Ancaman Krisis Besar di Balik Kasus Tesso Nilo

Aktivitas, Kehutanan
Ancaman Krisis Besar di Balik Kasus Tesso Nilo
2 July 2025
7
0

Pertengahan Juni 2025, publik dikejutkan laporan Satgas Penertiban Kawasan Hutan (PKH) tentang hilangnya hutan di Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN). Satgas mencatat, dari luas kawasan hutan TNTN pada 2014 yang mencapai 81.793 hektar, kini hanya tersisa sekitar 12.561 hektar atau 15 persen saja. Artinya, sekitar 69.000 hektar hutan telah hilang, dan sekitar 40.000 hektar di antaranya berubah menjadi perkebunan kelapa sawit (Kompas.com, 20 Juni 2025). Temuan Satgas juga menunjukkan indikasi serius, yakni terbitnya sejumlah Sertifikat Hak Milik (SHM) di wilayah yang seharusnya menjadi kawasan konservasi TNTN. Dugaan sementara, penerbitan sertifikat itu tidak lepas dari praktik korupsi. Tak hanya itu, warga di kawasan TNTN didapati memegang Surat Keterangan Tanah (SKT) serta KTP palsu. Bahkan di dalam kawasan sudah berdiri infrastruktur resmi seperti tiang listrik, sekolah, hingga rumah ibadah.

Kondisi ini sungguh ironis. TNTN adalah benteng terakhir bagi keberlangsungan biodiversitas hutan hujan tropis Sumatera, habitat penting satwa liar langka seperti harimau sumatera dan gajah sumatera. Menurut regulasi, kawasan taman nasional sama sekali tidak boleh dialihfungsikan untuk produksi maupun permukiman. Namun faktanya, hukum sering tidak cukup kuat melawan derasnya kepentingan ekonomi dan kekuasaan. Kasus Tesso Nilo sebetulnya hanya potret kecil dari fenomena yang jauh lebih besar. Di banyak kawasan konservasi dan lindung, polanya selalu serupa: hutan diambil alih, dijadikan kebun sawit atau pertanian, didukung dokumen tanah palsu, lalu masuk perusahaan besar yang membeli lahan ilegal, menciptakan konflik sosial-ekonomi, dan memunculkan konflik dengan satwa liar. Ujungnya, penegakan hukum lemah dan upaya rehabilitasi tersendat karena politik lokal, keterbatasan sumber daya, dan lemahnya pengawasan. Lebih menyedihkan lagi, tidak semua perusakan kawasan hutan berjalan lewat jalur ilegal. Banyak yang justru legal melalui izin resmi. Aktivitas pertambangan, misalnya, diperbolehkan dalam kawasan hutan produksi maupun di kawasan hutan lindung secara terbatas melalui metode bawah tanah. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1967, kemudian UU No 41 Tahun 1999, hingga UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja membuka celah regulasi tersebut. Pasal 38 UU No 41/1999 menegaskan bahwa pembangunan di luar fungsi kehutanan — termasuk tambang, jaringan listrik, hingga sarana pertahanan — tetap diperbolehkan lewat izin pinjam pakai kawasan hutan (IPPKH) yang dikeluarkan pemerintah. Sayangnya, celah ini sering dimanfaatkan tanpa pengendalian.

Pemerintah sebenarnya wajib menetapkan batas minimal luas kawasan hutan per provinsi atau DAS (daerah aliran sungai), sebagaimana diatur dalam PP Nomor 23 Tahun 2021 turunan UU Cipta Kerja. Namun, hingga kini hal itu belum kunjung terwujud. Tanpa kepastian batas kawasan hutan, izin-izin baru terus dikeluarkan tanpa batas perlindungan ekologis yang jelas. Bahkan tambang-tambang legal merambah kawasan konservasi, kawasan yang semestinya dijaga ketat. Tekanan pembangunan infrastruktur juga menambah beban kawasan hutan. Proyek-proyek jalan tol di Jawa dan Sumatera, misalnya, memicu pembukaan lahan baru. Dari total 458 daerah aliran sungai di Indonesia, 60 sudah dalam status kritis berat, dan 222 berstatus kritis sedang. Jika tutupan hutan terus berkurang, kemampuan DAS dalam menyimpan air bersih dan mencegah banjir akan semakin rapuh.

 

Sawit menyusup ke hutan

Data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) tahun 2023 menyebut sekitar 3,37 juta hektar perkebunan sawit berada di dalam kawasan hutan. Dari jumlah itu, 2,3 juta hektar berada di kawasan hutan produksi, sisanya bahkan masuk ke kawasan konservasi yang semestinya steril dari aktivitas industri sawit. Secara prinsip, sawit hanya diperbolehkan di area penggunaan lain (APL), bukan di kawasan hutan. Namun, celah regulasi seperti izin pelepasan kawasan hutan atau izin pinjam pakai membuka jalan sawit masuk ke hutan. Peraturan Menteri LHK Nomor P.17/2021, misalnya, memberi peluang legalisasi sawit yang sudah terlanjur berada di kawasan hutan lewat skema PPTKH (penyelesaian penguasaan tanah dalam kawasan hutan). Sayangnya, legalisasi itu sering hanya formalitas. Tidak ada proses inventarisasi nilai konservasi tinggi, padahal hutan primer yang hilang tidak bisa digantikan.

