Air dan Peradaban Manusia
Hari pangan sedunia tahun ini datang dengan tema yang sangat relevan “water is life, water is food, Leave no one behind”. Ini tentu menjadi pengingat yang kuat akan betapa pentingnya air dalam ketahanan pangan dan hak akan akses air yang adil. Bagi masyarakat yang tinggal di daerah dengan kondisi iklim kering dan curah hujan rendah, air menjadi berkali lipat lebih berharga. Bagaimana tidak? Air yang begitu krusial perannya bagi kelangsungan kehidupan manusia justru sangat sulit dijangkau.
Disisi lain bumi, banyak air yang terbuang sia-sia karena pencemaran air. Hal ini menjadi sesuatu yang cukup miris mengingat air memiliki nilai yang jauh berbeda karena ketersediaanya. Manusia hidup dengan tingkat ketergantungan yang sangat tinggi terhadap air. Seperi bunyi Tema hari pangan sedunia tahun ini, “Water is Life”. Karena itu air harus tetap ada dan dijaga keberlangsungannya.
Sejak dulu kala, manusia cenderung hidup dekat dengan air. Banyak bukti sejarah terkait peran air dan ketersediaannya dalam peradaban. Daerah dengan akses air yang melimpah juga subur, cenderung lebih maju peradabannya. Contohnya Mesopotamia yang hingga kini dipercayai sebagai peradaban manusia tertua di dunia. Mesopotamia berkembang di kawasan subur dengan aliran 2 sungai yakni Sungai Efrat dan Sungai Tigris. Masih banyak lagi peradaban tertua dunia lainnya yang tidak lepas dari kehadiran air di wilayahnya. Contoh sederhana yang dapat ditemukan adalah banyaknya nama tempat di daerah-daerah yang mengacu pada sumber air terdekat daerah tersebut.
Sejak dulu masyarakat tinggal dekat dengan air. Hidup bergantung dan berdampingan dengan air. Karena itu, sedikit saja perubahan yang terjadi pada air dapat memberi dampak yang sangat besar bagi kehidupan manusia.
Mirisnya, perlakuan manusia pada air semakin hari tidak lagi mempertimbangkan keberlanjutan. Demi bertahan hidup nilai air bergeser, tidak lagi menjad sesuatu yang berharga dan mesti dijaga sepenuh hati. Air lalu berubah menjadi sesuatu yang sekadar, agar dapat digunakan untuk bertahan hidup saja hari ini. Sampah-sampah kemudian seenaknya dibuang ke sungai, pembangunan tanpa mempertimbangkan jalur air, dan penggunaan air dengan semena-mena. Tanpa memikirkan, bagaimana kondisi air kedepannya. Tanpa memikirkan, bahwa manusia bukanlah satu-satunya penghuni bumi ini, air pun sudah ada di bumi ini sejak dulu kala.
Kendati banyak peradaban yang terbentuk di sekitar air, banyak pula tempat-tempat di belahan bumi lainnya yang justru hidup dengan krisis air bersih. Entah karena perubahan iklim, atau karena kondisi iklim kering dengan curah hujan rendah.
Apakah kemudian daerah-daerah tersebut menjadi tidak layak huni?
Beradaptasi
Sejak dulu peradaban pun telah terbentuk di daerah yang justru jauh dari akses air. Komunitas-komunitas kecil banyak yang bertahan hidup dengan kondisi kering dan minim air. Tentu saja air juga memiliki peran krusial bagi mereka, sama seperti daerah-daerah subur yang kaya air lainnya. Jika ada pertanyaan bagaimana mereka dapat bertahan hidup pada kondisi krisis air, maka jawabannya adalah dengan adaptasi.
Terdapat banyak sekali bentuk adaptasi manusia dengan kondisi ini yang dapat dijadikan pembelajaran terkait bagaimana mewujudkan akses air yang adil baik bagi seluruh manusia maupun adil bagi kondisi alam. Kearifan lokal adalah salah satu jawabannya. Di Dataran Timor, memiliki kondisi iklim yang kering dan curah hujan yang rendah. Masyarakat Duku Dawan yang hidup disana telah mengembangkan sistem penyimpanan makanan yang unik dan berkelanjutan. Dikenal dengan nama ume kbubu. Desain rumah adat ini dirancang dengan sangat bijaksana, memungkinkan mereka untuk menghadapi tantangan air dan musim tanam yang terbatas di wilayah mereka.
Sistem penyimpanan makanan masyarakat suku Dawan sangat unik dalam cara penggunaan air yang efisien. Di dataran Timor yang kering, air adalah sumber daya yang sangat berharga. Sistem pengasapan makanan mereka memungkinkan mereka untuk memaksimalkan penggunaan air dalam proses penyimpanan makanan. Makanan seperti jagung, kacang-kacangan, dan daging Se'i diasapi di loteng rumah adat di atas tungku. Ini bukan hanya metode penyimpanan, tetapi juga cara untuk mengeringkan dan mengawetkan makanan. Ketika cuaca dingin, desain rumah adat yang unik ini membantu mengarahkan asap dari tungku menuju loteng, menjaga makanan tetap awet dan tersedia sepanjang tahun.
Tentu dibelahan bumi lain, terdapat banyak cara lain pula terkait bagaimana manusia beradaptasi dengan kondisi alam. Bagaimana manusia menghargai air, dengan beradaptasi dengan kondisi iklim. Jika sejenak melihat mungkin di masa lalu para leluhur telah hidup demikian. Hidup dengan beradaptasi pada kondisi alam yang ada. Jikapun tidak, pelajaran dari suku dawan terkait beradaptasi dengan kondisi alam dapat menjadi contoh bagaimana kita hidup dengan tetap menghargai keberadaan entitas lain di bumi ini.
Akses air adalah inti dari tema Hari Pangan Sedunia tahun ini, dan masyarakat suku Dawan telah memahami ketergantungan mereka pada air dalam ketahanan pangan. Mereka telah mengembangkan sistem penyimpanan makanan yang memungkinkan mereka untuk mengoptimalkan penggunaan air yang mereka miliki. Ini adalah pelajaran berharga tentang bagaimana kebijaksanaan lokal dapat membantu menjaga ketahanan pangan dalam kondisi yang mungkin keras.
Hari Pangan Sedunia bukan hanya saat untuk merayakan, tetapi juga untuk merenungkan dan bertindak. Melalui contoh kebijaksanaan lokal masyarakat suku Dawan, kita dapat memahami bagaimana menghubungkan akses air dan pangan. Prinsip inklusi adalah kunci untuk ketahanan pangan yang berkelanjutan. Semoga kita dapat mengambil inspirasi dari mereka dan menerapkan pelajaran berharga ini dalam upaya global kita untuk menciptakan dunia yang lebih adil dan berkelanjutan bagi semua orang.
Tinggalkan Balasan
Anda harus masuk untuk berkomentar.
Terkait
Syarat dan ketentuan