Migrasi satwa liar menjadi peristiwa yang selalu memukau manusia. Film dokumenter tentang perjalanan migrasi gajah atau migrasi kupu-kupu atau migrasi kepiting merah hingga migrasi burung telah banyak didokumentasikan. Pengetahuan bagaimana satwa liar bisa melakukan perjalanan panjang tanpa tersasar sudah dilakukan sejak masa Yunani Kuno sekitar abad kedelapan sampai abad keenam SM dan saat ini semakin maju dengan penggunaan teknologi.
Migrasi Untuk Bertahan Hidup
Salah satu satwa liar yang melakukan migrasi yaitu burung. Sudah menjadi pengetahuan umum burung bermigrasi karena di lokasi berbiaknya di utara bumi terjadi musim yang ekstrem yaitu musim dingin. Tidak banyak burung yang memiliki kemampuan bertahan hidup di suhu ekstrem, sehingga mereka harus bergerak ke daerah yang lebih hangat untuk mencari makan dan beristirahat.
Kemampuan burung melakukan migrasi dimulai saat mulai merasakan perbedaan suhu di tempat asalnya. Burung akan mempersiapkan diri dengan mengisi energi, dua hingga tiga kali berat tubuhnya sebagai cadangan makanan untuk berpindah menuju daerah tropis yang jaraknya bisa ribuan kilometer dari lokasi asalnya. Bila tidak ada lokasi berhenti, burung akan tetap terbang.
Burung membutuhkan alam saat bermigrasi. Cuaca cerah dengan angin yang sesuai membantu dalam perjalanannya. Ketika angin melawan arah terbang, burung akan menunda perjalanan. Sebab, burung memanfaatkan angin untuk terbang agar mengurangi energi dalam mengepakkan sayap.
Tanda alam juga dibutuhkan burung. Petunjuk letak gunung, lembah, aliran sungai, pinggir pantai, serta debur ombak digunakan burung saat bermigrasi.
Tidak saja rupa bumi, burung mampu melihat posisi matahari, bulan, dan bintang-bintang saat di saat siang dan malam hari. Mereka merasakan suhu dan lamanya matahari bersinar untuk bisa membedakan siang atau malam.
Burung Bermigrasi Saat Malam Hari
Saat bermigrasi, burung yang tinggal di utara bumi akan menuju arah selatan ekuator dengan menggunakan bantuan posisi matahari yang berada di timur pada pagi hari dan barat pada sore hari. Posisi bulan dan bintang dijadikan kompas sebagai informasi arah utara dan selatan geografis berdasarkan pusat rotasi langit berbintang.
Tidak hanya pada siang, burung pun bermigrasi saat malam hari. Burung menggunakan bintang sebagai panduan untuk melihat arah dari beribu kilometer. Namun, bagaimana bila posisi matahari, bulan, dan bintang tidak bisa dilihat oleh burung saat bermigrasi? Asap dari kebakaran hutan dapat membuat burung kacau dalam melihat arah, sedangkan cahaya buatan yang berada di tengah kota atau pinggir kota atau dekat pantai mengalahkan sinar bulan dan bintang.
Saat bintang tidak terlihat karena digantikan cahaya buatan dari bangunan, burung justru mendatangi cahaya tersebut sebagai panduan mereka terbang. Hal tersebut menyebabkan burung salah melihat petunjuk dan lebih fatal lagi, mereka dapat menabrak bangunan. Cahaya buatan yang berlebihan dalam lingkungan disebut dengan polusi cahaya.
Burung Menabrak Bangunan akibat Polusi Cahaya
Jurnal The Condor tahun 2014 mencatat akibat burung tertabrak bangunan atau jendela di Amerika Serikat berkisar 100 juta hingga 1 milliar individu setiap tahun akibat polusi cahaya. Bangunan dengan fasad berbahan kaca dapat memantulkan cahaya sehingga burung rawan menabrak karena tidak bisa membedakan tempat berhenti sementara atau refleksi dari kaca.
Lalu, bagaimana di Indonesia? Meskipun belum ada penelitian terkait polusi cahaya terkait burung bermigrasi, namun kita perlu waspada mengingat burung bermigrasi masih ditemukan di kota besar seperti Jakarta.
