Perhutanan Sosial yang Memberi Harapan Masyarakat Sragen

Siaran Pers
Perhutanan Sosial yang Memberi Harapan Masyarakat Sragen
7 Januari 2025
0
  • Program perhutanan sosial memberi akses legal bagi masyarakat Desa Banyuurip, Sragen untuk mengelola lahan hutan dan meningkatkan perekonomiannya.
  • Dengan teknologi hibrida sumur dan PAH, warga Desa Banyuurip mengatasi kekeringan yang berlangsung setiap tahun, yang airnya digunakan untuk penanaman tanaman keras dan buah untuk memperbaiki tutupan hutan serta mendukung keberlanjutan ekosistem.
  • Warga Desa Banyuurip diajak meningkatkan pendapatan sekaligus merehabilitasi hutan melalui agroforestry dengan diversifikasi tanaman, seperti sacha inchi dan rempah-rempah, menggantikan ketergantungan pada tebu dan jagung.
  • Reorganisasi LMDH Banyuurip Lestari sebagai pengelola perhutanan sosial di Desa Banyuurip berhasil memberdayakan generasi muda dan perempuan. Dukungan Yayasan Kehati, seperti pembentukan kebun pembibitan kolektif, juga mendorong peningkatan keanekaragaman hayati.

 

Di usia senjanya, Karso (68), warga Dukuh Gobang, Desa Banyuurip, Kecamatan Sragen, Jawa Tengah, menemukan semangat baru dalam bercocok tanam melalui program perhutanan sosial. Dengan penuh antusias, dia kini mengelola lahan dengan 80 pohon alpukat jenis miki, dan 41 pohon mangga jenis kiojay.

“Sebelumnya saya tanam tebu, tapi setelah ikut program ini, saya pikir lebih baik menanam pohon yang bisa berbuah. Kalau sudah besar nanti bisa berteduh, dan kalau berbuah, hasilnya juga lumayan,” ujarnya saat ditemui di lahan garapannya, pertengahan Desember lalu.

Bersama istrinya, dia tak ragu menanam tanaman buah-buahan itu, meski ia sadar hasilnya butuh waktu. “Yang penting sabar ngopeni bocah-bocah ini,” ujarnya sembari memegang bibit pohon alpukat yang baru berumur 15 hari.

Bagi Karso menanam pohon pelindung ini merupakan kebanggaan, disamping perawatannya tidak terlalu sulit juga cocok dengan ritme hidupnya yang sudah tidak lagi muda.

Ia bilang, sebelum mendapatkan status perhutanan sosial, ia sudah menggarap lahan tersebut. Namun, karena kurang tegakan pohon, tanah menjadi kurang subur. Kini, dengan bibit pohon dari program perhutanan sosial (PS), ia optimis lahan akan menjadi lebih produktif dan berharap dapat mewariskan pepohonan alpukat untuk anak cucunya.

Jarwanto Tri Anggoro, Sekretaris Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH) Banyuurip Lestari mengungkapkan masyarakat setempat sebenarnya sudah lama menggarap lahan negara sebelum program perhutanan sosial hadir.

Baca : Perhutanan Sosial yang Memberikan Harapan Masyarakat Banyuwangi

 

Karso (68), petani penggarap berpose dengan latar belakang perbukitan yang minim tegakan. Kawasan ini menjadi salah satu lokasi demonstrasi plot atau demplot yang ditanam alpukat dan mangga. Foto: Falahi Mubarok/Mongabay Indonesia

 

Namun, ketika itu aktivitas tersebut dilakukan tanpa izin resmi, sehingga dianggap ilegal. Banyak pohon yang ditebang secara sembarangan untuk membuka lahan. Setelah itu, lahan tersebut ditanami tanaman semusim seperti tebu dan jagung.

Praktik itu membawa dampak serius bagi lingkungan karena hilangnya tutupan hutan yang berfungsi sebagai penyimpanan alami dan berdampak terjadinya kekeringan saat musim kemarau.

“Pernah suatu ketika, dalam setahun kami mengalami delapan bulan nggak ada hujan,” terangnya.

Kekeringan yang melanda tak hanya mengganggu kehidupan sehari hari, namun juga membuat produktifitas lahan jadi menurun.

 

Menjaga Keberlanjutan Ekosistem

Sumino, Program Direktur Lembaga Pengembangan Teknologi Pedesaan (LPTP) Surakarta mengatakan, salah satu tantangan besar yang dihadapi masyarakat Banyuurip adalah ketersediaan air saat musim kemarau tiap tahunnya.

