Bogor – The 5th International Conference on Natural Resources and Environmental Conservation (ICNREC) resmi digelar pada Selasa (12/11) secara hybrid di IPB International Convention Center, Bogor. Dengan tema “Indonesian Oil Palm Plantations: Socioeconomic Benefits, Gender Issues, and Emerging Conflicts”, konferensi ini menghadirkan para ahli, pembuat kebijakan, pelaku industri, dan peneliti untuk mendiskusikan tantangan serta peluang dalam industri kelapa sawit Indonesia.
Acara dibuka dengan sambutan dari Dr. Ir. Musdhalifah Machmud, MT, sebagai anggota Tim Ahli Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, yang menyoroti pentingnya industri kelapa sawit sebagai salah satu pilar utama perekonomian Indonesia. Beliau menyampaikan, “Kelapa sawit tidak hanya memberikan kontribusi besar terhadap PDB dan devisa negara, tetapi juga memiliki peran penting dalam menciptakan lapangan kerja dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Namun, tantangan yang dihadapi, seperti konflik lahan dan ketimpangan sosial, harus segera diatasi melalui pendekatan yang berkelanjutan.”
Dalam pidato pembukaannya, Prof. Dr. Ir. Naresworo Nugroho, MS, Dekan Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University, menekankan perlunya keseimbangan antara pertumbuhan ekonomi, keberlanjutan lingkungan, dan keadilan sosial. “Konferensi ini menjadi platform penting untuk mencari solusi holistik bagi tantangan multifaset di sektor kelapa sawit,” ujarnya.
Kegiatan dilanjutkan dengan sesi keynote yang disampaikan oleh pembicara dari berbagai negara dengan latar belakang yang berbeda, guna membahas berbagai tantangan dalam industri perkebunan kelapa sawit. Hadir dalam kegiatan tersebut, Helena Varkkey dari Universiti Malaya, Jean-Marc Roda dari CIRAD, Taco Bottema dari PT. Ekotalis Teknologi Indonesia, Lee Ser Huay Janice Teresa dari Nanyang Technological University, Bart W van Assen dari KAYON, dan Linda Rosalina dari Transformasi untuk Keadilan Indonesia (TuK Indonesia).
Dalam kesempatannya, menurut Helena Varkkey, Indonesia dan Malaysia harus menjalin kerjasama untuk meningkatkan industri sawit yang ada, serta merespon tekanan yang datang dari Uni Eropa. “Malaysia dan Indonesia yang awalnya berkompetisi dalam industri kelapa sawit, sudah saatnya saling kooperatif mengembangkan industri sawit,” tuturnya.
Perwakilan dari France Agriculture Research Center for International Development/CIRAD, Tako Bottema, menyoroti dinamika kompleks industri kelapa sawit Indonesia, sektor yang telah mengalami peningkatan pesat dalam 40 tahun terakhir yang berdampak besar pada lanskap pedesaan dan ekonomi negara ini. Sementara itu, Bart W van Assen dari KAYON dalam pemaparannya menyoroti pentingnya mempertimbangkan aspek sosial dalam industri kelapa sawit, mencakup tidak adanya intimidasi atau manipulasi terhadap masyarakat adat.
Senada dengan Assen, Lee Ser Huay Janice Teresa dari Nanyang Technological University menjelaskan bahwa petani kecil memainkan peran penting dalam industri minyak kelapa sawit dan mencakup sekitar 40% perkebunan kelapa sawit Indonesia. Pada tingkat rumah tangga, minyak kelapa sawit berkontribusi pada berbagai tingkat kekayaan bagi petani kecil. Pada tingkat regional, perubahan dalam pembangunan ekonomi dalam produksi sawit memiliki efek langsung dan tidak langsung pada bagaimana pendapatan dan ekonomi regional berkembangan.
Meskipun demikian, menurut Teresa, “tidak semua aspek masyarakat menerima manfaat ini secara merata”, ujarnya.
Di saat bersamaan, Linda Rosalinda dari Transformasi untuk Keadilan Indonesia (Tuk Indonesia) memfokuskan pada pentingnya prinsip keuangan berkelanjutan oleh lembaga keuangan di Indonesia, karena penerapan prinsip keuangan berkelanjutan belum menjadi prioritas dalam kebijakan.
Setelah sesi keynote, acara dilanjutkan dengan sesi paralel (32 paper presenter) yang terbagi menjadi tiga meeting room dan satu ballroom. Sesi ini memberikan ruang diskusi yang lebih spesifik sesuai dengan subtema konferensi. Selain manfaat sosial-ekonomi yang signifikan, seperti penciptaan 4,5 juta lapangan kerja, konferensi ini juga menyoroti tantangan distribusi keuntungan yang tidak merata, di mana petani kecil sering menghadapi harga pasar yang fluktuatif dan akses terbatas ke sumber daya.
Isu lain yang menjadi perhatian adalah konflik lahan, dengan lebih dari 500 kasus yang terdokumentasi di beberapa provinsi utama, seperti Riau, Kalimantan Barat, dan Sumatra Barat. Diskusi mengarah pada pentingnya reformasi kebijakan tata guna lahan dan mekanisme penyelesaian konflik berbasis komunitas.
ICNREC 2024 diselenggarakan oleh PUSAKA KALAM bekerja sama dengan Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University dan CIRAD, serta didukung oleh BPDPKS, PT. Sampoerna Agro, PT. SMART, GAPKI, PT. Astra Agro Lestari, dan APKASINDO. Dengan berbagai perspektif yang dihadirkan, ICNREC 2024 diharapkan mampu merumuskan strategi berkelanjutan untuk masa depan industri kelapa sawit yang lebih adil dan ramah lingkungan.
Tinggalkan Balasan
Anda harus masuk untuk berkomentar.
Terkait