Kebun sawit monokultur menggantikan hutan alam, memiskinkan keanekaragaman hayati, serta mempercepat pelepasan emisi karbon. Hingga kini, lebih dari 1 juta hektar perkebunan sawit di kawasan hutan statusnya belum jelas karena proses sertifikasi lahan berlarut-larut, disertai konflik kepentingan. Akibat berbagai praktik ini, kawasan hutan Indonesia terus tergerus. Dari sekitar 125,66 juta hektar kawasan hutan administratif pada 1980-an, kini hanya tersisa 95 juta hektar (Rencana Kehutanan Tingkat Nasional 2011-2030). Artinya, dalam beberapa dekade terakhir, kita telah kehilangan lebih dari 30 juta hektar. Lebih menyedihkan lagi, hanya sekitar 47 juta hektar dari angka itu yang benar-benar masih berfungsi sebagai hutan alam.

Hilangnya hutan mempercepat emisi gas rumah kaca, memperburuk krisis iklim, serta memicu bencana hidrometeorologis seperti banjir, kekeringan, dan kebakaran hutan. Data Bank Dunia (2022) mencatat, 75 persen bencana alam di Indonesia adalah bencana hidrometeorologis yang erat kaitannya dengan degradasi ekosistem hutan.

 

Korupsi dan konflik

Krisis kehutanan Indonesia juga tidak lepas dari pusaran korupsi, konflik agraria, dan ketidakadilan ekologis terhadap masyarakat adat. Korupsi di sektor kehutanan kerap terjadi melalui kolusi antara pejabat, politisi, dan pengusaha. Studi Paul Kenny dan Eve Warburton (2020) menemukan 33,2 persen pebisnis di sembilan provinsi mengalami pungutan liar, sedangkan 35,7 persen menganggap praktik itu biasa saja. Sektor kehutanan, konstruksi, dan pertambangan menjadi lahan basah untuk praktik ini. Kajian Jacqui Baker (2020) di Pelalawan, Riau, menelusuri jaringan korupsi kehutanan yang melibatkan lebih dari 200 simpul, mulai dari dinas kehutanan, industri pulp, hingga politisi. Walaupun jumlah pejabat yang terlibat tidak banyak, pengaruh mereka sangat besar karena menguasai sumber daya lahan dan kebijakan. Konflik kepentingan membuat pencegahan korupsi berjalan setengah hati. Kasus Tesso Nilo adalah salah satu contoh bagaimana kebijakan diselewengkan demi kepentingan sempit. Penerbitan SHM di kawasan taman nasional menegaskan lemahnya pengawasan. Bayangkan, Indonesia hanya punya 7.000 polisi kehutanan (polhut) untuk mengawasi kawasan seluas lebih dari 120 juta hektar. Artinya, satu polhut harus mengawasi rata-rata 17.000–18.000 hektar. Padahal idealnya, satu petugas hanya memantau 500–1.000 hektar agar bisa bekerja efektif. UU Nomor 23 Tahun 2014 pun membuat fungsi pengawasan sebagian besar ditarik ke pemerintah pusat. Pemerintah kabupaten nyaris tidak berperan, kecuali untuk taman hutan raya. Rentang kendali yang terlalu jauh menyebabkan banyak kejadian di lapangan luput dari pantauan.

 

Perlu reformasi serius

Mereformasi tata kelola kehutanan tidak bisa ditunda lagi. Revisi UU 41/1999 yang sedang berproses di DPR sebaiknya tidak hanya soal prosedur, tetapi fokus pada pembenahan pengawasan, penguatan fungsi ekologis hutan, dan tata kelola yang adil. Kebijakan kehutanan ke depan juga perlu diikuti dengan menambah jumlah polhut, meningkatkan kapasitas teknologi, serta mengembalikan sebagian fungsi pengawasan ke pemerintah daerah agar lebih dekat dengan masyarakat sekitar hutan. Baca juga: Serial Squid Game Berakhir, Apa Keserakahan Tak Bertepi Terus Eksis di Negeri Ini? Selain itu, harus ada larangan tegas penambangan terbuka di kawasan hutan lindung dan penghentian praktik legalisasi sawit di kawasan konservasi. Pemerintah perlu melakukan audit total terhadap sertifikat tanah di kawasan hutan, serta menegakkan transparansi dalam mekanisme inventarisasi kawasan hutan berbasis partisipasi publik. Restorasi kawasan yang sudah rusak pun tidak boleh bergantung hanya pada investor. Model padat karya berbasis komunitas lokal perlu diprioritaskan, sekaligus menghentikan ekspansi industri ekstraktif di kawasan lindung dan konservasi. Kasus Tesso Nilo hanyalah cermin dari bobroknya tata kelola kehutanan kita. Jika tidak ada perubahan mendasar, krisis serupa akan terus berulang, menjerumuskan Indonesia ke pusaran bencana ekologis yang lebih besar. Momentum pengembalian 1,019 juta hektare kawasan hutan oleh Satgas PKH seharusnya dijadikan titik balik untuk memulihkan fungsi hutan sebagai penyokong kehidupan, bukan sekadar lahan produksi jangka pendek. Jika reformasi gagal, generasi mendatang hanya akan mewarisi tanah kritis, banjir, kekeringan, krisis air bersih, dan kerentanan pangan. Jangan sampai itu terjadi.

 

Sumber: Kompas.com

#konservasi, Keanekaragaman hayati, biodiversitas, biodiversity, ekologi, hutan
Tentang Penulis
Kompas.com
Kompas

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *