Hari Bumi dan Pembangunan Berkelanjutan

Aktivitas, Kehutanan, Perubahan Iklim
Hari Bumi dan Pembangunan Berkelanjutan
22 April 2022
822

Pada bulan Maret 2019, saya mengunjungi University of Wisconsin (UW), dan berkesempatan
mengunjugi Nelson Institute, sebuah lembaga universitas yang memberikan perhatian pada
tantangan lingkungan hidup dan juga mendidik mahasiswa pascasarjana S2 dan S3. Gaylord Nelson
Institute for Environmental Studies (or Nelson Institute) di University of Wisconsin–Madison diberi
nama untuk menghormati kecintaan Senator AS itu kepada alam.

Di sebuah ruang dosen, pimpinan program lingkungan hidup UW memperkenalkan kepada saya
sebuah meja lebar berwarna coklat tua di sudut ruangnnya, dan sebuah foto Gaylord Nelson.
Meja tersebut adalah kenangan, bahwa Nelson, adalah seorang birokrat yang mempunyai perhatian
terhadap lingkungan hidup.

Gaylord Nelson adalah pencetus peringatan hari bumi (earth day) yang mencetuskan gerakan aksi
turun ke jalan pada tahun 70an untuk memberikan perhatian pada pentingnya melestarikan
lingkungan hidup. Sebuah legacy ditorehkannya, dengan membuat membuat gerakan hari bumi
yang diperingati sepanjang tahun.

Bumi kita telah banyak mengalami perubahan, karena cara manusia dalam memanfaatnya tidak
mempertimbangkan keberlanjutan. Telah banyak pelajaran tentang kealpaan manusia mengelola
alam yang berdampak buruk pada kehidupan. Keterlanjuran degradasi lingkungan termasuk
rusaknya ekosistem dan biodiversitas harus segera dihentikan dengan memahami dan menggunakan
tools pemahaman kita atas sifat-sifat alam.

Alam telah lama menyediakan kebaikan untuk manusia. Sejak tahun 1970, pertanian kita sangat
bergantung pada alam yang sehat. Alhasil, produksi pertanian, panen ikan, produksi bio-energi serta
sumber daya material terus meningkat. Daya dukung lingkungan sangat memadai, dan ekosistem
terjaga seimbang. Adapun, Indonesia sejak tahun 1970an mengambil kebijakan memanen hutan
alam dan melakukan penebangan hutan alam sebagai sumber pendapatan negara yang terus
berlanjut hingga masa 1990an. Dampaknya, degradasi lahan hebat melanda ekosistem Indonesia
akibat illegal logging pada awal setelah era reformasi tahun 1998 hingga 2000an.

 

Masa Indonesia membangun dan pembukaan lahan sesungguhnya juga diikuti dengan intensifikasi
pertanian. Laju kerusakan lahan yang sangat masif ditambah dengan gagalnya upaya reboisasasi
mengembalikan hutan sebagaimana adanya, dan peralihan tutupan hutan menjadi pemanfaatan
lain.

Akibatnya, kayu alam semakin pupus, bahkan, beberapa spesies kayu yang tadinya melimpah,
seperti meranti dan ramin, kini tergolong tumbuhan langka. Indonesia bersama negara-negara
berkembang dan maju, merupakan kontributor dalam membawa krisis dan perubahan lahan dan
tutupan hutan. Jutaan meter kubik kayu diekspor ke negara-negara maju utuk memenuhi keperluan
pembangunan mereka, terutama Jepang, Amerika Serikat dan Eropa.

Maka, pembukaan lahan untuk pemenuhan kebutuhan pangan menyebabkan nilai produksi
tanaman pertanian menjadi $2,6 triliun pada tahun 2016. Meningkat dibandingkan dengan tahun
1970. Begitu pula pemungutan kayu alam telah meningkat 45 persen, mencapai sekitar 4 miliar
meter kubik pada tahun 2017 (IPBES 2022).

