Perdagangan Orangutan di Aceh-Sumatra Utara: Pola, Rantai, dan Lemahnya Efek Jera

Aktivitas, Kehutanan, Satwa
Perdagangan Orangutan di Aceh-Sumatra Utara: Pola, Rantai, dan Lemahnya Efek Jera
19 August 2025
2
0

Dalam beberapa tahun terakhir di Aceh, khususnya pesisir timur seperti Aceh Timur dan Aceh Tamiang menjadi kantong perburuan anak orangutan sumatra (Pongo abelii). Satwa yang diambil dari habitatnya di Kawasan Ekosistem Leuser (KEL), seringkali memanfaatkan momen konflik manusia dan orangutan.  Konflik kerap terjadi di perkebunan perusahaan ataupun perladangan masyarakat. Anak yang dipisahkan dari induknya kemudian dibawa melalui jalur darat seperti Kota Medan sebagai simpul transit, sebagian ditawarkan di jejaring perantara dan ada indikasi penyelundupan ke luar negeri, terutama Thailand.

Rantai perdagangan orangutan ini berlapis: pemburu lokal, pengumpul, perantara, kurir, pengendali, hingga pembeli. Kasus yang disidangkan di Pengadilan Negeri (PN) Medan pada Januari 2024 memperlihatkan peran kurir dan perantara yang membawa dua bayi orangutan dari Aceh ke Medan. Jaksa menuntut 3 tahun penjara kepada terdakwa utama, dan 2 tahun penjara kepada kurir, masing-masing denda Rp50 juta.

Pengadilan Negeri (PN) Kuala Simpang di Aceh Tamiang memvonis empat orang dalam kasus perdagangan orangutan sumatra, bersama barang bukti satwa dilindungi lainnya pada 3 Januari 2024.  Kasus ini menegaskan bahwa wilayah ini merupakan sumber pasokan penting dalam jaringan perdagangan orangutan.

Pemberitaan lain juga menguatkan bahwa simpul Medan-Deli Serdang berulang kali muncul sebagai pasar atau perlintasan. Pada tahun 2022, PN Lubuk Pakam Cabang Labuhan Deli menjatuhkan vonis 1 tahun penjara terhadap pelaku perdagangan orangutan; kasus lain di kawasan yang sama hanya berujung 8 bulan penjara. Vonis yang relatif ringan ini berkontribusi pada tipisnya efek jera.

Tren persidangan juga menyingkap variasi peran para pelaku perdagangan orangutan: ada “otak penjual” yang mengatur distribusi, kurir lapangan, hingga jaringan lintas provinsi. Yayasan Orangutan Sumatra Lestari – Orangutan Information Centre (YOSL-OIC) memantau puluhan kasus satwa dilindungi (termasuk orangutan) di Aceh-Sumut dengan puluhan tersangka di tahun 2022-2024.  Ini mencerminkan situasi pasar yang aktif, bukan insidental.

Mengapa rantai pasok ini bertahan? Pertama, permintaan anak orangutan di pasar ilegal hewan peliharaan bernilai tinggi, sementara biaya “produksi’ ditopang oleh akses ke habitat dan kerapuhan pengawasan di perbatasan darat-laut. Kedua, hukuman pidana yang kerap di bawah batas maksimum undang-undang, serta denda yang relatif rendah, tidak cukup menekan aktor pengendali. Ketiga, modus memanfaatkan konflik manusia-satwa liar membuat pemburu “berbiaya rendah”, misalnya ketika orangutan masuk kebun, anaknya disasar, induknya seringkali dibunuh.

Jaksa perlu menuntut hukuman mendekati maksimum dengan menekankan ekosistem dan status kritis orangutan. Hakim perlu konsisten menggunakan pertimbangan memberatkan seperti status residivis, jumlah satwa, keterlibatan jaringan lintas daerah.  Hakim tentu perlu  melihat aspek ekonomi nilai jual orangutan di pasar ilegal, tetapi juga penting mempertimbangkan kerugian ekologis yang ditimbulkan dari hilangnya satu individu orangutan di suatu ekosistem.

Banyak kasus hanya menjerat pemburu atau kurir, sementara pengendali jaringan atau pembeli besar jarang tersentuh. Perlu adanya peningkatan upaya penyidikan berlapis menggunakan controlled delivery untuk mengidentifikasi dan menangkap pengendali. Koordinasi antara otoritas kehutanan dan konservasi perlu diperkuat.  Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) dan Balai Penegakan Hukum (Gakkum) Kementerian Kehutanan penting membangun sinergi dengan aparat penegak hukum seperti Kepolisian, Kejaksaan, dan Kehakiman, bahkan instansi terkait lainnya seperti Bea Cukai dan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) untuk membangun profil jaringan dari hulu hingga hilir.

Hukuman denda yang dijatuhkan dalam persidangan kasus perdagangan orangutan sangat kecil dibandingkan potensi keuntungan pelaku dari penjualan orangutan di pasar ilegal. Tidak ada sanksi tambahan. Aparat penegak hukum perlu menerapkan pencabutan izin usaha, pembekuan rekening bank, dan penyitaan kendaraan yang digunakan dalam tindak pidana.  Penerapan undang-undang Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) juga dapat digunakan bila ditemukan aliran dana besar terkait perdagangan satwa liar.

Ada indikasi bayi orangutan yang disita di Aceh Tamiang memiliki tujuan akhir pasar ilegal di Thailand. Pemerintah Indonesia perlu membangun kerja sama penegakan hukum dengan Interpol, ASEAN-WEN, dan otoritas pemerintah Thailand untuk memutus pasar tujuan. Mekanisme joint investigation dan operasi bersama dalam kasus perdagangan orangutan ini perlu didorong untuk melacak jalur distribusi lintas batas.

Delik Tumbuhan Satwa Liar (TSL) dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, misalnya; menjual/menyimpan orangutan) umumnya dijerat Pasal 21 ayah 92) jo Pasal 40 ayat (2): ancamannya penjara maksimal 5 tahun dan denda maksimal Rp100 juta penting ditegaskan.  Namun dalam praktiknya, vonis kerap 8-24 bulan plus denda Rp40-50 juta.

Undang-undang Nomor 32 Tahun 2024 tentang Perubahan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya memperberat sanksi, memperkenalkan pidana tambahan seperti ganti rugi, biaya pemulihan/rehabilitasi satwa, pencabutan izin, pembekuan/penutupan usaha, bahkan pembubaran korporasi serta liabilitas korporasi yang tidak ada pada undang-undang sebelumnya. Pada kategori pelanggaran tertentu, hukuman maksimum dapat mencapai belasan sampai 20 tahun penjara dan denda hingga ratusan miliar.

Sejak 7 Agustus 2024, Undang-undang baru sudah berlaku dan mengikat, tetapi sebagian kasus di 2024 sampai awal 2025 masih terdaftar atau berjalan dengan konstruksi lama karena waktu kejadian sebelum 7 Agustus 2024 (asas non-retrokatif), atau belum semua aparat penegak hukum menerapkan instrument sanksi baru secara penuh.

Karenanya pentingnya mendorong penerapan pasal dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun 2024 untuk kejadian pasca 7 Agustus 2024, dan menjelaskan dasar waktu (tempus delicti) dalam surat dakwaan/pertimbangan hukum, agar tidak terseret ke undang-undang yang lama. Dalam persidangan, penting pula menagih pidana tambahan dengan meminta biaya pemulihan atau rehabilitasi orangutan, perampasan alat/hasil, serta pencabutan izin bagi pelaku usaha yang terlibat.

Keanekaragaman hayati, Orangutan, biodiversitas, satwa
Tentang Penulis
M. Indra Kurnia, S.Hut.
Direktur Konservasi Yayasan Orangutan Sumatra Lestari – Orangutan Information Centre (YOSL-OIC)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *