Pada tanggal 30 September 2023, dunia konservasi, khususnya badak Sumatera (Dicerorhinus sumatrensis), menerima berita menggembirakan. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mengumumkan melalui siaran pers bahwa satu badak Sumatera betina telah dilahirkan oleh induknya, Ratu, yang berusia 23 tahun. Kelahiran ini terjadi seminggu setelah peringatan Hari Badak Sedunia pada tanggal 22 September lalu. Kelahiran ini tentu membawa harapan, tetapi juga menantang kita semua untuk bertindak segera.
Seluruh komunitas konservasi, baik di Indonesia maupun di seluruh dunia, harus bersuka cita atas kelahiran satu ekor badak Sumatera betina di Suaka Rhino Sumatera Taman Nasional Way Kambas (SRS-TNWK). Kita patut mengapresiasi dedikasi semua pihak, khususnya Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) beserta mitranya yang telah bekerja keras dalam kelahiran badak ini. Kelahiran ini seperti oase di tengah padang pasir, mengingat kondisi kritis populasi badak Sumatera saat ini.
Data dari berbagai sumber, termasuk analisis viabilitas populasi dan habitat, mengungkapkan bahwa pada tahun 1993 populasi badak Sumatera diperkirakan mencapai 356 - 495 individu di Malaysia dan Indonesia. Namun, pada tahun 2011, jumlah mereka tiba-tiba merosot drastis menjadi hanya 216 - 284 individu. Saat ini, perkiraan populasi mereka kurang dari 100 ekor, yang diketahui hanya tersebar di Kawasan Ekosistem Leuser, Taman Nasional Bukit Barisan Selatan, Taman Nasional Way Kambas, dan sebagian kecil di Kalimantan Timur.
Penurunan jumlah populasi tersebut disebabkan oleh faktor eksternal dan intrinsik badak sendiri. Ancaman luar tersebut seperti perburuan liar dan penurunan mutu habitat. Kondisi ini menyebabkan badak sulit bertemu dan kawin sehingga mempengaruhi perkembangbiakannya. Selain itu, populasi kecil memperbesar terjadinya perkawinan dengan kerabat dekat (in-breeding).
Sementara ancaman intrinsik bisa disebabkan oleh dua hal, pertama karena perilaku perkawinan alamiah dan kedua karena gangguan reproduksi. Proses perkawinan badak Sumatera hanya terjadi pada keadaan birahi dan masa subur betina. Sayangnya masa subur hewan mamalia tersebut sangat singkat. Pertemuan jantan dan betina di luar masa kawin justru menimbulkan perkelahian yang dapat berakibat fatal bagi salah satu atau keduanya. Sementara gangguan reproduksi terjadi karena badak betina yang lama tak kawin menyebabkan munculnya tumor dan kista.
Pengaruh faktor intrinsik ini dapat menghambat kemampuan reproduksi badak hingga menyebabkan kepunahan. Seperti contohnya pada kasus kepunahan badak Sumatera di Malaysia. Spesies tersebut telah dinyatakan punah di Negeri Jiran beberapa tahun lalu, meskipun perlindungannya telah dianggap memadai. Ini menjadi bukti kuat bahwa penurunan populasi badak Sumatera bukan disebabkan oleh faktor luar saja, namun juga faktor intrinsik berpengaruh cukup besar.
Dugaan ini sangat valid mengingat data di SRS TNWK menunjukkan bahwa sebagian besar betinanya mengalami gangguan reproduksi, seperti adanya tumor dan kista pada rahim dan gagal bunting. Kita bisa menengok hasilnya, sejak SRS TNWK dibangun 1998, hanya empat ekor anak badak yang berhasil dilahirkan, termasuk kelahiran terbaru. Dari empat anak badak tersebut, tiga di antaranya berasal dari induk yang sama, yaitu Ratu. Selain angka kelahiran yang kecil di SRS TNWK, dapat dikatakan bahwa variabilitas genetik di SRS TNWK juga terbatas. Sebab jumlah individu betina sehatnya terbatas, Tidak bisa hanya mengandalkan satu atau dua betina saja untuk menghasilkan anakan badak. Kondisi ini juga mungkin terjadi untuk badak di alam liar.
Untuk mencegah punahnya badak Sumatera seperti di Malaysia terjadi, perlu ada perubahan paradigma dan langkah-langkah radikal. Pertama, kita perlu menangkap sebagian besar badak dari alam liar untuk meningkatkan keanekaragaman genetik dan meningkatkan kecepatan perkembangbiakan di fasilitas perkembangbiakan SRS. Kedua, kita harus mengembangkan fasilitas SRS yang sudah ada dan membangun yang baru agar mendukung pembiakan badak. Ketiga, penggunaan teknologi reproduksi berbantu (Assisted Reproductive Technoogy/ART) dan pembangunan Bank Gen (bio-bank) demi mempercepat pembiakan dan melindungi materi genetik badak Sumatera.
Melalui ART, sel gamet dari betina badak Sumatera dapat diselamatkan dan dibuahi secara in-vitro sehingga menghasilkan embrio badak yang dapat membantu meningkatkan populasi di lokasi pembiakan tanpa risiko inbreeding. Jika ART tidak berhasil, Bio-bank akan menjadi benteng terakhir dalam melindungi sumber daya genetik badak. Bio-bank akan mengawetkan sel gamet, fibroblas, dan embrio dalam jangka panjang dengan metode pembekuan, untuk memastikan kelangsungan genetik badak dan dapat digunakan untuk menghasilkan individu baru di masa yang akan datang.
Tidak kalah penting adalah persiapan sanctuary alami yang dapat menjadi rumah bagi badak jika suatu hari mereka siap untuk dilepasliarkan. Upaya-upaya ini harus digabungkan dengan tindakan perlindungan lainnya. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan telah merilis Rencana Aksi Darurat (RAD) penyelamatan populasi Badak Sumatera di Sumatra dan Kalimantan 2018-2021. Strategi tersebut fokus pada perlindungan populasi yang dianggap masih memungkinkan untuk diselamatkan, serta penyelamatan populasi kecil atau individu yang terisolasi untuk dijadikan stok pembiakan di lingkungan ex-situ. Rencana ini perlu untuk dilanjutkan dan diperbarui dengan memasukkan hal-hal di atas.
Terakhir, tindakan-tindakan ini harus segera dilaksanakan untuk menyelamatkan badak Sumatera yang tersisa dan memastikan bahwa spesies ini memiliki kesempatan untuk bertahan dan berkembang di masa depan. Kehilangan badak Sumatera akan menjadi kerugian besar bagi Indonesia dan dunia. Kepunahan spesies ini berarti hilangnya satu genus Dicerorhinus dari bumi kita.
Perlakuan Serupa untuk Badak Jawa
Selain badak Sumatera, Indonesia juga memiliki badak Jawa (Rhinoceros sondaicus) yang kondisinya tidak jauh berbeda. Ancaman dan tantangan serupa tapi tak sama juga terjadi pada badak bercula satu tersebut. Badak Jawa saat ini hanya tinggal terbatas di semenanjung barat daya pulau Jawa tepatnya di kawasan Taman Nasional Ujung Kulon (TNUK). Padahal dahulu dari catatan persebarannya, satwa bercula satu ini menyebar dari India, Myanmar, Thailand, Kamboja, Laos, Vietnam, Semenanjung Malaysia, Jawa, dan Sumatera. Saat ini, kondisi mereka harus berpacu dengan ancaman seperti habitat yang kian menghadapi risiko penyempitan dan terkurung oleh pemukiman. Bahkan dilaporkan masih terjadinya perburuan di Ujung Kulon, terbukti dengan ditemukannya tulang belulang badak tanpa cula baru-baru ini oleh Satuan Tugas Operasi TNUK.
Salah satu faktor menyempitnya habitat badak di TNUK adalah invasi langkap (Arenga obtusifolia). Beberapa peneliti menduga bahwa hal ini merupakan bagian dari proses suksesi vegetasi setelah letusan Gunung Krakatau pada tahun 1883. Beberapa hasil penelitian juga menyebutkan bahwa invasi tumbuhan ini bisa menyebabkan degradasi habitat badak Jawa secara alami dan dalam jangka panjang menyebabkan penurunan keanekaragaman hayati di TNUK, termasuk menurunnya jumlah spesies pakan badak.
Keadaan habitat menyempit kian mendorong potensi kawin kerabat antar individu badak. Dengan demikian diperlukan opsi lain mengelola populasi badak di TNUK. Salah satunya adalah usulan untuk mendorong penyediaan habitat baru yang sehat di luar TNUK sebagai alternatifnya. Pilihan ini dapat menjadi solusi untuk mencegah perkawinan antar kerabat dan ancaman penurunan keanekaragaman genetik di masa depan.
Pada akhirnya, dalam upaya menyelamatkan spesies bercula Indonesia, perlu dilakukan perubahan paradigma konservasi yang mencakup langkah-langkah radikal. Kelahiran badak Sumatera betina memang merupakan berita menggembirakan, namun populasi yang semakin kritis dan jumlah kelahiran yang hanya satu ekor per lebih dari lima tahun memerlukan tindakan cepat. Tantangan intrinsik, seperti rendahnya kapasitas reproduksi dan rendahnya variasi gen dalam populasi penangkaran, serta tantangan ekstrinsik, seperti perburuan liar dan fragmentasi habitat, harus diatasi. Solusinya mencakup captive breeding dengan pembangunan fasilitas pengembangbiakan yang memadai dan efisien dengan melibatkan teknologi reproduksi berbantu, pembangunan Bank Gen, dan ke depannya penyediaan sanctuary alami untuk pelepasan badak di kemudian hari. Pentingnya tindakan perlindungan yang segera dan pembaharuan serta pelaksanaan Rencana Aksi Darurat juga tak boleh diabaikan. Upaya ini menjadi kunci bagi kelangsungan hidup dan mencegah kepunahan spesies bercula ini.
Sumber: Tempo.co
Tinggalkan Balasan
Anda harus masuk untuk berkomentar.
Terkait
Syarat dan ketentuan