Hukum adat adalah napas yang membuat hukum Indonesia tidak kaku seperti patung, tetapi hidup seperti air yang mengalir
Indonesia adalah sebuah orkestra yang tak pernah memainkan satu nada saja. Dari Sabang sampai Merauke, dari Talaud hingga Rote, ia memadukan ratusan melodi adat yang membentuk harmoni kehidupan. Namun, harmoni ini tak jarang terusik oleh kebijakan nasional yang cenderung sentralistik. Salah satunya adalah Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP) yang sedang digodok di tingkat legislatif.
RUU ini, yang sejatinya diharapkan memperbarui KUHAP lama, justru memunculkan kekhawatiran akan semakin terpinggirkannya hukum adat di tanah air. RUU KUHAP menegaskan dominasi hukum positif—tertulis, kaku, dan birokratis—di tengah realitas sosial yang majemuk.
Padahal, di banyak wilayah Indonesia, hukum adat bukan sekadar pelengkap; ia adalah denyut nadi keadilan, pedoman moral, dan mekanisme penyelesaian konflik yang telah teruji lintas generasi.
Hukum adat bukanlah monolit. Ia hidup, tumbuh, dan menyesuaikan diri dengan lingkungan sosial masyarakatnya. Tidak ada satu “kitab” yang mengatur seluruh hukum adat Indonesia. Yang ada adalah prinsip-prinsip umum yang meresap di berbagai suku dan daerah.
Pertama, kolektivitas – kepentingan bersama diutamakan dibanding kepentingan pribadi. Kedua, restoratif – fokus pada pemulihan hubungan, bukan sekadar penghukuman. Ketiga, musyawarah – keputusan diambil melalui mufakat, bukan paksaan otoritas tunggal. Keempat, fleksibilitas – penyesuaian terhadap konteks, nilai, dan perkembangan zaman.
Karena sifatnya yang tidak tertulis secara baku, hukum adat sering berbenturan dengan hukum nasional yang memerlukan kepastian formil. Padahal, fleksibilitas inilah yang membuatnya relevan hingga kini.
Beberapa pasal dalam draf RUU KUHAP berpotensi mengikis peran hukum adat. Misalnya pembatasan Peradilan di luar sistem peradilan negara, pengabaian putusan adat, sentralisasi penegakan hukum. Ini bukan hanya soal prosedur hukum; ini soal kedaulatan budaya. Jika RUU KUHAP diberlakukan tanpa ruang memadai untuk adat, maka keadilan akan kehilangan rasa lokalnya.
Hukum nasional berpegang pada asas legalitas. tiada perbuatan dapat dihukum tanpa peraturan tertulis. Hukum adat berpegang pada asas kepatutan dan kelaziman lokal: tiada perbuatan dibiarkan bila merusak harmoni sosial, meskipun belum ada aturan tertulis. Benturan ini terlihat jelas ketika kasus-kasus pelanggaran adat dibawa ke pengadilan negara.
Misalnya, pencemaran sungai yang dalam hukum adat Dayak bisa dihukum dengan denda adat dan ritual penyucian, namun dalam hukum positif hanya dihitung sebagai pelanggaran administratif atau pidana lingkungan dengan denda rupiah.
Di Palembang, penyelesaian sengketa tanah ulayat sering dilakukan melalui musyawarah keluarga besar, dipimpin tokoh adat. Sanksi adat bisa berupa pengembalian tanah, pembayaran denda berbentuk emas, atau pemberian hasil panen selama beberapa musim.
RUU KUHAP, dengan logika formalnya, bisa memandang ini tidak sah jika tak didaftarkan ke pengadilan, kemudian di Minangkabau, Ninik mamak memiliki peran sentral menyelesaikan sengketa warisan berdasarkan prinsip matrilineal. Putusan mereka sering kali mengikat secara moral lebih kuat daripada putusan pengadilan, karena menyentuh rasa malu (malu basamo).
Restorative Justice dalam Bingkai Adat
Konsep restorative justice yang kini populer di kebijakan hukum nasional sebenarnya sudah lama hidup dalam adat Nusantara. Bedanya, restorative justice versi Barat cenderung administratif, sedangkan dalam adat ia berakar dalam nilai spiritual, rasa malu, dan hubungan kekeluargaan. UUD 1945 Pasal 18B ayat (2) mengakui dan menghormati kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak tradisionalnya sepanjang masih hidup.
Putusan Mahkamah Konstitusi juga berulang kali menegaskan hak ini. Artinya, ruang hukum adat bukan hadiah negara, melainkan hak yang melekat. Menilik hal ini maka rekomendasi yang dapat diberikan yaitu RUU KUHAP harus memuat pasal khusus yang memberi pengakuan eksplisit pada putusan lembaga adat, Putusan adat harus memiliki kekuatan hukum mengikat setara mediasi resmi dan Penegak hukum wajib berkonsultasi dengan tokoh adat sebelum mengambil langkah pidana di wilayah adat.
Hukum adat adalah napas yang membuat hukum Indonesia tidak kaku seperti patung, tetapi hidup seperti air yang mengalir. RUU KUHAP seharusnya bukan tembok yang menghalangi aliran itu, melainkan jembatan yang menghubungkan kearifan lokal dengan sistem nasional.
Sebab, tanpa adat, hukum hanyalah tulisan dingin di kertas; tanpa hukum, adat berisiko kehilangan pijakan di dunia modern. Jika negara benar-benar ingin hadir bagi seluruh rakyatnya, maka ia harus hadir pula di balai adat, di ruang musyawarah, di tengah suara tetua kampung. Di sanalah keadilan Indonesia sesungguhnya dibentuk
Catatan
Artikel ini pertama kali terbit di Damarku.id pada 18 September 2025, kemudian dipublikasikan ulang di bwkehati dengan izin penulis (hak cipta milik penulis).
Leave a Reply
Terkait