Peningkatan produksi juga sejalan dengan penemuan pupuk dan bahan-bahan kimia pembasmi
hama seperti pestisida, yang berdampak pada menurunnya populasi keanekaragaman serangga
penyerbuk. Menurut catatan IPBES, saat ini, degradasi lahan telah mengurangi produktivitas di 23
persen wilayah terestrial global, dimana 235-577 miliar dollar hasil panen global tahunan terancam
akibat hilangnya serangga penyerbuk.

Dilain pihak, upaya untuk memperoleh bahan-bahan materi, seperti tambang dan mineral seringkali
dlakukan secara tidak berkelanjutan. Hilangnya habitat pesisir dan terumbu karang mengurangi area
perlindungan pesisir, yang meningkatkan risiko banjir dan angin topan terhadap kehidupan dan
harta benda bagi 100-300 juta orang yang tinggal di dalam zona banjir.

Melihat akselerasi kerusakan beberapa tahun terakhir, diperkirakan laju degradasi akan berjalan
seiring dengan pertumbuhan penduduk. Namun, upaya itu pun dapat ditentukan juga oleh kemauan
pengambil kebijakan (pemerintah) dan pemangku kepentingan dalam menahan diri untuk menahan
laju kerusakan. Salah satu faktor penting dalam menahan upaya kerusakan yang masif adalah
melakukan studi ilmiah tentang jasa ekosistem dan membandingkannya apabila ada upaya
berkelanjutan dalam membangun sebuah kawasan. Misal, upaya untuk mempertahankan lahan
produktif ekosistem mangrove, dapat dihitung secara keseluruhan secara ekonomi atas optimasi
hasil jasa ekosistem yang dilakukan hutan mangrove, seperti pemijahan udang, ikan, dan penangkal
abrasi. Karena itu dapat dilihat dari opsi yang lebih bekelanjutan, dibanding misalnya membuat kawasan tersebut menjadi tambak yang tidak berusia lama, atau menggunduli kawasan menjadi
pelabuhan atau permukiman.

Pekerjaan mempertahankan keberlanjutan, adalah kompleks dan tidak mudah. Namun, upaya itu
semestinya dapat dilakukan dengan menanamkan kepedulian dan upaya sinergi dan kerja sama.
Beberapa studi kasus dan implementasi tentang upaya melakukan tawar menawar nilai ekosistem
dan biodiversitas telah dilakukan di berbagai negara, misalnya melalui the economics of ecosystems
and biodiversity (http://teebweb.org/publications/teeb-country-studies/).

Maka, beberapa kunci berkelanjutan adalah saling terkait, antara lain: 1. Sejauh mana kebijakan dan
regulasi pemerintah dalam mengelola dan mengimplementasi pembangunan berkelanjutan, 2.
Bagaimana kerja sama pemerintah, pebisnis, masyarakat, dan pihak lainnya dalam aksi
pembangunan berkelanjutan. 3. Pelibatan peran pelaku bisnis dengan lembaga non pemerintah atau
akademis dalam upaya pembangunan berkelanjutan. Termasuk bagaimana keterlibatan mereka
dalam mengontrol kebijakan, atau memberikan kontribusi pada kebijakan yang berbasis sains
(science-based Policy).

Tentang Penulis
Fachruddin Mangunjaya
Dosen Magister Biologi, Sekolah Pasca Sarjana Universitas Nasional, Pembina Yayasan Kehati

Dosen Magister Biologi, Sekolah Pasca Sarjana Universitas Nasional, Pembina Yayasan Kehati

Syarat dan ketentuan

  1. Memuat hanya topik terkait keanekaragaman hayati dan lingkungan hidup
  2. Panjang tulisan 5.000-6.000 karakter
  3. Tidak plagiat
  4. Tulisan belum pernah dimuat di media dan situs lain
  5. Mencantumkan nama, jabatan, dan organisasi
  6. Melampirkan foto diri dan biografi singkat
  7. Melampirkan foto pendukung (jika ada)
  8. Mengirimkan tulisan ke [email protected]
  9. Jika akan dimuat dimuat, pihak admin akan menghubungi penulis untuk menginformasikan tanggal pemuatan

Tinggalkan Balasan

Tinggalkan Balasan