






Anomali iklim kian deras mendera kita. Hari-hari ini, yang dulu biasanya sudah memasuki musim kemarau, justru hujan dengan intensitas tinggi turun nyaris tanpa jeda. Banjir pun mengepung di mana-mana.
Tahun 2024 mencatat peningkatan drastis bencana hidrometeorologi di Indonesia. Data BNPB menyebutkan 5.593 kejadian, terdiri dari 2.284 banjir, 933 longsor, dan 1.432 cuaca ekstrem. Awal Maret 2025, Jakarta dan sekitarnya dilanda banjir besar: 9 orang meninggal, lebih dari 90.000 mengungsi. Meski cuaca ekstrem jadi faktor utama, degradasi lingkungan dan tata kota yang buruk memperparah dampaknya. Sayangnya, keanekaragaman hayati perkotaan sebagai benteng ekologis sering diabaikan.
Peringatan Hari Keanekaragaman Hayati Sedunia 2025 yang jatuh tanggal 22 Mei ini, semestinya menjadi momen reflektif: kota-kota kita kian menjauh dari “pelukan ibu kehidupan”—biodiversitas—padahal perannya sangat vital dalam menjaga ketahanan ekologis, kenyamanan hidup, dan keberlanjutan.
Ya, perkotaan mengalami paradoks serius: pusat pertumbuhan ekonomi, tapi juga pusat degradasi ekologis. Ruang hijau ditekan demi pembangunan, spesies lokal terusir, dan ekosistem rusak. Ini adalah ancaman nyata bagi masa depan kota dan penghuninya.
Saat ini, 56% penduduk Indonesia tinggal di kota, diproyeksikan naik menjadi 70% pada 2045. Jika tidak dikelola secara ekologis, tekanan pada lingkungan kota akan meningkat. Ruang terbuka hijau (RTH)—elemen utama biodiversitas kota—semakin menyusut. Jakarta hanya memiliki 5,18% RTH dari total luas wilayahnya, jauh dari amanat UU No. 26 Tahun 2007 yang menetapkan 30%. Semarang dan Bandung masing-masing 15% dan 12,25%, masih jauh tertinggal dibanding Singapura yang mengalokasikan 47% lahannya untuk RTH.
Kota dengan biodiversitas yang sehat mendukung kualitas udara lebih baik, penyediaan air bersih, pengendalian suhu ekstrem, hingga peningkatan kesehatan mental dan fisik warganya. Semua ini berkontribusi langsung pada produktivitas masyarakat. Anak-anak yang tumbuh di lingkungan yang hijau dan kaya hayati berkesempatan belajar yang lebih baik, dan warga dewasa menjadi lebih sehat secara fisik dan psikis.
Selain itu, kota kaya biodiversitas akan menjadi tempat tinggal yang lebih adaptif terhadap perubahan iklim, lebih menarik sebagai pusat investasi, dan lebih siap menghadapi tantangan global. Biodiversitas urban bukan sekadar “romantisme ekologis”—melainkan fondasi strategis bagi pembangunan nasional jangka panjang.
Masalah-masalah kunci
Minimnya regulasi dan kebijakan lokal dan nasional yang secara eksplisit mendorong konservasi biodiversitas perkotaan masih menjadi tantangan. Di tingkat nasional, sejauh ini belum ada regulasi atau perundangan-undangan yang khusus mengatur pengelolaan biodiversitas perkotaan.
Di tingkat lokal, dari survei di keanekaragaman hayati perkotaan di enam kota besar di Indonesia, yang dilakukan Yayasan KEHATI dan PT Brahman Alpha Solusindo (BAS) tahun 2024-2025, yaitu Jakarta, Denpasar, Banjarmasin, Makassar, Medan, dan Bandung, hanya Jakarta, Makassar, dan Denpasar yang telah memiliki kebijakan spesifik terkait keanekaragaman hayati perkotaan dan merujuk pada kebijakan nasional.
Sementara itu, Medan dan Bandung belum memiliki profil atau Rencana Induk Keanekaragaman Hayati, dan Banjarmasin baru memiliki profilnya saja. Padahal, dalam IBSAP 2025–2029 dan RPJPN 2025–2045, daerah diwajibkan memiliki rencana pengelolaan keanekaragaman hayati yang terintegrasi dengan kebijakan nasional.
Terdapat tujuh hambatan utama mengapa belum semua daerah memiliki kebijakan pengelolaan biodiversitas: kelembagaan yang belum kuat, kurangnya sinkronisasi kebijakan pusat-daerah, terbatasnya data biodiversitas lokal, rendahnya kesadaran masyarakat, minimnya kolaborasi dengan sektor non-pemerintah, tekanan pembangunan yang mengancam habitat alami, serta keterbatasan anggaran dan sumber daya manusia.
Hasil riset juga menunjukkan bahwa pendanaan pengelolaan keanekaragaman hayati di kota-kota Indonesia masih sangat bergantung pada APBD, dengan proporsi pada APBD 2024 bervariasi: Denpasar tertinggi sebesar 6,27%, disusul Banjarmasin 3,2%, Bandung dan Medan masing-masing 0,6%, Makassar 0,26%, dan Jakarta paling rendah hanya 0,11%. Variasi ini mencerminkan perbedaan prioritas dan kapasitas fiskal tiap daerah dalam mendukung pelestarian biodiversitas perkotaan.
Di tengah tekanan efisiensi belanja dan prioritas pembangunan yang cenderung berorientasi ekonomi jangka pendek, upaya perlindungan dan restorasi biodiversitas di perkotaan sering kali terpinggirkan dalam alokasi anggaran publik.
Namun, membangun kota ramah biodiversitas tidak semata tugas negara. Ada beragam sumber daya dan potensi pendanaan yang dapat dioptimalkan—jika pemerintah pusat dan daerah mau lebih kreatif dan kolaboratif. Skema pembiayaan inovatif seperti blended finance, green bonds, dana filantropi, corporate social responsibility (CSR), hingga keterlibatan swasta dan komunitas dapat dimobilisasi untuk mendukung pengelolaan keanekaragaman hayati kota.
Pendekatan nature-based solutions, bahkan, memiliki daya tarik tersendiri bagi sektor investasi hijau. Proyek-proyek infrastruktur hijau dan ruang terbuka alami yang multifungsi dapat membuka peluang investasi dengan manfaat jangka panjang—baik secara ekonomi maupun sosial.
Empat agenda perubahan
Terdapat empat agenda perubahan penting untuk mendorong keberlanjutan pengelolaan keanekaragaman hayati perkotaan. Pertama, urban biodiversitas harus menjadi prioritas dalam kebijakan pembangunan nasional. Perannya sangat vital bagi keberlanjutan lingkungan, kesehatan masyarakat, ekonomi, dan pencapaian visi Indonesia Emas 2045. Kedua, kerja kolaboratif antar-kementerian, pemerintah pusat-daerah, masyarakat sipil, akademisi, serta sektor swasta harus diperkuat untuk mengatasi kompleksitas isu ini. Pelibatan multipihak diperlukan, termasuk mekanisme insentif dan disinsentif untuk memotivasi kontribusi semua pihak.
Ketiga, pembenahan tata ruang berbasis ekosistem, termasuk harmonisasi hak atas tanah dan perlindungan ruang hijau dari alih fungsi yang merusak. Keempat, edukasi dan sosialisasi kepada masyarakat dan dunia usaha harus ditingkatkan tentang pentingnya biodiversitas sebagai aset bersama. Peningkatan kesadaran ini dapat mendorong partisipasi aktif dan dukungan terhadap upaya konservasi melalui kolaborasi dan regulasi.
Kota-kota di dunia saat ini mulai menunjukkan bahwa perencanaan yang ramah biodiversitas bukan utopia. Singapura, misalnya, menjadikan konsep “City in Nature” sebagai inti perencanaan kotanya. Mereka tidak hanya mempertahankan ruang terbuka hijau, tetapi juga membangun koridor ekologis yang memungkinkan spesies liar bermigrasi dan berkembang biak.
Untuk itu, yang dibutuhkan hanyalah visi berani, kepemimpinan kuat, dan keberanian keluar dari pola pikir pembangunan konvensional yang terlalu sektoral. Biodiversitas urban adalah investasi strategis bagi keberlanjutan kota dan kesejahteraan warganya. Saatnya kota-kota Indonesia tidak lagi menjadi kuburan ekologis, tetapi kembali menjadi rumah yang lestari bagi kehidupan.



Terkait