DAMPAK PERUBAHAN IKLIM TERHADAP SUMBERDAYA AIR

Kelautan
DAMPAK PERUBAHAN IKLIM TERHADAP SUMBERDAYA AIR
28 Maret 2020
2848

Perubahan iklim merupakan salah satu ancaman yang sangat serius terhadap sektor pertanian dan potensial mendatangkan masalah baru bagi keberlanjutan produksi pangan dan sistem produksi pertanian pada umumnya. Perubahan iklim adalah kondisi beberapa unsur iklim yang magnitude dan/atau intensitasnya cenderung berubah atau menyimpang dari dinamika dan kondisi rata-rata, menuju ke arah (tren) tertentu (meningkat atau menurun). Penyebab utama perubahan iklim adalah kegiatan manusia (antropogenik) yang berkaitan dengan meningkatnya emisi gas rumah kaca (GRK) seperti CO2 , metana (CH4), CO2, NO2, dan CFCs (chlorofluoro-carbons) yang mendorong terjadinya pemanasan global dan telah berlangsung sejak hampir 100 tahun terakhir (Balitbangtan 2011).

Pengaruh perubahan iklim terhadap sektor pertanian bersifat multi-dimensional, mulai dari sumberdaya, infrastruktur pertanian, dan sistem produksi pertanian, hingga aspek ketahanan dan kemandirian pangan, serta kesejahteraan petani dan masyarakat pada umumnya. Pengaruh tersebut dibedakan atas dua indikator, yaitu kerentanan dan dampak. Secara harfiah, kerentanan (vurnerable) terhadap perubahan iklim adalah “kondisi yang mengurangi kemampuan (manusia, tanaman, dan ternak) beradaptasi dan/atau menjalankan fungsi fisiologis/biologis, perkembangan/fenologi, pertumbuhan dan produksi serta reproduksi secara optimal (wajar) akibat cekaman perubahan iklim”. Dampak perubahan iklim adalah “gangguan atau kondisi kerugian dan keuntungan, baik secara fisik maupun sosial dan ekonomi yang disebabkan oleh cekaman perubahan iklim” (Balitbangtan 2011).

Dalam kaitan dampak perubahan iklim terhadap sumberdaya air, secara global telah banyak laporan mengenai hal tersebut. Diantaranya adalah Bates et al. (2008) yang membuat dokumen resmi IPCC dengan kontribusi dari banyak negara dan penulis, namun dokumen tersebut tidak memuat informasi mengenai sumberdaya air Indonesia. Brekke et al. (2009) menunjukkan bagaimana antar lembaga Federal Amerika Serikat menyusun laporan mengenai strategi pengelolaan sumberdaya air sebagai tanggapan atas dampak perubahan iklim. Jose and Cruz (1999) menyajikan penilaian kesiapan sektor air Filipina menghadapi dampak perubahan iklim, khususnya mengidentifikasi kerentanan sistem waduk menghadapi perubahan curah hujan dan suhu di masa mendatang. Kajian dampak perubahan iklim terhadap sumberdaya air di India disajikan oleh Mall et al. (2006) yang menyelidiki potensi pembangunan berkelanjutan sumberdaya air menghadapi dampak perubahan iklim, dan menyatakan perlunya upaya adaptasi dan penelitian lanjutan di India. Kebanyakan kajian demikian mengandalkan penggunaan model, mulai dari model sirkulasi udara umum (GCM) untuk mensimulasikan berbagai skenario perubahan, namun Brekke et al. (2009) menekankan pentingnya bukti ilmiah atas dasar data pengamatan jangka panjang dari stasiun monitoring hidrologi.

Sektor sumberdaya air Indonesia, khususnya pulau Jawa, telah mengalami banyak perubahan dengan degradasi lingkungan dan penurunan kualitas air, dan sejumlah kajian telah menyatakan status kritis yang serius. Sebagai sistem yang kompleks, perubahan yang terjadi di sektor sumberdaya air dipengaruhi oleh banyak faktor, seperti tekanan penduduk dengan segala aktivitasnya, perubahan penggunaan lahan, eksploitasi sumberdaya air, termasuk air bumi, serta pembangunan infrastruktur fisik (Mawardi, 2010). Krisis air di Indonesia terjadi akibat kesenjangan antara kebutuhan air yang dipicu oleh jumlah penduduk dan ketersediaan pasokan air dari debit andalan sungai‐sungai utama kawasan, dan untuk ini perlu diidentifikasi daerah kritis air seperti yang dibahas Alcamo dan Henrichs (2002) pada tingkat global. Hatmoko (2009) menyimpulkan bahwa telah terjadi penurunan debit andalan di sebagian besar sungai di pulau Jawa, khususnya yang tercatat di bagian hilir, yang terjadi terutama pada DAS kritis super prioritas, dan tren penurunan ini belum tentu disebabkan akibat dampak perubahan iklim.

Gejala perubahan iklim wilayah Indonesia ditunjukkan dengan telah terjadi dampak terhadap ketersediaan air, misalnya Pawitan (2002) menunjukkan penurunan curah hujan tahunan pulau Jawa bagian selatan periode 1931‐1960 dan 1968‐1998 yang mencapai 1000 mm. Hasil serupa juga diperoleh di Daerah Aliran Sungai (DAS) Citarum Hulu periode 1896‐1994 yang mengalami penurunan curah hujan sebesar 10 mm th-1 dan diikuti penurunan debit limpasan sebesar 3 mm th-1. Perubahan ini diyakini karena perubahan penggunaan lahan hutan ke penggunaan lainnya yang telah berlangsung sejak awal abad 20 dan meningkat secara drastis dalam tiga dasawarsa terakhir ini. Dampak perubahan tutupan lahan dalam skala luas ini nampak dari perubahan fungsi hidrologi DAS yang berawal dari penurunan curah hujan wilayah dan diikuti oleh hasil air (water yield) DAS.

IPCC mencatat bahwa pemanasan global telah meningkatkan suhu 0,7ºC sejak 1900, dengan ikutan berupa penyusutan tutupan salju dan es, serta peningkatan aras muka laut dengan laju 2 mm th-1. Banyak kajian proyeksi perubahan iklim telah dilakukan menggunakan Global Climate Model (GCM) dengan berbagai skenario, termasuk Indonesia, yang tentunya perlu dikalibrasi dan diverifikasi.
Menurut World Bank ada beberapa daerah di Indonesia yag sangat rentan terhadap bahaya perubahan iklim. Meskipun suhu udara di Indonesia kemungkinan hanya akan mengalami sedikit kenaikan, perubahan iklim akan mengakibatkan kenaikan curah hujan dan permukaan laut yang lebih besar. Masyarakat dan ekosistem yang sangat rentan terhadap risiko perubahan iklim berada di Jawa, Bali, beberapa bagian Sumatera dan sebagian besar Papua. Peningkatan suhu di laut juga akan berpengaruh pada keanekaragaman hayati laut dan sangat berbahaya bagi terumbu karang. Adapun dampak ekonomi dari perubahan iklim di Indonesia akan tinggi. Tanpa mempertimbangkan dampak non pasar dan risiko bencana, kerugian Produk Domestik Bruto (PDB) ratarata diproyeksikan mencapai 2.5% di tahun 2100.

Perubahan iklim yang terjadi di Indonesia umumnya ditandai adanya perubahan suhu rerata harian, pola curah hujan, tinggi muka laut, dan variabilitas iklim (misalnya El Niño dan La Niña, Indian Dipole, dan sebagainya). Perubahan ini memberi dampak serius terhadap berbagai sektor di Indonesia, termasuk kesehatan, pertanian, dan perekonomian. Beberapa studi dari beberapa institusi, baik dari dalam maupun luar negeri menunjukkan bahwa iklim di Indonesia mengalami perubahan sejak tahun 1960, meskipun analisis ilmiah maupun datadatanya masih terbatas. Perubahan suhu rerata harian merupakan indikator paling umum perubahan iklim. Ke depan, UK Met Office memproyeksikan peningkatan suhu secara umum di Indonesia berada pada kisaran 2,0-2,50ºC pada tahun 2100 berdasarkan skenario emisi A1B–nya IPCC, yaitu penggunaan energi secara seimbang antara energi non-fosil dan fosil (UK Met Office 2011). Data historis mengonfirmasikan skenario tersebut, misalnya kenaikan suhu linier berkisar 2,6ºC per seratus tahun untuk wilayah Malang (Jawa Timur) berdasarkan analisis data 25 tahun terakhir (KLH 2012).

Peningkatan suhu rerata harian tersebut berpengaruh secara signifikan terhadap pola curah hujan yang umumnya ditentukan sirkulasi monsun Asia dan Australia. Dengan sirkulasi monsun, Indonesia memiliki dua musim utama yang berubah setiap setengah tahun sekali (musim penghujan dan kemarau). Perubahan suhu rerata harian juga dapat mempengaruhi terjadinya perubahan pola curah hujan secara ekstrim. UK Met Office lebih lanjut mencatat kekeringan maupun banjir parah sepanjang 1997 hingga 2009. Analisis data satelit TRMM (Tropical Rainfall Measuring Mission) untuk periode 2003-2008 memperlihatkan peningkatan peluang kejadian curah hujan dengan intensitas ekstrim, terutama di wilayah Indonesia bagian barat (Jawa, Sumatera, dan Kalimantan) serta Papua. Salah satu fenomena yang memperkuat terjadinya peningkatan suhu di Indonesia adalah melelehnya es di Puncak Jayawijaya, Papua (Bappenas 2009).

Hal tersebut mengakibatkan kekeringan atau banjir ekstrim, peningkatan suhu permukaan atmosfer juga menyebabkan terjadinya peningkatan suhu air laut yang berujung pada ekspansi volume air laut dan mencairnya glestser serta es pada kutub. Pada tahap selanjutnya, tinggi muka air laut mengalami kenaikan yang berisiko terhadap penurunan kualitas kehidupan di pesisir pantai. Kenaikan rerata tinggi muka laut global pada abad ke-20 tercatat sebesar 1.7 mm per tahun, walaupun kenaikan tersebut tidak terjadi secara seragam. Bagi Indonesia yang diapit oleh Samudera Hindia dan Pasifik, kenaikan tinggi muka laut yang tidak seragam dapat berpengaruh pada pola arus laut. Selain perubahan pola arus, juga meningkatkan potensi terjadinya erosi, perubahan garis pantai, mereduksi wetland (lahan basah) di sepanjang pantai, dan meningkatkan laju intrusi air laut terhadap akifer daerah pantai.

Berdasarkan kajian Bappenas (2009) dan Dewan Nasional Perubahan Iklim (DNPI 2012), gelombang badai (storm surge), pasang surut, serta variabilitas iklim ekstrim seperti La Niña yang termodulasi oleh kenaikan tinggi muka laut juga turut berkontribusi dalam memperparah bahaya penggenangan air laut di pesisir. Analisis awal terhadap data simulasi gelombang menunjukkan bahwa rerata tinggi gelombang maksimum di perairan Indonesia pada periode monsun Asia berkisar antara 1 m hingga 6 m. Laut Jawa, tinggi gelombang maksimum, terutama Januari dan Februari mencapai 3.5 m. Hal ini menambah risiko banjir di daerah pantai utara jawa (pantura) karena bertepatan dengan puncak musim penghujan di Indonesia. Selain risiko banjir di pantai, gelombang ekstrim juga berdampak buruk terhadap distribusi barang antar pulau yang banyak menggunakan transportasi laut. Di Analisis yang dilakukan terhadap fenomena El Niño dan La Niña (Sofian 2010) menunjukkan bahwa kedua fenomena tersebut akan lebih banyak berpeluang terjadi di masa mendatang dengan periode dua hingga tiga tahun sekali yang diduga disebabkan perubahan iklim.

Perubahan iklim di Indonesia berdampak cukup besar terhadap produksi bahan pangan, seperti jagung dan padi. Produksi bahan pangan dari sektor kelautan (ikan maupun hasil laut lainnya) diperkirakan akan mengalami penurunan yang sangat besar dengan adanya perubahan pola arus, suhu, tinggi muka laut, umbalan, dan sebagainya. Indonesia bahkan berada pada peringkat 9 dari 10 negara paling rentan dari ancaman terhadap keamanan pangan akibat dampak perubahan iklim pada sektor perikanan (Huelsenbeck, 2012). Akibat dampak perubahan iklim dan pengasaman laut (ocean acidification) pada ketersediaan makanan hasil laut, Indonesia berada pada peringkat 23 dari 50 negara paling rentan berdasarkan kajian yang sama. 

Kajian dampak perubahan iklim terhadap sumberdaya air antara lain meningkatnya kejadian cuaca dan iklim ekstrim yang berpotensi menimbulkan banjir, tanah longsor, dan kekeringan. Kondisi tersebut diperparah oleh semakin menurunnya daya dukung lahan akibat meningkatnya tekanan terhadap lahan. Data dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menunjukan bahwa kejadian bencana di Indonesia dalam periode 1815-2011 didominasi oleh faktor hidrometeorologi dan interaksinya. Data inventarisasi kejadian banjir menunjukkan kejadian antar-musim mengalami peningkatan dari tahun ke tahun dengan pertumbuhan eksponensial. Data kekeringan berdasarkan pemantauan pada tahun 2002 menunjukkan bahwa fluktuasi kejadian kekeringan terjadi antar musim dan mengalami peningkatan walaupun belum terlihat trend yang nyata. Adapun peluang banjir di Indonesia akan meningkat seiring peningkatan tinggi muka laut, intensitas gelombang ekstrim, curah hujan yang sangat tinggi dan kejadian La Niña. Bencana banjir ekstrim terutama terjadi pada daerah pesisir yang merupakan lokasi kota-kota strategis seperti DKI Jakarta. Bencana ini berdampak buruk bagi perekonomian serta mengancam kesehatan masyarakat. 

Beberapa kajian di atas menunjukkan bahwa perubahan iklim sudah berlangsung di Indonesia. Perubahan tersebut memberi dampak terhadap multisektor meskipun kajian maupun data yang tersedia masih terbatas. Proyeksi iklim selalu mengandung ketidakpastian. Tantangan terbesar adalah melakukan kuantifikasi terhadap ketidakpastian tersebut untuk meningkatkan kedayagunaannya dalam pengambilan keputusan. Dalam hal proyeksi iklim berdasarkan GCM, setidaknya terdapat tiga sumber ketidakpastian yang harus diperhitungkan yaitu skenario emisi gas rumah kaca, sensitivitas iklim global terhadap emisi gas rumah kaca (pemilihan model GCM), dan respon sistem iklim regional terhadap pemanasan global (downscaling model).
Langkah penyempurnaan perlu terus dilakukan untuk mengatasi segala keterbatasan data maupun metodologi yang digunakan dalam kajian perubahan iklim di Indonesia, guna memenuhi kebutuhan informasi nasional yang lebih akurat. Untuk masa mendatang, perlu program penguatan basis ilmiah (scientific base) perubahan iklim secara lebih terkoordinasi. Program ini perlu disusun melalui pemberdayaan berbagai lembaga yang relevan secara optimal, khususnya lembaga penelitian dan pengembangan serta perguruan tinggi. Dengan demikian, roadmap dapat digunakan bukan hanya untuk memberi panduan bagi aksi adaptasi dan mitigasi tiap sektor, tapi juga untuk memperkuat basis ilmiah mengenai perubahan iklim di masa mendatang.

Pada dasarnya, perubahan iklim bukan merupakan penyebab tunggal dari bencana alam yang saat ini semakin sering terjadi. Namun perubahan iklim berkontribusi dalam membuat fenomena atau bencana alam hidro-meteorologi ini menjadi ekstrim atau luar biasa. Pemerintah Indonesia telah melakukan beberapa kajian tentang perubahan iklim yang meskipun masih terbatas dan belum akurat dapat menjadi titik awal dari suatu program yang bermanfaat bagi penguatan basis ilmiah perubahan iklim yang terkoordinasi bagi sektor-sektor yang ada di Indonesia. Pada akhirnya, kapasitas masing-masing sektor dapat meningkat untuk mengatasi berbagai persoalan akibat perubahan iklim di Indonesia.

Pawitan (1999), dan Rango (1998), mempertimbangkan peran pemodelan hidrologi dalam kajian perubahan iklim dan kerentanan sistem sumberdaya air wilayah. Hasil penelitian Pawitan (1999) menyatakan bahwa perubahan pola penggunaan lahan berdampak pada penurunan ketersediaan air wilayah akibat meningkatnya fluktuasi musiman dengan gejala banjir dan kekeringan yang semakin ekstrim, dan ukuran DAS serta kapasitas sistem storage DAS, baik di permukaan (tanaman, sawah, rawa, danau/waduk, dan sungai) maupun bawah permukaan (lapisan tanah dan air bumi), akan merupakan faktor dominan yang menentukan kerentanan dan daya dukung sistem sumberdaya air wilayah terhadap perubahan iklim.

