Derita Ekosistem Leuser, Krisis dan Kepunahan Spesies Langka

Derita Ekosistem Leuser, Krisis dan Kepunahan Spesies Langka
6 Agustus 2014
3753

july, 30, 2014

Tulang belulang gajah ditemukan bersama jerat kabel di sekitar hutan Soraya-Bengkung Kota Subulussalam dekat Taman Nasional Gunung Leuser. Gajah ini dibunuh dan diambil gadingnya. Foto: Forum Konservasi Leuser

Tulang belulang gajah ditemukan bersama jerat kabel di sekitar hutan Soraya-Bengkung Kota Subulussalam dekat Taman Nasional Gunung Leuser. Gajah ini dibunuh dan diambil gadingnya. Foto: Forum Konservasi Leuser

Peringatan bahaya disampaikan oleh Forum Konservasi Leuser (FKL) yang menemukan peningkatan perburuan harimau sumatera dan gajah sumatera di Kawasan Ekosistem Leuser (KEL), Aceh. Sejak 2013-2014, tim patroli FKL menemukan 282 jerat satwa yang target besarnya harimau dan gajah di sejumlah tempat di KEL.

“Ini krisis untuk Leuser, karena kami menemukan banyak perangkap satwa liar di hutan yang dipasang pemburu. Target besar mereka adalah harimau dan gajah,” kata Direktur FKL Dediansyah minggu lalu di Banda Aceh.

Jerat itu dibuat menggunakan alat-alat sederhana dengan desain dan bentuk yang berbeda-beda tergantung jenis satwa yang menjadi target. Tahun 2013, patroli FKL menemukan 127 jerat dengan rincian 43 jerat harimau, 32 jerat burung, 20 jerat rusa, 19 jerat gajah, 13 perangkap badak, dan termasuk menemukan bangkai orangutan. Sementara, dalam enam bulan pertama selama 2014 ini tim menemukan 160 jerat. Ini  menunjukkan adanya peningkatan kegiatan perburuan di KEL yang kondisinya sudah kritis, karena targetnya adalah satwa liar yang terancam punah seperti harimau, gajah, badak, dan orangutan.

“Indikasinya perburuan, karena tim menemukan bekas tali jerat pada bangkai tersebut,” kata Dedi.

Tali, jerat waja yang dipakai untuk menjerat satwa yang berhasil dirusak dan diamankan oleh tim patroli FKL di Bengkung. Foto: Forum Konservasi Leuser

Tali, jerat waja yang dipakai untuk menjerat satwa yang berhasil dirusak dan diamankan oleh tim patroli FKL di Bengkung. Foto: Forum Konservasi Leuser

Di Soraya dan Bengkung Kota Subulussalam yang berada di sisi selatan dekat Taman Nasional Gunung Leuser yang kini terancam perambahan, tim menemukan empat bangkai gajah jantan dewasa yang tinggal tulang belulang secara terpisah di dalam hutan. Gadingnya telah hilang. Di sekitar lokasi ditemukan jerat tali waja (kabel sling baja) besar, jerat lubang, dan racun. Gajah itu diperkirakan dijerat kakinya sehingga ia terperangkap dan akhirnya mati karena kehabisan tenaga. Pohon-pohon di sekitarnya rubuh karena gajah yang coba melepaskan diri dari jerat.

“Mereka sepertinya tahu itu tempat gajah biasa bermigrasi. Mereka memasang perangkap lalu menunggunya hingga gajah itu kena,”kata Dedi.

Tim juga menemukan jerat paku yang dipasangkan oleh penduduk setempat untuk mengamankan kebun dari gangguan gajah liar.

Di daerah Manggeng Kabupaten Aceh Barat Daya dan Kabupaten Tamiang, pemasangan jerat harimau dilakukan menggunakan jerat tali waja dan nilon serta lubang besar untuk perangkap. Biasanya pemburu ingin satwa dalam keadaan utuh untuk dijadikan offset-an.

Seorang anggota tim patroli FKL menemukan jerat untuk gajah terpasang di hutan. Foto: Forum Konservasi Leuser

Seorang anggota tim patroli FKL menemukan jerat untuk gajah terpasang di hutan. Foto: Forum Konservasi Leuser

Menurut Dedi, satwa lain yang diburu secara besar-besaran adalah landak, burung rangkong, rusa, kijang, orangutan dan berbagai jenis burung berkicau dan langka seperti murai batu, beo dan punai. Perburuan landak juga meningkat tajam di KEL dalam beberapa tahun terakhir. Seekor landak dihargai Rp300 ribu dan dijual sangat mudah karena ada penampung yang bisa menjemput ke lokasi. Mereka mengincar batu dalam perut landak yang katanya harganya mencapai Rp5-10 juta di Medan.

Para pemburu kebanyakan masyarakat lokal yang membuka kebun di sekitar hutan dan juga para pelaku illegal logging. Mereka memasang jerat dengan target rusa dan kijang di hutan dekat kebun mereka. Sementara, pemburu khusus harimau dan gajah diketahui datang dari Sumatera Barat yang pindah dari lokasi mereka yang lama di hutan Kerinci Seblat di antara Riau dan Jambi. Ada juga pemburu yang datang dari Sumatera Utara.

Menurut Dedi diduga ada kerjasama dengan sindikat perdagangan satwa liar internasional. Adanya permintaan satwa liar atau bagian tubuh satwa liar dari pasar internasional menyebabkan Leuser jadi target baru lokasi perburuan karena di sini satwanya masih lengkap dan banyak.

Para spesialis pemburu ini diketahui masuk ke hutan dengan menyamar sebagai pencari kayu alin (gaharu). Jumlah mereka empat hingga enam orang kemudian memencar beberapa kelompok. “Kami tahu mereka orang luar karena masyarakat lokal yang berkebun tidak mengenal mereka,” kata Dedi.

Bangkai orangutan dewasa yang sudah membusuk ditemukan di hutan Manggeng Aceh Barat Daya diduga ditembak oleh pemburu yang mengambil anak orangutan. Foto: Forum Konservasi Leuser

Bangkai orangutan dewasa yang sudah membusuk ditemukan di hutan Manggeng Aceh Barat Daya diduga ditembak oleh pemburu yang mengambil anak orangutan. Foto: Forum Konservasi Leuser

Dediansyah mengatakan para pemburu masuk ke hutan dengan cara menelusuri pinggiran sungai, memanfaatkan jalan-jalan yang dibuka ke dalam kawasan hutan. Ada juga yang merambah hutan, membuka kebun dan tinggal disana,  lalu memasang jerat satwa di sekitar hutan dekat kebun mereka.

“Kami menemukan jerat di jalur jelajah satwa, punggungan bukit dan uning (tempat satwa mengambil mineral). Dipasang dengan sangat ahli meski dengan perangkap tradisional.”

Tim patroli untuk proteksi satwa liar FKL saat ini ada delapan kelompok  yang bekerja sama dengan polisi kehutanan Dinas Kehutanan Aceh untuk melakukan pembersihan jerat dan  menghalau para pemburu di hutan lindung sekitar KEL yang ada di empat kabupaten di Aceh. Mereka memiliki dua tim yang rutin melakukan investigasi: perburuan, para pelaku dan penampung. Mereka juga mendekati para mantan pemburu untuk direkrut ke dalam tim.

Dedi mengingatkan harus ada tindakan cepat untuk menghentikan perburuan di KEL. Sejatinya tim  patrol dibutuhkan untuk terus melakukan pengamanan KEL yang luasnya 2,6 juta hektar dan mencakup 13 kabupaten di Aceh. “Penegakan hukum dan penyadartahuan kepada masyarakat juga harus ditingkatkan untuk mencegah perburuan yang lebih besar ke depan,” tandasnya.

Dua orang tim FKL sedang merusak jerat yang dipasang pemburu di antara pepohonan di dalam hutan. Foto: Forum Konservasi Leuser

Dua orang tim FKL sedang merusak jerat yang dipasang pemburu di antara pepohonan di dalam hutan. Foto: Forum Konservasi Leuser

 

sumber: mongabay.co.id

Tentang Penulis
Subhan Hadi

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Artikel
Terkait
Tidak ada artikel yang ditemukan
2014-10-08
Difference:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *