Istilah keanekaragaman hayati kadangkala tersempitkan bahkan mengalami perubahan makna. Keanekaragaman hayati sering dimaknai dalam menjelaskankan flora dan fauna yang indah, langka maupun kharismatik yang ada di lokasi-lokasi konservasi alam. Pembelajar keanekaragaman hayati juga sering mengidentifikasi diri sebagai kelompok pemuda-pemudi yang senang berkelana ke tempat-tempat jauh dan sulit diakses, demi hanya untuk mengamati kelompok hewan-tumbuhan unik tersebut. Lebih jauh, kebanyakan kelompok-kelompok masyarakat yang berlabelkan sebagai pemerhati “keanekaragaman hayati hayati X” berfokus pada makhluk hidup yang paling menarik dalam kelompoknya. Contohnya kelompok pengamat burung kemungkinan jumlahnya akan lebih banyak dibandingkan kelompok pengamat amfibia, karena burung memang sejak lama mendapatkan perhatian lebih besar dibandingkan amfibia.
Kebetulan, jenis-jenis kharismatik yang mendapat perhatian publik lebih besar umumnya hidup jauh dari pemukiman manusia, apalagi wilayah urban dan metropolitan. Badak jawa hidup di hutan Ujung Kulon, sebagaimana harimau, rangkong dan siamang di hutan-hutan Sumatra. Untuk flora, kita kenal keluarga pohon meranti dan pohon keruing kharismatik yang hidup makin hari makin jauh dari pedesaan, apalagi kota-kota besar. Hal ini membuat masyarakat desa dan kota hanya menikmati kayu meranti sebagai bahan kusen pintu atau kuda-kuda atap rumah saja. Penduduk urban tidak pernah menikmati venasi daun scalariform milik meranti dan keruing, aroma bunga mereka yang semerbak atau resin yang umum sekali dihasilkan luka kulit batang. Penduduk kota tidak akan menikmati nyanyian melodius siamang di pagi hari atau deru sayap rangkong terbang di atas pohon beringin berbuah. Keanekaragaman hayati kharismatik seperti itu tidak ditemui hidup di perkotaan.
Di wilayah urban, yang tersedia umumnya hanyalah flora dan fauna sinurbik (synurbic) yang mampu beradaptasi dengan kehidupan dan kebutuhan manusia. Umumnya yang jelas merupakan hewan maupun tumbuhan bermanfaat (ornamental, rekreasional, pangan, sandang, dll). Selain hewan dan tumbuhan berguna, maka banyak juga kelompok sinurbik tersebut yang justru merupakan kelompok merugikan, seperti hama, penyakit dan gulma. Pada konteks keanekaragaman hayati urban yang lebih bersifat sinurbik tersebut, maka tidak aneh bahwa istilah keanekaragaman hayati, seperti tadi telah disebutkan, lebih mengacu pada kelompok flora-fauna yang tidak ditemukan di perkotaan. Apakah ini mengalienasi masyarakat kota dari keanekaragaman hayati urban di tempat mereka tinggal, karena pikiran mereka selalu tertuju pada lokasi-lokasi di hutan, pegunungan, laut luas yang jauh dari lokasi mereka beraktivitas sehari-hari, saat berbicara tentang keanekaragaman hayati?
“Mengalienasi” mungkin pilihan kata yang kurang tepat, bahkan cenderung keras. Namun memang kenyataannya, bayangan seseorang warga masyarakat urban tentang “keanekaragaman hayati” akan selalu tertuju pada jenis hewan dan tumbuhan yang menarik, indah, hebat atau endemik, yang kadang-kadang hanya hidup di lokasi yang jauh. Hal ini mungkin membuat warga yang hidup di wilayah urban selain menjadi asing dengan hewan dan tumbuhan “maskot” tersebut, juga merasa bahwa wilayah urban adalah wilayah yang membosankan, gersang dan tanpa keindahan alami. Padahal ini tidak sepenuhnya benar.
Beberapa studi seperti yang dilakukan di Jakarta (Baihaqi et al., 2017, 2015) menunjukkan bahwa beragam habitat di wilayah urban Jakarta masih dihuni oleh flora-fauna menarik. Beberapa jenis hewan endemik Jawa masih ditemukan di pusat kota besar seperti Jakarta, Bandung atau Surabaya. Jenis seperti cabai jawa (Dicaeum trochileum) merupakan burung sinurbik endemik yang mampu hidup di pemukiman, taman kota, vegetasi sepadan jalan, taman kota maupun hutan kota. Secara internasional, burung cabe jawa status perlindungannya adalah LC (least concern). Tidak kalah menarik justru gelatik jawa (Padda oryzivora) dengan status perlindungan EN (endangered) yang juga dapat ditemukan hidup di Jakarta (Baihaqi et al., 2015). Jenis ini adalah jenis yang menarik dan sangat jarang ditemukan di alam, sering ditangkap dan diperjual-belikan karena bentuknya yang menarik; namun hidup di tengah kota Jakarta.
Kedua jenis, baik cabai jawa maupun gelatik jawa jelas tidak sebanding popularitasnya dengan siamang atau biawak komodo. Memang siamang dan komodo adalah jenis yang endemik dan terancam (EN) dan endemik (Sumatra dan Flores). Kedua jenis tersebut jauh lebih popular dan menarik, dan mendapatkan publisitas lebih luas di kalangan masyarakat masyarakat umum. Berbanding terbalik dengan cabe jawa dan gelatik jawa yang hanya dikenal kalangan masyarakat tertentu saja, seperti pemerhati burung. Keduanya sama endemik, keduanya sama dilindungi, namun perhatian publik terhadap kedua kelompok tersebut berbeda. Artinya edukasi publik terhadap jenis yang kurang perhatian, beresiko rendah atau berpenampilan kurang atraktif harus dipergencar oleh kaum pemerhati (termasuk mahasiswa dan spesialis) kepada masyarakat luas di wilayah urban.
Jenis-jenis urban yang berpotensi menarik publik cukup banyak tersedia, terutama dari kelompok berpenampilan menarik berwarna-warni seperti burung dan kupu-kupu. kelompok ini mungkin dapat dimanfaatkan sebagai “entry point” dalam memasyarakatkan keanekaragaman hayati urban. Burung berwarna menarik seperti betet biasa (Psittacula alexandri) dapat dimanfaatkan untuk mempromosikan penanaman pohon besar yang mampu menjadi pohon sarang dan pohon buah. Di Jakarta, betet biasa banyak bersarang di lubang pohon besar seperti kenari (Canarium spp.) atau cempaka (Michelia spp.) dan mengonsumsi biji bungur (Lagerstroemia indica). Jika kita mempromosikan pada warga urban untuk menyayangi betet biasa yang berwarna dan perilaku menarik, maka kemungkinan kita juga akan sekaligus mempromosikan penanaman pohon sarang dan pakan yang termasuk pohon asli Indonesia, dalam rangka menyediakan habitat lebih luas bagi betet biasa di perkotaan. Dalam konteks ini, betet biasa kita manfaatkan sebagai duta besar (ambassador) bagi penghijauan wilayah urban dengan pohon-pohon yang dipromosikan bermanfaat bagi betet; meskipun kenyataannya pohon-pohon tersebut lebih besar lagi manfaatnya bagi masyarakat urban, bukan hanya bagi betet.
Pada konteks ini, edukasi masyarakat adalah hal yang sangat penting dan harus digarap dengan lebih serius oleh para pemerhati (mahasiswa atau peneliti spesialis). Salah satu contoh yang telah dilakukan untuk peningkatan pemahaman dan persepsi masyarakat urban terhadap keanekaragaman hayati urban adalah seperti yang dilakukan pada burung cikalang di Pulau Untung Jawa (Sedayu, Mariani, & Miarsyah, 2020). Pada kegiatan ini, jelas pendekatan langsung pada masyarakat dapat langsung mempromosikan keanekaragaman hayati urban dan konservasinya pada lapisan masyarakat yang langsung bersentuhan dengan kelompok flora-fauna urban. Promosi dan edukasi secara langsung pada masyarakat tentang pentingnya keanekaragaman hayati urban dan nilai keuntungannya bagi masyarakat akan secara langsung mensinergikan upaya-upaya yang sebenarnya telah dilakukan banyak pihak termasuk pemerintah daerah.
Lebih jauh lagi, promosi dan edukasi terhadap jenis hewan tertentu, pasti akan berdampak positif terhadap hewan tersebut dan organisme hewan dan tumbuhan terkait. Misalnya, promosi dan edukasi terhadap burung madu kelapa (Anthreptes malaccensis) kemungkinan akan juga berdampak bola salju (snowball effect) positif terhadap promosi dan edukasi terhadap keanekaragaman hayati tumbuhan penghasil nektar urban. Banyak sekali tumbuhan urban penghasil nektar yang dapat dimanfaatkan oleh burung madu kelapa sebagai sumber pakan. Sebaliknya promosi dan edukasi “pohon pelindung sempadan jalan” juga akan secara langsung mempromosikan habitat bagi burung-burung, serangga bahkan mikroorganisme penghuni pohon sempadan jalan.
MANFAAT KEANEKARAGAMAN HAYATI URBAN
Mempromosikan keanekaragaman hayati hewan, tumbuhan dan mikroorgansme di perkotaan dan wilayah-wilayah urban lainnya adalah upaya yang pada tekanan populasi sekarang ini menjadi sangat penting. Padahal kita kenal upaya-upaya yang dilakukan oleh banyak komunitas urban farming yang jelas mampu menyediakan beragam sayur-mayur bagi masyarakat urban. Sayur-mayur tersebut tentunya jauh lebih kompetitif secara harga maupun mutu, karena tidak berasal dari lokasi produksi yang jauh. Artinya masyarakat urban dan komunitas-komunitas urban farming tersebut secara sengaja memanfaatkan keanekaragaman hayati urban sebagai fungsi penyedia (provisioning). Tidak terhitung manfaat yang diperoleh dari keanekaragaman hayati urban yang bersifat penyediaan tersebut, mulai dari oksigen hingga bahan-material mentah dapat dimanfaatkan langsung warga urban. Mungkin akan sangat menarik jika ada studi tentang berapa jumlah biomasa buah-buahan yang disediakan oleh pohon buah – katakanlah jambu air, yang cukup umum di perkotaan – pada sebuah kawasan pemukiman tertentu. Mungkin terlihat kecil, karena kebanyakan material di perkotaan merupakan produk impor dari pedesaan. Namun jika ada keanekaragaman hayati pohon buah tersedia di kampung-kampung, pemukiman bahkan fasilitas perkantoran urban, maka secara langsung hal tersebut meningkatkan ketahanan pangan lokal pemukiman tersebut. Untuk kasus jambu air paling tidak: ketahanan vitamin dan mineral lokal tahunan.
Keanekaragaman hayati urban penting dalam fungsi budaya (cultural). Keanekaragaman hayati yang tinggi cenderung identik dengan lingkungan yang asri penuh dengan tumbuhan hijau, bunga warna warni, kicauan burung dan kupu-kupu warna-warni beterbangan. Pada lingkungan seperti ini kesehatan mental (psychological well being) tentu akan lebih tinggi dibanding lingkungan dengan keanekaragaman hayati rendah dan cenderung monoton. Kesehatan mental tinggi pasti berkorelasi dengan kesehatan fisik yang tinggi pula. Artinya kemungkinan warga yang tinggal di pemukiman asri dengan keanekaragaman hayati tinggi akan memiliki investasi kesehatan fisik yang tinggi pula. Kesehatan tinggi berimplikasi langsung pada ekonomi, padahal belum ada kajian yang dilakukan tentang trade-off antara investasi keanekaragaman urban di satu lingkungan dengan penghematan ekonomi sektor kesehatan para penghuni lingkungan tersebut. Hal ini cukup menarik juga untuk dikaji, selain kaitan antara keanekaragaman hayati urban dengan rekreasi, estetika dan kerikatan sosial/emosional warga.
Bagi pemerhati lingkungan, peran keanekaragaman hayati urban dalam fungsi pengaturan (regulating) dan penopang (sustaining) mungkin adalah yang paling menarik dibicarakan. Fungsi-fungsi seperti pengaturan kualitas udara, pengaturan suhu lokal, moderasi kejadian banjir tahunan dan pencegahan erosi mungkin telah dipelajari sejak seorang warga Indonesia menjalani pendidikan dasar di SD. Fungsi-fungsi ini menunjukkan bahwa manusia sangat diuntungkan jika beraktivitas di lingkungan yang berkeanekaragaman hayati tinggi. Kita juga memahami bahwa keanekaragaman hayati urban juga memiliki fungsi penopang kehidupan banyak makhluk lain. Jika ada kerusakan atau bencana alam di satu wilayah, maka wilayah-wilayah urban tertentu dapat berfungsi sebagai refugia bagi keanekaragaman hayati yang harus berpindah tersebut.
KEANEKARAGAMAN HAYATI ASLI VS ASING-INVASIF
Salah satu fungsi pengaturan (regulating) dan penopang (sustaining) yang unik adalah bahwa keanekaragaman hayati urban akan melindungi wilayahnya sendiri dari invasi organisme asing (alien)-invasif. Secara khusus, keanekaragaman hayati asli berfungsi penting dalam menghambat laju penyebaran jenis-jenis asing (alien)-invasif. Artinya semakin banyak jenis tumbuhan asli yang ditanam, bukan hanya makin menarik banyak jenis tumbuhan dan hewan asli pula mengoloni daerah tersebut, namun juga makin kuat komunitas tersebut melindungi diri sendiri dari invasi keanekaragaman hayati asing-invasif. Termasuk ketahanan yang lebih tinggi terhadap hama dan penyakit.
Banyaknya jenis asing-invasif di daerah-daerah urban telah lama menjadi perhatian banyak negara temasuk Indonesia. SEAMEO BIOTROP di Bogor adalah salah satu institusi yang sangat intensif mengkaji jenis-jenis asing-invasif di berbagai ekosistem Indonesia. Namun kelihatannya belum banyak kajian khusus yang membahas bagaimana dampak jenis asing-invasif maupun hama dan penyakit terhadap jenis asli di perkotaan. Termasuk bagaimana resiliensi jenis asli perkotaan dalam menahan laju penyebaran jenis asing-invasif dan hama-penyakit.
Dalam hal ini, kami melakukan kajian (Sedayu dkk 2021, ongoing data) pada 72 individu pohon kersen (Muntingia calabura, Muntingiaceae) yang tersebar di wilayah pemukiman perkotaan di Jabodetabek, Jawa Tengah, Jambi dan Sulawesi Tengah, menemukan bahwa ada 7 jenis burung urban yang mengonsumsi, dan berpotensi menjadi agen pemencar (endozookori) buah kersen tersebut. Enam dari tujuh jenis ternyata adalah jenis burung asli Indonesia yang dengan mudah beradaptasi dengan buah kersen. Sedangkan satu jenis, burung gereja erasia, merupakan jenis burung asing-introduksi, pasti memiliki plastisitas dalam beradaptasi dengan sumberdaya pakan lokal maupun introduksi. Hal ini menunjukkan bahwa pemencaran kersen akan menjadi sangat mudah dan luas, karena menjadi sumber pakan bagi burung-burung frugivora urban, baik burung asli maupun introduksi.
Hal yang sebaliknya kami amati di kampung Citalahab Sentral, TN Gunung Halimun. Di kampung tepi hutan tersebut dua pohon kersen dengan ukuran pohon dan jumlah buah yang hampir mirip dengan kersen di perkotaan sama sekali tidak dikunjungi dan dikonsumsi buahnya oleh burung frugivora diurnal. Hal ini terjadi karena kemungkinan burung frugifora Citalahab Sentral memiliki banyak alternatif sumber pakan di luar kersen, dan tidak tertarik dengan buah asing-invasif tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa semakin banyak keanekaragaman hayati asli yang tersedia, maka pemencaran buah seperti kersen melalui endozookori, akan terhambat, karena hewan pemencar memiliki keanekaragaman hayati lain (asli) yang dapat dimanfaatkan sebagai pakan.
Salah satu contoh lain adalah yang dilakukan oleh salah satu mahasiswa UNJ dengan menganalisis contoh fekal kelelawar frugivora urban Jakarta (Baletti, 2021). Pada hampir semua contoh fekal, ditemukan biji Ki Kopong (Cecropia peltata, Urticaceae), tumbuhan yang masuk dalam “world's 100 worst invasive alien species” (Global Invasive Species Database, 2021). Dengan sedikitnya keanekaragaman hayati buah asli di wilayah urban, maka banyak jenis tumbuhan buah asing-invasif yang menjalin hubungan baik dengan hewan pemakan buah asli, menyebabkan mereka mudah disebarkan dengan luas di lanskap urban dibandingkan di lanskap rural atau semi-hutan.
Dua studi tersebut jelas menunjukkan bahwa salah satu cara menghambat penyebaran tumbuhan alien-invasif adalah dengan menyediakan lebih banyak keanekaragaman hayati tumbuhan buah asli di perkotaan, sehingga jenis-jenis hewan frugivora memiliki lebih banyak pilihan pakan dibandingkan buah dari jenis-jenis asing-invasif. Dengan disediakannya lebih banyak tumbuhan asli, maka selain kebutuhan pakan frugivora urban terpenuhi, pemencaran tumbuhan asli juga terbantu lebih luas, dan pada gilirannya akan menekan laju penyebaran tumbuhan alien-invasif. Konsekuensinya, promosi dan edukasi yang lebih masif tentang pentingnya keanekaragaman hayati asli di wilayah urban harus lebih diperkuat agar gerakan reintroduksi tumbuhan asli dapat terakselerasi dalam meningkatkan keanekaragaman hayati asli di perkotaan sekaligus melawan invasi keanekaragaman asing.
Harus lebih banyak jenis-jenis penghasil buah asli ramah frugivora yang ditanam di wilayah urban. Jenis seperti salam (Syzygium polyanthum, Myristicaceae), buni (Antidesma bunius, Phyllanthaceae) dan berbagai jenis beringin (Ficus spp., Moraceae) misalnya, selain sangat efektif sebagai tumbuhan peneduh pada taman-taman kota, juga menyediakan pakan yang berlimpah bagi burung dan hewan frugivora urban lainnya (Adelia & Kaswanto, 2021). Memang permasalahan pada tumbuhan asli seperti salam, buni atau beringin adalah produksi buah yang musiman, umumnya setahun sekali. Artinya selain bulan-bulan berbuah, tidak ada pakan yang disediakan bagi hewan frugivora. Padahal kebutuhan pakan bagi frugivora sejati (hanya makan buah) harus berlangsung setiap hari, sepanjang tahun.
Pada titik inilah keunggulan tumbuhan buah asing-invasif, yang salah satu karakter invasif pentingnya adalah berbunga dan berbuah sepanjang tahun. Karakter ini membuat jenis asing-invasif lebih menarik bagi hewan frugivora pemencar. Artinya dalam rangka mempromosikan keanekaragaman hayati tumbuhan asli, menekan tumbuhan asing-invasif dan mengundang frugivora asli, banyak sektor penelitian keanekaragaman hayati urban yang harus diinisiasi. Apalagi efektivitas berbagai jenis tumbuhan asli dalam menyediakan buah pakan frugivora juga kemungkinan berbeda-beda sepanjang tahun.
KEANEKARAGAMAN HAYATI ASLI URBAN TERCERMIN PADA TOPONIMI
Promosi dan edukasi tentang keanekaragaman hayati urban yang asli hidup - dahulunya, dan tersisa pada saat ini – dapat dilakukan dengan banyak cara. Salah satu yang sudah dilakukan dan cukup efektif, namun mungkin masih kurang massif dilakukan adalah dengan membangkitkan romantisme masyarakat tentang indahnya wilayah urban masa lalu. Kenangan masa lampau tentang indahnya sungai, asrinya wilayah persawahan, mungkin dapat dibangkitkan kembali.
Siapa orang Jakarta yang tidak kenal dengan Daerah Kemang, Menteng atau Sungai Ciliwung. Namun berapa orang Jakarta yang mengetahui bahwa Kemang, Menteng dan Liwung berasal dari nama tumbuhan asli; apalagi pernah berhadapan langsung dengan tumbuhan-tumbuhan tersebut? Secara tradisional toponimi kampung, sungai dan berbagai daerah di Indonesia, termasuk wilayah-wilayah urban adalah bentuk apresiasi masyarakat pada keanekaragaman hayati hewan dan tumbuhan yang menonjol di wilayah tersebut. Kampung yang diberi nama Lebak Bulus kemungkinan menandai wilayah pertanian lebak (sekitar aliran sungai) yang banyak dihuni oleh kura-kura air tawar (bulus).
Wilayah Kebayoran mendapatkan namanya karena merupakan lokasi penumpukan dan penjualan kayu bayur sebagai bahan bangunan kelas satu pada masanya. Alangkah menarik jika warga Kebayoran dapat menikmati postur hidup, bentuk percabangan, bentuk daun, perbungaan dan buah bayur sebagai maskot wilayah tempat tinggal mereka.
Awal tahun 2021, kami memperhatikan bahwa di salah satu pojok Kebayoran masih ditemukan sesosok pohon bayur. Cukup besar, meskipun tidak seraksasa yang tumbuh di wilayah-wilayah konservasi dataran rendah seperti Ujung Kulon atau Baluran. Dinilai dari posisi tumbuhnya, pohon tersebut mungkin adalah individu yang tumbuh alamiah di lokasi tersebut, bukan ditanam. Mungkin menarik jika mempromosikan pohon tersebut sebagai “maskot” Kebayoran, sekaligus sebagai entry point dalam merehabilitasi habitat pohon tersebut sebagai ruang terbuka hijau ikonik lokal.
Kami juga menemukan contoh positif lain di Kantor Kelurahan Warakas, Jakarta utara, tempat para staf melalui arahan Lurah Warakas, menempatkan taman kecil dengan warakas (Acrostichum aureum, Pteridaceae) di halaman depan kantor kelurahan tersebut. Lebih lanjut, para staf kelurahan memberi label nama “warakas” di muka tumbuhan tersebut (Mustikayuni, 2012). Hal ini penting bagi masyarakat dalam membangun kesadaran akan identitas keanekaragaman hayati asli lokal. Semangat dalam mengadopsi identitas lokal juga kami temukan di Kantor Kelurahan Cempaka Putih Barat, Jakarta Pusat yang menanam pohon cempaka putih (Michelia alba, Magnoliaceae) di pojok halaman kantor.
Aksi apa yang dapat diinisiasi memanfaatkan romantisme masyarakat tentang indahnya wilayah urban masa lampau yang tercermin pada toponimi tersebut?
Hal yang mungkin ambisius adalah mengembalikan contoh spesimen tumbuhan asal toponim ke wilayah yang memikul nama toponimi tersebut. Hal ini telah dilakukan dengan baik di perumahan Bintaro jaya, yang menanam banyak sekali pohon Cerbera odollam (Apocynaceae) di tepi-tepi jalan. Jika Bintaro Jaya sukses dengan bintaronya, mengapa tidak mencoba dengan liwung (Oncosperma tigillarium, Arecaceae; nibung dalam bahasa Indonesia/Melayu) di tepian Kali Ciliwung atau putat (Planchonia valida, Lecytidaceaae) di tepian Kali Ciputat? Kemungkinan di dua DAS tersebut tersedia pilihan lokasi yang cukup banyak untuk menampung kedua jenis tumbuhan. Baik liwung maupun putat cukup atraktif dan ornamental (meskipun liwung harus mendapatkan perhatian ekstra untuk keselamatan lingkungan, lantaran duri-duri nya yang cukup tajam dan banyak). Jika ini dapat dilakukan, maka reintroduksi tersebut selain memuaskan romantisme, dapat dimanfaatkan dalam menggugah rasa cinta masyarakat akan habitat-habitat tertentu. Dengan merehabilitasi tepian sungai menggunakan liwung dan putat di berbagai lokasi DAS, termasuk Kali Grogol, kali Pesanggrahan dan lain-lain, maka bukan tidak mungkin bulus yang menghilang dari Lebak Bulus di DAS Kali Grogol akan kembali hidup ke tempat tersebut. Keuntungan snowball.
Contoh aksi seperti yang diuraikan di atas adalah contoh yang feasible. Ada ketersediaan lahan. Jenis tumbuhan yang digunakan masih mudah diperoleh.
Yang agak sulit (maka cenderung merupakan proyek aksi yang cukup ambisius) adalah jika dilakukan pada lokasi yang langka lahan dan tekanan populasi manusia sangat tinggi, misalnya di jalan Kramat Lontar, Jakarta Pusat. Memang berdasarkan orang-orang tua, Kramat Lontar mendapatkan namanya dari pohon lontar (Borassus flabellifer, Arecaceae), sebagai penanda makam/kramat. Lontar kebetulan adalah tumbuhan yang posturnya cukup besar, dengan daun/pelepah daun yang cukup berbahaya jika tua dan gugur. Cukup riskan jika ada upaya mereintroduksi lontar ke Kramat Lontar yang sekarang merupakan wilayah pemukiman yang sangat padat, tanpa luasan ruang terbuka hijau mencukupi bagi tumbuhan dengan postur besar seperti lontar. Harus ada terobosan ekstra, upaya bersama, jika warga Kramat Lontar memutuskan mereintroduksi lontar kembali ke kampung mereka.
Jika permasalahan lokasi penanaman lontar terpecahkan, maka mereintroduksi lontar sebenarnya cukup potensial memberikan dampak snowball. Kami mengamati beberapa pohon lontar yang tersisa di DKI Jakarta, yaitu di sisi barat Taman Pemakaman Umum (TPU) menteng pulo, yang kanopinya banyak dikunjungi burung pemakan madu (kemungkinan penyerbuk), pemakan serangga, atau burung-burung yang sekedar beristirahat, seperti kuntul kecil yang sempat kami amati. Bentuk postur pohon lontarpun tidak kurang atraktif dan mungkin sama ornamentalnya dibanding keluarga pinang-pinangan ornamental lain yang sering merupakan tumbuhan ornamental introduksi. Contohnya Bismarkia nobilis asal Madagaskar yang sebenarnya memiliki bentuk daun dan kanopi sangat mirip dengan lontar, dengan postur yang lebih kecil.
Memanfaatkan keanekaragaman hayati urban atau non urban sebagai maskot untuk promosi kesadaran masyarakat akan pentingnya keanekaragaman hayati bagaikan pedang bermata dua jika tidak dibarengi dengan edukasi yang mumpuni. Kita tentunya saat kantor-kantor pemerintahan di Malang yang beramai-ramai membangun kandang cucak hijau (Chloropsis spp.) pasca penetapan cucak hijau sebagai maskot Kabupaten Malang. Edukasi kembali terbukti merupakan medan perang terdepan konservasi keanekaragaman hayati. Program apapun yang dicanangkan di wilayah urban (atau non urban, apalagi hutan) harus dibarengi dengan penguatan edukasi. Memang tanpa edukasipun sebenarnya banyak permasalahan yang dapat diselesaikan dengan hanya akal sehat. Contohnya mungkin tanpa edukasipun warga Rawa Buaya kemungkinan akan menolak reintroduksi Crocodylus porosus, toponimi wilayah mereka, kembali hilir-mudik di DAS Kali Angke. Namun pada banyak kesempatan, sebuah program yang baik tetap harus dibarengi dengan program edukatif pendamping pada berbagai pihak.
Hari/gerakan sejuta pohon 10 Januari adalah sebuah program yang dapat dilaksanakan di berbagai lokasi, termasuk lokasi-lokasi yang memenuhi syarat di wilayah urban. Program sejuta pohon tersebut sangat potensial dilaksanakan dalam kerangka mengundang kembali keanekaragaman hayati asli dan menekan keanekaragaman hayati asing-invasif di kota-kota besar. Jika dibarengi dengan program edukasi yang massif, maka program ini bagaikan oasis di tengah gurun. Manfaatnya dinikmati langsung oleh kalangan masyarakat luas, sekaligus merehabilitasi ekosistem perkotaan yang rentan menggunakan elemen-elemen keanekaragaman hayati asli. Kita sukseskan program hari/gerakan sejuta pohon dengan pencerahan tentang harmoni hidup bersama keanekaragaman hayati urban di pemukiman kita sendiri, di kota-kota tempat kita tinggal.
PUSTAKA
Adelia, D. & Kaswanto. 2020. Analysis of vegetation biodiversity and urban park connectivity as landscape services provider in Bogor city. In IOP Conference Series: Earth and Environmental Science (Vol. 694, No. 1, p. 012020). IOP Publishing.
Baihaqi, A., Wati, R., Yusuf, A., Husein, H. Z., Khoir, M., & Handayani, M. (2017). Upaya menuju green hospital melalui program keanekaragaman hayati hayati di lingkungan Rumah Sakit Kanker Dharmais. Jakarta: Yayasan Kehati Indonesia.
Baihaqi, A., Wicaksono, G., Makur, K. P., Novianti, V., Husein, H. Z., Kristanto, A., … Sofyan, F. (2015). Geledah Jakarta, menguak potensi keanekaragaman hayati hayati ibukota. Jakarta: Yayasan Kehati Indonesia.
Baletti, A. R. (2021). Komposisi pakan kelelawar frugivora di hutan kota Srengseng dan Cibubur berdasarkan analisis fekal. Universitas Negeri Jakarta. Skripsi S1.
Global Invasive Species Database (2021). Downloaded from http://www.iucngisd.org/gisd/ 100_worst.php on 23-12-2021. 100_worst.php on 23-12-2021.
Mustikayuni, A. (2012). Hubungan antara pengetahuan konservasi dengan kepedulian masyarakat Warakas terhadap Acrostichum aureum di daerah Warakas, Jakarta Utara. Universitas Negeri Jakarta. Skripsi S1.
Sedayu, A., Mariani, A., & Miarsyah, M. (2020). Improving the perception of Christmas Island Frigatebirds by local fishermen on Pulau Untung Jawa, Jakarta, using the Penyuluhan method. Kukila, 23, 6–13.
Tinggalkan Balasan
Anda harus masuk untuk berkomentar.
Terkait
Syarat dan ketentuan