Gleick (1989) mengulas state-of-the-art kajian dampak perubahan iklim terhadap daur hidrologi dan sumberdaya air wilayah, serta dampak perubahan terhadap perencanaan dan pengelolaan air di masa mendatang. Dua kemungkinan skenario yang perlu dipertimbangkan adalah: (1) skenario limpasan dan kelengasan tanah untuk menentukan peningkatan frekuensi dan lama dari tingkat air rendah, dan (2) skenario suhu dan curah hujan untuk menentukan perubahan distribusi temporal dan amplitudo dari tingkat air musiman. Selanjutnya skenario perubahan iklim yang dihasilkan GCM ini diterjemahkan ke dalam neraca air wilayah dan limpasan pada skala DAS untuk menyatakan tingkat ketersediaan air wilayah melalui model pengelolaan air.

Pawitan et al. (2003) yang membahas Aspek Perubahan Iklim terhadap Pengelolaan Banjir dan Kekeringan dalam Peringatan Hari Air Sedunia 2002 menyatakan bahwa untuk menjamin kelestarian sistem produksi pertanian Indonesia dengan mengurangi dampak perubahan iklim terhadap sektor pertanian nasional perlu memperhatikan lima upaya pokok berikut: (i) peningkatan ketegaran sektor pertanian terhadap banjir dan kekeringan, (ii) peningkatan akurasi monitoring dan prakiraan cuaca/iklim dan diseminasinya, (iii) monitoring perubahan tata guna lahan yang berdampak pada penyimpangan iklim, (iv) sosialisasi semua aspek yang menyangkut penanggulangan bencana banjir dan kekeringan, dan (v) keterpaduan program dalam menghadapi penyimpangan iklim dan bencana banjir dan kekeringan.

Beberapa isu dasar terkait perubahan iklim global yang menjadi sumber ketakpastian dan memerlukan perhatian dan komitmen bersama adalah: Proyeksi populasi dunia. IPCC (1996) mengadopsi dua skenario proyeksi populasi dunia yaitu skenario A2 dengan proyeksi penduduk dunia 15 milyar pada akhir 2100, dan skenario B1 dengan puncak populasi dunia 8,7 milyar jiwa pada tahun 2055 dan turun menjadi 7,1 milyar jiwa pada tahun 2100. Pada tahun 2000 penduduk dunia telah mencapai 6 milyar jiwa.

Dengan berubahnya iklim, kejadian kekeringan bertambah parah, air tanah semakin berkurang serta kenaikan air laut memicu instrusi air laut ke daratan sehingga mencemari kualitas sumber-sumber air untuk keperluan air bersih dan irigasi. Aksi strategis yang disebutkan di atas telah secara langsung maupun tidak langsung berkaitan dengan adaptasi perubahan iklim. Untuk memperkuat program dan inisiatif yang telah ada sehingga menjadi tahan terhadap perubahan iklim, rencana aksi yang perlu diimplementasikan antara lain:
1) Mengadakan inventarisasi tempat pengambilan air baku untuk air minum di sungai (intake) dan daerah irigasi yang terkena dampak kenaikan muka air laut dan mengidentifikasi upaya-upaya penanganannya.
2) Memperbaiki jaringan hidrologi di tiap wilayah sungai sebagai pendeteksi perubahan ketersediaan air maupun sebagai perangkat pengelolaan air dan sumber air.
3) Menginventarisasi DAS yang mengalami pencemaran namun tingkat penggunaan airnya sangat tinggi untuk ditentukan prioritas penanganannya.
4) Melaksanakan program pembangunan situ, embung dan waduk di wilayah Pulau Jawa, Sumatera, Sulawesi, Maluku, Bali, NTB, dan NTT seperti yang telah diprogramkan dalam Rencana Kerja Pemerintah (RKP) 2008. Tempat-tempat penampungan air tersebut dapat dipergunakan sebagai sarana penyimpan air di musim hujan sehingga bisa dimanfaatkan di musim kemarau.
5) Melanjutkan gerakan hemat air untuk segala keperluan, seperti air minum, domestik, pertanian, industri, pembangkit listrik, dan sebagainya.

#bwkehati #hariairsedunia #bwchallenge

 

Tentang Penulis
Aulia Nur Ramdaniar
Sekolah Vokasi Institut Pertanian Bogor

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

2020-03-28
Difference:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *