa kurang dari 250 individu dan memiliki perkiraan penurunan satu generasi sebesar <25%. Melihat kenyataan tersebut, perlu sebuah perhatian yang serius agar spesies ini tetap lestari di habitatnya. Jaringan kawasan lindung pulau dirasa masih belum mampu mencukupi aktivitas harian Elang Ular Bawean. WIlayah jelajah harian burung ini juga semakin rentan dengan banyaknya wisatawan yang berkunjung di Pulau Bawean ini.
Upaya konservasi Elang Ular Bawean harus semakin digiatkan karena peluang kelangsungan hidup satwa ini semakin kecil. Strategi konservasi prioritas saat ini dengan menghentikan aktivitas perburuan terutama yang bertujuan untuk rekreasi. Selanjutnya, perlu pengkayaan, perlindungan, dan perbaikan habitat agar pengelolaan kawasan konservasi yang ada berjalan secara efektif. Strategi optimal yang bisa dilakukan dengan membangun kerjasama dengan masyarakat sekitar. Dimana badan konservasi (pengelola cagar alam dan suaka margasatwa) harusnya diberikannya izin penuh dan membangun suatu proyek terpadu agar bisa bekerjasama dengan otoritas lokal dan LSM sekitar. Diharapkan adanya kerjasama yang baik akan memunculkan kegiatan konservasi yang lebih terstruktur.
Daftar Pustaka
Danarto SA, Rahadiantoro A. 2015. Eksplorasi tumbuhan di Pulau Bawen, Kabupaten Gresik, Jawa Timur. Di dalam: Prosiding Seminar Nasional Masyarakat Biodiversitas Indonesia. hlm 974–979.
Farid A, Soemarno, Marsoedi, Setiawan B. 2013. Community social and culture characteristic in Bawean Island, Indonesia. Glob J Arts Humanit Soc Sci. 1(2):30–42.
Kartono DT. 2004. Orang Boyan Bawean: Perubahan Lokal Dalam Transformasi Global. Surakarta: Pustaka Cakra.
MacKinnon J, Phillipps K, Balen B van. 1992. Burung-burung di Sumatera, Jawa, Bali dan Kalimantan. Bogor: Puslitbang Biologi-LIPI.
Nijman V. 2006. The endemic Bawean Serpent-eagle Spilornis baweanus : habitat use, abundance and conservation. Bird Conserv Int. 16(2):131–143. doi:10.1017/S0959270906000219.
Sumber Gambar
https://the-aghnanisme.blogspot.com/2015/05/ekspedisi-pulau-bawean-part-3-studi.html
Tinggalkan Balasan
Anda harus masuk untuk berkomentar.
Terkait