Membangun RTH Berbasis Keanekaragaman Hayati: Menumbuhkan Kepedulian Terhadap Keanekaragaman Hayati Perkotaan

Aktivitas, Ekowisata, Kehutanan, Satwa
Membangun RTH Berbasis Keanekaragaman Hayati: Menumbuhkan Kepedulian Terhadap Keanekaragaman Hayati Perkotaan
22 Mei 2022
1383

Secara historis keberadaan suatu perkotaan awal terjadinya merupakan wilayah kecil yang ditempati oleh penduduk yang berjumlah kecil dan dikelilingi oleh lingkungan alam berupa sungai, danau, laut (jika ada) ataupun hutan yang didalamnya dihuni berbagai jenis fauna flora mulai dari organisme mikro sampai dengan serangga, ikan, amfibi, reptil, burung dan mamalia. Semua membentuk satuan ekosistem dan saling berinteraksi sesuai fungsinya, sehingga menjadi kehidupan yang seimbang dan menjadikan kualitas ekosistem yang sehat. Keberagaman hayati di suatu kota tentunya merupakan keunikan tersendiri karena merupakan campuran dari kondisi keanekaragaman hayati awal yang berada di sekitar yang beradaptasi dengan perkotaan, membentuk ekosistem perkotaan.

 

Sejalan dengan perkembangan waktu, kota kecil menjadi kota besar dengan jumlah penduduk yang semakin bertambah. Menyebabkan kebutuhan ruang tempat tinggal, alat transportasi,  dan kebutuhan ekonomi yang semakin meningkat. Berdasarkan analisis Bank Dunia, diproyeksikan 220 juta penduduk Indonesia akan tinggal di perkotaan pada tahun 2045. Hal ini menunjukan bahwa urbanisasi akan terus meningkat dari 56% menjadi 70% dari total populasi secara keseluruhan. Oleh sebab itu, keberadaan keanekaragaman hayati semakin terdesak. Beberapa kota kota besar di Indonesia bahkan sering terlihat adanya polusi akibat dari aktivitas manusia dan terbatasnya ruang terbuka hijau (Gambar 1).

Gambar 1. Pemandangan pagi hari di suatu bagian kota Jakarta, padat dan berpolusi.

 

Data Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) menunjukkan, bahwa dari 174 kota di Indonesia baru 13 kota di Indonesia yang mengikuti Program Kota Hijau dan memiliki Porsi RTH sebanyak 30%. Ketentuan pada Undang-Undang Nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang telah mengatur, bahwa kota harus memiliki paling sedikit 30% ruang terbuka hijau dari luas wilayah kota. Keberadaan  RTH juga diperlukan untuk menyeimbangkan kondisi ekologis perkotaan. Adanya pepohonan dan tumbuhan sekitar jalan raya, perumahan dan perkantoran akan membantu penyerapan CO2 sekaligus mengikat dan menyimpan air (Gambar 2.)

Gambar 2. Ruang Terbuka Hijau di lingkungan perkantoran dan jalan raya.

 

Ruang Terbuka Hijau (RTH) yang memanjang berbentuk jalur di sepanjang jalan, sungai, rel kereta, sepanjang aliran sungai atau mengelompok berupa kawasan  taman kota,  berisi komposisi tumbuhan secara alamiah atau tumbuhan yang sengaja ditanam. RTH bersifat terbuka umum (Publik) yang dimiliki dan dikelola oleh pemerintah daerah dapat digunakan untuk kepentingan masyarakat umum atau dapat bersifat RTH terbatas (Pribadi) dan dikelola oleh perorangan, swasta, perkantoran atau lembaga pendidikan.

 

Tujuan utama ditetapkannya kawasan RTH, khususnya di kawasan perkotaan adalah untuk menjaga kesimbangan lingkungan alam dan  ketersediaan lahan sebagai kawasan resapan air serta kesimbangan ketersediaan oksigen, sehingga bermanfaat bagi kualitas hidup masyarakat. Fungsi ekologis merupakan penjaga keseimbangan alam, antara lain penyedia habitat satwa dan pengatur iklim mikro dan penahan angin. Selain itu, keberadaan RTH juga bermanfaat menambah estetika, tempat rekreasi, sarana interaksi sosial dan budaya masyarakat.

 

Keberadaan ruang terbuka hijau memegang peran penting untuk menjaga kesehatan dan penyediaan udara segar bagi warga yang tinggal di perkotaan. Peneliti dari Universitas Warwick dan Universitas Sheffield pada tahun 2018 menunjukan bahwa masyarakat yang tinggal disekitar lingkungan yang nyaman dapat meningkatkan kesehatan secara psikologis.

 

Pembuatan RTH di setiap kawasan perkotaan, dapat disesuaikan dengan keunikan histori lingkungan awal lingkungan perkotaan itu terbentuk. Misalnya apakah kota itu di lingkungan pesisir, dataran tinggi atau lingkungan perairan danau dan sungai.  Sehingga komposisi tumbuhan dan biota yang ada di RTH tersebut bisa menjalankan fungsi ekologis yang khas juga. Pada umumnya pembuatan RTH hanya berfokus pada penanaman pepohonan dengan tujuan dapat menimbulkan kerindangan dan lingkungan menjadi sejuk, tetapi kurang difokuskan kepada keberagaman hayati lainnya. Oleh sebab itu, ke depan komposisi isi RTH perlu difokuskan berbasis keanekaragaman hayati, sehingga dapat terjadi interaksi alami antar fauna dan flora sesuai fungsinya di habitat. Misal, ada jamur yang menjalankan fungsinya sebagai dekomposer (Gambar 3), tumbuhan penyedia bunga sebagai makanan kupu-kupu dan lebah, tumbuhan sebagai penarik kehadiran burung, dan sebagai tempat herpetofauna (Gambar 4), atau adanya serasah sebagai tempat serangga tanah.

 

Gambar 3. Jamur kuping

 

Gambar 4. Interaksi antar fauna dan flora.

 

Berdasarkan hasil kegiatan monitoring dari sebagian besar RTH di Jakarta yang dilakukan oleh Biodiversity Warrior (BW) KEHATI dalam kegiatan CAPNATURE yang ditulis dalam buku “Geledah Jakarta Menguak Potensi Keanekaragaman Hayati Ibu Kota” serta lanjutan pengamatan BW di Jakarta, diketahui potensi keanekaragaman hayati di RTH terdapat 7 jenis jamur makro, 651 jenis flora, 40 jenis capung, 29 jenis kupu-kupu, 40 jenis herpetofauna,130 jenis burung dan 8 jenis mamali. Adanya buku tersebut diharapkan dapat mendorong masyarakat menjadi peduli terhadap keanekaragaman hayati perkotaan dan menggunakan ruang terbuka hijau sebagai sarana rekreasi sambil belajar (Gambar 5).

Gambar 5. Pengamatan burung dan diskusi di RTH.

 

Manfaat jangka panjang dari RTH berbasis keanekaragaman hayati tersebut adalah pelestarian fungsi ekologis lingkungan dan juga pelestarian terhadap keberadaan keanekaragaman hayati. Selain itu keberadaan RTH berbasis keanekaragaman hayati juga mempunyai fungsi edukatif bagi masyarakat umum khususnya siswa dan mahasiswa. Misalnya tersedianya cara pembiakan melalui tunas dan spora (Gambar 6), dimana secara tidak langsung dapat meningkatkan kepedulian masyarakat terhadai keberadaan RTH. Hasil penelitian terhadap beberapa sekolah menengah di Jakarta Selatan menunjukan, bahwa sekolah yang berdekatan dengan RTH memanfaatkannya sebagai lokasi pembelajaran luar kelas. Guru dan siswa menggunakan flora dan fauna sebagai materi biologi atau materi pengenalan lingkungan alami.

Gambar 6. Contoh cara reproduksi pada tumbuhan cocor bebek dan spora pada jenis paku dan lumut kerak sebagai pioner.

 

Dalam memperingati Hari Keanekaragaman Hayati yang jatuh pada tanggal 22 Mei, bagi  masyarakat Indonesia, terutama yang tinggal di perkotaan merupakan pengingat bahwa kita semua perlu berkontribusi untuk melestarikan keragaman hayati yang sudah ada di RTH dan berupaya menjaganya agar tidak hilang. Hal yang perlu diupayakan adalah menetapkan peraturan daerah yang melarang bagi para pemburu atau perusak terhadap keanekaragaman di RTH agar keberadaannya tetap lestari.

 

Building a Shared Future for All Life yang diterjemahkan “Membangun Masa Depan Bersama untuk Semua Kehidupan” merupakan tema dari Hari Keanekaragaman Dunia 22 Mei 2022. Oleh sebab itu mari kita implementasikan dengan membangun masa depan bersama untuk menjaga kelestarian keanekaragaman hayati dan kualitas hidup manusia. Keberadaan keanekaragaman hayati dapat meningkatkan kualitas ekosistem perkotaan dan meningkatkan kualitas hidup masyarakat.

Tentang Penulis
Dr. Tatang Mitra Setia
Dosen Biologi Universitas Nasional

Fakultas Biologi Universitas Nasional

Syarat dan ketentuan

  1. Memuat hanya topik terkait keanekaragaman hayati dan lingkungan hidup
  2. Panjang tulisan 5.000-6.000 karakter
  3. Tidak plagiat
  4. Tulisan belum pernah dimuat di media dan situs lain
  5. Mencantumkan nama, jabatan, dan organisasi
  6. Melampirkan foto diri dan biografi singkat
  7. Melampirkan foto pendukung (jika ada)
  8. Mengirimkan tulisan ke [email protected]
  9. Jika akan dimuat dimuat, pihak admin akan menghubungi penulis untuk menginformasikan tanggal pemuatan

Tinggalkan Balasan

Tinggalkan Balasan