Menata Ulang Relasi Kuasa dan Hak dalam UU Kehutanan

Aktivitas, Kehutanan
Menata Ulang Relasi Kuasa dan Hak dalam UU Kehutanan
27 May 2025
11
0

Revisi UU Kehutanan harus berangkat dari pertanyaan mendasar: untuk siapa hutan dikelola? Jika jawabannya adalah untuk kehidupan yang adil dan lestari, maka paradigma pengelolaan hutan harus bergeser dari eksploitatif ke restoratif, dari monopoli oligarki ke pengakuan hak masyarakat, dan dari komoditas ekonomi ke ekosistem kehidupan.

Hutan bukan sekadar hamparan pepohonan hijau di peta. Ia adalah penyangga kehidupan, sumber pangan, penjaga air, pengatur iklim, dan benteng terakhir keanekaragaman hayati. Di Indonesia, yang memiliki kawasan hutan tropis terbesar ketiga di dunia, hutan memegang peran vital dalam menopang stabilitas ekologis dan sosial. Namun, peran ini kini berada di bawah ancaman serius.

Krisis kehutanan di Indonesia adalah krisis multidimensi. Ia bukan hanya soal kerusakan fisik hutan, tetapi juga menyangkut persoalan ketimpangan kuasa, marginalisasi hak masyarakat adat, lemahnya penegakan hukum, dan korupsi yang sistemik.

Karena itu, penetapan rencana revisi Undang-Undang (UU) Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan oleh DPR RI ke dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2025 harus benar-benar dimanfaatkan dengan baik.

UU lama, masalah baru

UU Kehutanan 41/1999 lahir di era pascareformasi, ketika hutan masih dipandang sebagai sumber kayu dan devisa. Negara memonopoli kewenangan atas kawasan hutan, sementara fungsi sosial-ekologisnya dan hak masyarakat adat sering kali diabaikan. Selama lebih dari dua dekade, undang-undang ini terbukti tidak cukup adaptif menghadapi kompleksitas persoalan kehutanan yang kian akut.

Data Forest Watch Indonesia (FWI, 2024) menunjukkan bahwa Indonesia telah kehilangan lebih dari 28 juta hektar hutan alam hanya dalam dua dekade terakhir. Pada 1970-an, kita masih memiliki sekitar 122 juta hektar hutan. Kini, tersisa hanya 45,3 juta hektar hutan dengan tutupan alami. Artinya, hampir sepertiga kawasan hutan telah musnah—angka ini setara dengan luas Jerman.

Kehilangan ini berdampak besar pada bencana hidrometeorologis, seperti banjir, longsor, dan kekeringan. Sekitar 75% bencana di Indonesia berkaitan langsung dengan degradasi lingkungan (Yayasan KEHATI, 2024). Belum lagi kerusakan sosial—penggusuran, kriminalisasi masyarakat adat, hingga hilangnya sumber penghidupan.

Momentum menata ulang relasi kuasa

Revisi UU Kehutanan bukan sekadar upaya memperbarui regulasi, melainkan peluang emas untuk menata ulang relasi kuasa dalam pengelolaan hutan. Selama ini, kekuasaan negara atas hutan cenderung dieksploitasi oleh elite politik dan ekonomi. Pola pengelolaan yang berorientasi pada investasi dan ekspor komoditas mengabaikan fungsi ekologis hutan serta hak masyarakat yang hidup di sekitarnya.

Sektor kehutanan menjadi lahan subur praktik state capture corruption—ketika kebijakan publik disandera oleh kepentingan korporasi dan oligarki. Proses perizinan yang tidak transparan, lemahnya sanksi terhadap pelanggaran, hingga kriminalisasi terhadap pembela lingkungan menunjukkan bahwa hukum kerap berpihak pada pemodal, bukan rakyat atau lingkungan.

Kajian yang dilakukan Yayasan KEHATI bersama Forum Dialog Konservasi Indonesia (FDKI) terkait urgensi revisi UU Kehutanan (2025) menegaskan sangat krusialnya mendorong pendekatan baru dalam tata kelola hutan: hutan sebagai ruang hidup. Dalam pendekatan ini, hutan tidak hanya dilihat dari potensi ekonominya, melainkan juga dari nilai-nilai ekologis, sosial, budaya, dan spiritual yang dikandungnya.

Masyarakat adat dan komunitas lokal telah menjaga hutan selama ratusan tahun dengan praktik yang berkelanjutan. Sistem kearifan lokal, seperti tane’ oek, leuweung larangan, atau sasi menjadi bukti bahwa ada cara lain mengelola hutan selain eksploitasi. Namun, praktik ini sering tak diakui oleh hukum nasional.