Berdasarkan kajian yang dilakukan, penyebabnya karena secara hidrologi di desa yang berbatasan dengan Jawa Timur itu tidak tersedia sumber air dangkal. Disamping itu, sebanyak 10 sumber mata air kondisinya sudah mengering atau mati karena kemampuan tanah untuk menyerap dan menahan air sangat berkurang akibat perubahan kondisi hutan.

Sumber air tanah berada pada kedalaman lebih dari 80 meter, dengan kualitas air yang tidak layak konsumsi karena mengandung belerang, zat kapur dan rasanya asin.

“Solusi mendesak kami lakukan untuk mengatasi masalah ini, terutama dengan rekayasa yang mampu menahan dan memanfaatkan air hujan,” ujarnya. Kondisi itu memberatkan masyarakat Desa Banyuurip karena harus menyediakan uang Rp1,2 miliar per tahun untuk kebutuhan air bersih.

Baca juga : Praktik Perhutanan Sosial yang Datangkan Pendapatan tanpa Rusak Lingkungan 

 

Kondisi lahan di Desa Banyuurip, Kecamatan Jenar, Kabupaten Sragen, Jawa Tengah, yang minim tegakan pohon. Foto: Falahi Mubarok/Mongabay Indonesia

 

Sebagai langkah awal, LPTP Surakarta mengembangkan teknologi sumur hibrida yang mengintegrasikan sumur gali, sumur resapan, dan penampungan air hujan (PAH). Dengan pendekatan ini, air hujan yang melimpah saat musim hujan dikumpulkan dan disimpan. Secara kuantitas kebutuhan air bersih selama musim hujan sudah terpenuhi dengan memanfaatkan 720 sumur dan PAH yang dimiliki masyarakat.

“Ketika teknologi ini berhasil, kami merekomendasikannya sebagai salah satu solusi utama dalam kajian kami. Ini menjadi bukti bahwa perubahan bisa dilakukan secara nyata dan cepat,” imbuh Sumino.

Selain mengelola air, langkah strategis lainnya yaitu mengembangkan perhutanan sosial berkelanjutan. Pendekatan ini mencakup tanaman keras, tanaman buah, dan tanaman pakan ternak.

Salah satu tanaman unggulan yang dikembangkan adalah sacha inchi, yang dapat dipanen setiap minggu setelah masa tanam sembilan bulan. Tak hanya itu, masyarakat juga diajak menanam rumput dan kacang-kacangan diantara tanaman keras untuk menyediakan pakan ternak.

Melalui koordinasi dengan LMDH Banyuurip Lestari, model perhutanan sosial ini berhasil diterapkan di lahan seluas 2,6 hektare. Pendekatan ini, kata Sumino, tak hanya menjawab kebutuhan air dan ekonomi masyarakat, namun juga memperkuat kelembagaan lokal dan menjaga keberlanjutan ekosistem.

 

Keseimbangan Antar Pembangunan

Sejak diperoleh izin perhutanan sosial pada 2019, LMDH Banyuurip Lestari mengalami kemajuan signifikan baik dalam bidang ekonomi, sosial maupun lingkungan

Sigit Murhofik, Penyuluh Kehutanan Kecamatan Jenar, Cabang Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Wilayah X Jawa Tengah, menjelaskan bahwa perhutanan sosial memberikan akses bagi masyarakat untuk mengelola hutan secara legal.

“Dengan akses ini, warga Banyuurip berhasil meningkatkan perekonomian melalui hasil tanam. Kami juga berupaya mendorong masyarakat untuk mencapai keseimbangan yang mencakup aspek sosial dan lingkungan,” katanya.

Baca juga : Perhutanan Sosial Berbasis Masyarakat atau Negara?

 

Warga beraktifitas di kebun bibit yang digunakan untuk reboisasi kawasan hutan yang kritis di Desa Banyuurip, Sragen, Jateng. Foto: Falahi Mubarok/Mongabay Indonesia

 

Sigit memaparkan, sejak memperoleh surat keputusan perhutanan sosial melalui skema pengakuan dan perlindungan kemitraan kehutanan (Kulin KK), yang merupakan bentuk kerjasama antara masyarakat sekitar hutan dan Perhutani, LMDH Banyuurip Lestari mengalami reorganisasi kepengurusan untuk menciptakan struktur yang lebih inklusif dan aktif.

Dari skema tersebut, kini lembaga yang memiliki 1.113 anggota ini mengelola hutan sosial seluas 904 hektare.

“Setelah reorganisasi, kami melibatkan generasi muda dan wanita dalam kepengurusan. Kini, kami rutin mengadakan pertemuan, disertai dengan kegiatan arisan untuk mempererat hubungan antaranggota,” jelasnya.

Tak hanya memperkuat kelembagaan, reorganisasi ini juga menumbuhkan semangat kebersamaan dan kepercayaan. Hasilnya mereka bisa menghasilkan produk rumahan berbahan dasar kacang sacha inchi, yang diproduksi kelompok usaha perhutanan sosial (KUPS) setempat.

 

Diversifikasi Komoditas

Di bidang ekonomi, lanjut Sigit, dilakukan diversifikasi komoditas. Dari awalnya hanya tiga komoditas utama, yaitu jagung, tebu dan singkong, sekarang dikembangkan tanaman bernilai ekonomi tinggi seperti cabai jawa, kunyit, jahe, dan kencur.

Dalam melestarikan lingkungan, program perhutanan sosial mengedepankan konsep agroforestri, yaitu menanam tanaman produktif di bawah tegakan pohon utama seperti jati. Beberapa komoditas yang dikembangkan di lahan kritis termasuk alpukat dan mangga.

“Tak hanya fokus pada ekonomi, namun kami juga memperkenalkan praktik-praktik yang mendukung keberlanjutan lingkungan,” tambahnya.

Meski begitu, pelaksanaan program PS sempat terkendala oleh resistensi petani terhadap perubahan pola tanam dari tebu dan jagung ke komoditas baru.

“Masyarakat cenderung mempertahankan tebu karena hasilnya lebih dikenal dan telah memiliki pasar,” jelasnya.

Untuk itu, bersama berbagai berbagai pihak, pendekatan yang digunakan yaitu dengan demonstrasi plot atau demplot, yang bertujuan untuk membuktikan potensi pengembangan komoditas baru, sekaligus memberikan contoh nyata bagi masyarakat dalam mengelola sumber daya secara efektif dan berkelanjutan.

Selain itu, kondisi tanah yang sudah lama digarap juga menjadi tantangan dalam memperkenalkan tanaman baru.

“Kami mencari petani yang bersedia mencoba. Meski awalnya skeptis, akhirnya mereka mau mengelola demplot sacha inchi. Tanaman ini ternyata mampu memberikan hasil ekonomi yang baik sambil memperbaiki kualitas lingkungan,”

Melalui diversifikasi komoditas dan peningkatan kapasitas masyarakat, Sigit optimis bahwa perhutanan sosial dapat menciptakan harmoni antara manusia dan alam.

Baca juga : Cerita Kelompok Tani Kelola Izin Perhutanan Sosial di Jambi

 

Warga yang tergabung dalam Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH) Banyuurip Lestari bersama tim pendamping berfoto di kebun bibit yang mereka kelola. Foto: Falahi Mubarok/Mongabay Indonesia

 

Pendampingan Yayasan Kehati

Keberhasilan program perhutanan sosial di Banyuurip tidak lepas dari dukungan berbagai pihak, termasuk Yayasan Keanekaragaman Hayati Indonesia (Kehati).

Christian Natalie, Manajer Program Ekosistem Kehutanan Yayasan Kehati mengungkapkan, tak hanya meningkatkan kesejahteraan masyarakat lewat peningkatan tata kelola kelompok masyarakat dan pemanfaatan hasil hutan bukan kayu, namun melalui pengelolaan hutan berkelanjutan juga berpotensi mengembalikan keanekaragaman hayati di kawasan tersebut.

Untuk itu, selain memberi dukungan ke infrastruktur seperti instalasi pemanenan air hujan (IPAH), Yayasan Kehati juga mendukung pembentukan kebun pembibitan kolektif di Banyuurip. Kebun ini berfungsi sebagai pusat pengembangan bibit tanaman yang digunakan untuk penanaman kembali.

“Ini memastikan keberlanjutan program, karena masyarakat bisa terus melakukan penanaman tanpa bergantung pada bibit dari luar. Kebun pembibitan juga menjadi media pelatihan bagi masyarakat setempat,” ujarnya.

Di Banyuurip, Yayasan Kehati juga mendorong penerapan agroforestri sebagai salah satu pendekatan utama. Melalui metode ini, jenis pohon yang ditanam tidak lagi terbatas pada jati, tetapi juga mencakup mahoni, kaliandra, serta pohon-pohon buah seperti mangga dan alpukat.

Penanaman beragam spesies ini bertujuan memperkaya variasi genetik, spesies, hingga ekosistem. (***)

 

Artikel ditulis oleh  , Mongabay Indonesia.

Sumber: https://www.mongabay.co.id/2024/12/30/perhutanan-sosial-yang-memberi-harapan-masyarakat-sragen/

Tinggalkan Balasan