Jenis burung bermigrasi di Jakarta antara lain jenis cikrak kutub (Phylloscopus borealis) dan sikatan bubik (Muscicapa dauurica) di Hutan Kota Monas pada 2016 hingga 2019. Sikep-madu Asia atau elang-alap nipon juga masih sering terpantau melintas di Taman Margasatwa Ragunan, Hutan Kota Monas, dan Hutan Kota Universitas Indonesia. Sementara itu terpantau pada 2020 adalah jenis cerek asia (Charadrius veredus), cerek kernyut (Pluvialis fulva), kedidi- leher merah (Calidri ruficolis), kedidi golgol (Calidri ferruginea), trinil bedaran (Xenus cinereus), trinil- kaki merah (Tringa tetanus), trinil pantai (Actitis hypoleucos), trinil semak (Tringa glareola), jalak cina (Agropsar stunirnus), dan kicuit kerbau (Motacilla flava) menggunakan Waduk Pluit di Penjaringan, Jakarta Utara sedang mencari makan dan beristirahat.
Tidak saja di kota besar, cahaya buatan pada bangunan atau lampu-lampu di pinggir laut atau pantai juga berpengaruh pada burung laut individu muda atau saat burung laut berbiak di daratan. Berdasarkan jurnal Conservation Biology pada 2017, jenis yang paling berpengaruh adalah pada jenis petrel dan petrel-badai (Procellariiformes). Lebih dari sepertiga dari famili ini terancam punah akibat penerangan. Jenis ini berbiak di lubang tanah atau di antara celah batuan di daratan.
Berdasarkan hasil Conference of the Parties ke-13 Convention on Migratory Species 2020, setiap tahun cahaya buatan meningkat setidaknya 2 persen per tahun. Akibatnya muncul polusi cahaya yang memberikan efek langsung dan tidak langsung pada banyak spesies bermigrasi. Tidak saja pada burung migrasi, penyu hingga ngengat dapat mengubah perilaku dan/atau fisiologi dalam melakukan reproduksi dan melangsungkan hidup.
Kolaborasi Penyelamatan Burung Migrasi
Dalam rangka hari burung bermigrasi sedunia (World Migratory Bird Day-WMBD) yang dirayakan pada minggu kedua pada Mei dan Oktober 2022, masyarakat diingatkan akan pengaruh polusi cahaya bagi burung bermigrasi. WMBD dapat menjadi ajang kampanye pengurangan penggunaan cahaya buatan khususnya dalam penyelamatan burung yang sedang bermigrasi.
Supaya penyelamatan dapat mencapai target, perlu kolaborasi dengan arsitek dan ahli fasad dalam modifikasi bangunan kaca guna mengurangi tabrakan burung. Misalnya pemberian kisi-kisi di bagian depan jendela kaca atau merancang fasad dekoratif yang membungkus seluruh kaca.
Pemerintah sebaiknya juga mengeluarkan regulasi dalam mengurangi penggunaan lampu buatan di tengah kota yang memiliki hutan kota, pengurangan lampu di pinggir pantai, dan mengikuti kegiatan seperti “Earth Hour”. Langkah bersama ini dapat kita mulai untuk mengurangi polusi cahaya demi keselamatan burung migrasi.
Daftar bacaan:
Cabrera-Cruz, S.A., Smolisky, J.A., Buler, J.J. 2017.Light pollution is greatest within migration passage areas for nocturnally-migrating birds around the world. Scientific reports. Vol 8:1-8
https://abcbirds.org/wp-content/uploads/2015/05/Bird-friendly-Building-Guide_2015.pdf
https://www.worldmigratorybirdday.org/
Loss, S.R., Will, T., Loss, S.S., Marra, P.P. 2014. Bird–building collisions in the United States: Estimates of annual mortality and species vulnerability. The Condor. Volume 116: pp. 8–23
Rodr´ıguez, A., Holmes, N.D., Ryan, P.G., Wilson, K.J, dkk. Seabird mortality induced by land-based artificial lights. Conservation Biology. Volume 31 (5): 986–1001
Tinggalkan Balasan
Anda harus masuk untuk berkomentar.
Terkait
Syarat dan ketentuan