Revisi UU Kehutanan harus memastikan perlindungan dan pengakuan atas hak-hak masyarakat adat. Mekanisme penetapan wilayah adat, pemetaan partisipatif, dan pengakuan kelembagaan adat harus menjadi bagian tak terpisahkan dari regulasi baru.

Ini bukan hanya soal keadilan sosial, tapi juga strategi efektif mencegah deforestasi. Studi yang dilakukan Indonesia Ocean Justice Initiative (IOJI) bersama Yayasan KEHATI terhadap masyarakat adat di Maluku, Sulawesi Selatan, dan Riau tahun 2024-2025 menunjukkan bahwa hutan yang dikelola masyarakat adat memiliki tingkat deforestasi jauh lebih rendah dibanding konsesi korporasi.

Harmonisasi regulasi dan iklim

Sejak UU 41/1999 diundangkan, telah lahir berbagai regulasi yang berkaitan dengan tata kelola da pemanfaatan hutan dan ruang,  seperti UU 6 Tahun 2023, UU 32 Tahun 2024, UU 32 Tahun 2009, UU 3 Tahun 2020, UU 26 Tahun 2007, Putusan MK No. 35/PUU-X/2012, dan lain sebagainya. Rancangan UU Masyarakat Adat pun kini kembali mengemuka. Ketidaksinkronan antara regulasi-regulasi ini dapat menimbulkan konflik kebijakan dan memperdalam kompleksitas masalah kehutanan.

Oleh karena itu, revisi UU Kehutanan harus mampu mengharmonisasikan semua regulasi sektoral tersebut dengan satu prinsip utama: pengelolaan hutan untuk keberlanjutan.

Perubahan iklim juga harus menjadi arus utama dalam revisi ini. Sektor kehutanan adalah penyumbang utama emisi karbon Indonesia akibat deforestasi dan degradasi hutan. Jika tidak segera diubah, arah pengelolaan hutan akan terus bertentangan dengan komitmen Indonesia dalam Perjanjian Paris dan target net-zero emission.

Karena itu, revisi UU Kehutanan harus memasukkan pasal-pasal yang tegas tentang mitigasi dan adaptasi perubahan iklim. Hutan harus dilindungi sebagai penyerap karbon dan sistem pendukung keanekaragaman hayati. Alih fungsi lahan gambut, kawasan konservasi, dan hutan lindung harus dilarang secara ketat.

Kajian yang dilakukan Yayasan KEHATI dan FDKI (2025) menemukan, setidaknya ada enam hal yang perlu diperkuat agar revisi UU Kehutanan benar-benar menjadi titik balik. Pertama, pengakuan hak masyarakat adat. Hutan adat harus diakui secara konstitusional dan operasional. Proses pengakuan tidak boleh berbelit, dan harus melibatkan masyarakat secara aktif. Kedua, penguatan fungsi ekologis hutan. Penetapan kawasan lindung harus mengedepankan nilai ekosistem, bukan hanya potensi ekonomi. Ketiga, integrasi agenda iklim. UU Kehutanan harus selaras dengan kebijakan iklim nasional dan internasional, termasuk komitmen untuk menurunkan emisi gas rumah kaca. Keempat, transparansi dan partisipasi. Semua proses perizinan, konsesi, dan rencana pengelolaan harus terbuka, mudah diakses publik, dan menjamin prinsip free, prior and informed consent (FPIC).

Kelima, penegakan hukum independen. Perlu dibentuk lembaga pengawas independen untuk mencegah korupsi dan konflik kepentingan. Digitalisasi data dan pelaporan konsesi harus menjadi kewajiban. Keenam, restorasi dan pemulihan ekosistem. Rehabilitasi hutan dan pemulihan lahan gambut, sempadan sungai, serta kawasan kritis lainnya harus dijadikan kewajiban negara dan pelaku usaha.

Revisi UU Kehutanan yang saat ini sedang berproses di DPR harus menjadi kesempatan menulis ulang kontrak sosial kita dengan alam. Jika gagal, maka yang dipertaruhkan bukan hanya hutan, tapi juga masa depan bangsa. Jika berhasil, Indonesia akan menunjukkan kepada dunia bahwa keberlanjutan dan keadilan bisa berjalan seiring.

Pada akhirnya, masa depan Indonesia ditentukan oleh bagaimana kita memperlakukan hutan hari ini.

 

Sumber: Kompas.id (https://www.kompas.id/artikel/menata-ulang-relasi-kuasa-dan-hak-dalam-uu-kehutanan?utm_source=link&utm_medium=shared&utm_campaign=tpd_-_ios_traffic)

#konservasi, Keanekaragaman hayati, biodiversitas, hutan
Tentang Penulis
Muhamad Burhanudin
Manajer Kebijakan Lingkungan Yayasan KEHATI

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *