Era industrialisasi telah memanipulasi perilaku manusia menjadi sangat konsumtif untuk memenuhi kebutuhan sandang dalam waktu yang cepat dengan kualitas rendah dan harga murah. Perilaku konsumtif ini mendorong laju kerusakan lingkungan menjadi sangat pesat demi memenuhi permintaan pasar industri fesyen dalam jumlah banyak dan cepat. Akibatnya, industri yang tidak berkelanjutant tersebut berkontribusi terhadap polusi dan emisi gas rumah kaca yang menyumbang 8% emisi karbon dunia (British Council, 2023). Industri fesyen juga tidak lepas dari praktek mempekerjakan buruh perempuan yang dibayar dengan upah murah dan durasi kerja yang berlebih demi mengejar keuntungan korporasi. Selain itu, pemanfaatan air secara berlebih dan pembuangan limbah tekstil tanpa diolah terlebih dahulu mencemari sungai sebagai sumber kehidupan bagi mahluk hidup maupun manusia.
Bencana industri sandang berupa runtuhnya komplek pabrik pakaian yang terjadi di Rana Plaza, Bangladesh 11 tahun lalu dan telah menewaskan lebih dari 1.100 pekerja, banyak diantara korban adalah kaum perempuan muda. Situasi ini membayangi kita untuk mendorong dan menyoroti beberapa solusi yang kreatif dan inovatif untuk menjunjung keberlangsungan industri tekstil yang lestari dan manusiawi. Alternatif tersebut diharapkan mengubah dampak buruk industri sandang.
Dari dalam hutan tropis Kalimantan, tepatnya di Kabupaten Kapuas Hulu dengan luasan 2,3 juta hektar, yang di dalamnya terdapat Taman Nasional Betung Kerihun dan Danau Sentarum. Kawasan lindung memiliki hutan yang berperan penting dalam menjaga kestabilan iklim global dan mengurangi laju pemanasan global. Hutan tersebut kerap dimanfaatkan secara lestari oleh suku Dayak Iban dimana kaum perempuannya berjiwa seni tinggi dalam memproduksi kain tradisional. Melalui sebuah karya agung kain tenun yang diwariskan melalui tradisi secara turun temurun, tradisi menenun memberi dampak pada penguatan kapasitas perempuan dan budaya, berkontribusi terhadap kelestarian hutan Kapuas Hulu serta menciptakan peluang ekonomi hijau yang berkelanjutan.
Berdasarkan kepercayaan masyarakat Dayak Iban, kegiatan menenun merupakan sebuah tradisi yang diwariskan dari Dewi Jawai Indae Mendai atau Dewi Kumang yang hidup di dunia khayangan untuk diteruskan kepada Perempuan Iban. Melalui mantra-mantra yang dibacakan oleh seorang lemambang (penutur tradisi lisan) kisah tentang manusia Khayangan selalu dikisahkan ulang pada saat melakukan ritual-ritual besar. Dahulu, suku Iban di bumi dapat berinteraksi langsung dengan manusia di khayangan. Namun akibat melanggar pantang larang, kini manusia khayangan tidak lagi dapat berinteraksi langsung, sekalipun jaraknya sangat dekat, ibaratkan setipis kulit buah terong asam.
Dengan bekal pengetahuan lokal dan sensibilitas terhadap sumber daya alam, Suku Dayak Iban telah memanfaatkan puluhan jenis tumbuhan hutan secara berkelanjutan untuk proses pewarnaan tenun dengan mode lambat, beberapa jenis pohon diantaranya tumbuh di ekosistem hutan yang kompleks seperti kayu ulin (Eusideroxylon zwageri) yang bisa menghasilkan warna coklat, rangat (Peristrophe bivalvis) menghasilkan warna hitam, dan tengkawang (Shorea stenoptera) menghasilkan warna coklat gelap. Beberapa tumbuhan lainnya berupa tumbuhan budi daya seperti kunyit (Curcuma longa) menghasilkan warna kuning dan mengkudu (Morinda citrifolia) menghasilkan warna coklat terang. Pengetahuan pemanfaatan tumbuhan ini merupakan warisan leluhur sejak zaman dahulu dan masih dilakukan hingga saat ini. Beberapa merupakan eksperimen yang menjadi temuan terbaru dan memberi manfaat bagi komunitas adat suku Dayak Iban.
Perlawanan mereka terhadap sistem sandang industrial dimulai di tingkat pribadi, dimulai dari tangan-tangan yang terus membuat tenun dalam menjaga nilai-nilai tradisi selaras keharmonisan alam. Motif-motif tenun yang tercipta merupakan bentuk ekspresi seni akan identitas kesukuannya yang menunjukan kekayaan flora, fauna, tokoh khayangan, hewan mitologi, maupun fenomena alam. Kain tenun bergungsi sebagai kain rohani dalam setiap ritual, dan selalu digunakan dalam setiap tahap siklus hidup suku Dayak Iban sejak lahir sampai pada alam baka. Dedikasi perempuan Iban dalam menenun menjadi potret Kartini kebudayaan di sepanjang masa dalam mempertahankan budaya dan melestarikan alam.
Selama tahap produksi kain tenun, para penenun memperhatikan aspek-aspek lingkungan, spiritualitas dan kemanusiaan. Mulai dari kegiatan pra-produksi hingga produksi, seluruh kegiatan tidak meninggalkan cemaran limbah dan polusi pada tanah, air maupun udara. Praktik tenun juga telah mendorong para penenun untuk menjaga kelestarian hutan Kapuas Hulu sebagai sumber bahan tenun dan juga sumber makanan serta pemenuhan kehidupan lainnya.
Dalam pemakaian, kain tenun disimpan untuk dipakai pada acara-acara penting hingga 6 generasi penerus. Jika kondisi tenun mengalami kerusakan kecil akibat usia kain semakin tua, mereka berupaya menjaga dengan cinta dan perhatian penuh, menjahit dan menyimpannya dengan baik agar tidak rusak. Beberapa hal yang dapat menyebabkan kerusakan seperti gigitan rayap dan kelembaban udara, sehingga, secara adat, tenun memang tidak dipakai setiap saat, namun ada nilai-nilai yang bisa diterapkan agar kita menjadi lebih bertanggung jawab terhadap keputusan-keputusan dalam memenuhi kebutuhan sandang demi kelangsungan masa depan bumi.
Kita bisa menerapkan pola konsumsi sandang yang bertanggung jawab dengan membeli pakaian dengan kualitas yang baik dalam jumlah secukupnya. Alangkah lebih baik jika kita memilih produk tertentu yang bisa dilacak baik bahan baku, proses produksi, serta tanggung jawab sosial dan lingkungan. Kita juga harus lebih cermat terhadap bahan baku pakaian. Memperbaiki dengan menjahit pakaian yang rusak atau sobek agar memiliki usia pakai lebih panjang. Kita juga sepatutnya mengonsumsi produk lokal sehingga berdampak pada pertumbuhan ekonomi lokal dan mengurangi emisi karbon yang ditimbulkan dari distribusi bahan yang terlalu jauh.
Tinggalkan Balasan
Anda harus masuk untuk berkomentar.
Terkait
Syarat dan ketentuan