Keadilan Multi-Spesies di Kawasan Urban: Sudahkah Kita Berlaku Adil?

Aktivitas, Urban Biodiversity
Keadilan Multi-Spesies di Kawasan Urban: Sudahkah Kita Berlaku Adil?
5 June 2025
33
4

Kota terus berkembang dari masa ke masa.  Daerah terbangun di kota-kota besar di Jawa diduga akan terus meningkat (Pravitasari dkk. 2024), dengan hampir semua pemenuhan kebutuhan mempertimbangkan kebutuhan manusia, sementara ekosistem pendukung kehidupan manusia seringkali terabaikan.  Mari kita lihat apa yang terjadi.  Di kawasan mangrove Teluk Jakarta, dari 34 jenis burung yang diamati—13 di antaranya burung air—hidup di antara sampah yang hampir 90% adalah sampah plastik (Anugra dkk. 2021, Winarni dkk. 2022). Menyedihkannya, hanya dua jenis burung air, yaitu pecuk ular (Anhinga melanogaster) dan bangau bluwok (Mycteria cinerea), yang tak ditemukan di lokasi-lokasi penuh sampah. Artinya, kedua spesies ini kemungkinan besar menghindari area tercemar.  Kondisi serupa juga terlihat di Muara Gembong. Di sana, bangau bluwok hanya muncul di kawasan yang bebas dari sampah (Ayujawi dkk. 2021). Semakin banyak sampah, semakin rendah kualitas lingkungan yang tercermin dari indeks komunitas burung air (Index of Waterbird Community Integrity). Ironisnya, saat manusia berusaha menjauh dari sampah, burung justru dipaksa hidup di antara limbah, tanpa jaminan lingkungan yang sehat. Inilah gambaran nyata pesisir kita—di mana satwa liar terus berjuang bertahan di tengah krisis yang diciptakan manusia.

Di perkotaan lain lagi.  Penelitian menunjukkan bahwa kota-kota besar seperti Jakarta hanya "ramah" bagi jenis-jenis burung tertentu—khususnya burung eksploiter dan adapter. Burung eksploiter adalah tipe tangguh yang dapat memanfaatkan infrastruktur dan habitat buatan manusia untuk bertahan. Contohnya, burung gereja (Passer montanus), walet linchi (Collocalia linchi), yang bersarang di atap rumah dan celah bangunan, atau cucak kutilang (Pycnonotus aurigaster) yang tinggal cukup dekat dengan hunian manusia.  Lalu ada burung adapter, seperti merbah cerucuk (Pycnonotus goiavier) yang masih bisa hidup di kota asalkan ada pohon dan ruang hijau tersisa. Sementara itu, jangan harap kita dapat melihat kelompok burung lainnya yaitu kelompok burung avoider cenderung hanya dapat hidup di habitat dengan vegetasi alami, habitat yang sulit dijumpai di perkotaan seperti Jakarta.

Dalam diskursus lingkungan hidup dan perencanaan kota masa kini, muncul sebuah konsep yang semakin mendapat perhatian: keadilan multispesies (multispecies justice). Konsep ini menantang cara pandang tradisional yang selama ini berpusat pada manusia (antroposentris), dan menyerukan pentingnya mempertimbangkan hak, kebutuhan, dan keberlangsungan hidup semua makhluk—manusia maupun non-manusia—dalam pembangunan dan pengelolaan kota. Istilah ini diawali oleh Thom van Dooren pada tahun 2019 dari bukunya “The Wake of Crows” yang mengangkat istilah etika multispesies (multispecies ethics) sebagai pendahulu konsep keadilan multispesies.  Keadilan multispesies adalah pendekatan etis dan ekologis yang menekankan bahwa semua makhluk hidup, seperti hewan, tumbuhan, mikroorganisme, dan manusia, memiliki peran dan hak dalam ekosistem yang saling terkait.

Gambar 1. Kowak malam abu (Nycticorax nycticorax) di pesisir Teluk Jakarta dan monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) di Jakarta yang terpaksa beraktivitas antara sampah (sumber foto: dokumentasi pribadi)

 

Gambar 2.  Burung Cucak kutilang (Pycnonotus aurigaster), salah satu jenis burung eksploiter yang banyak di perkotaan (sumber foto: dokumentasi pribadi)

 

Mengapa Keadilan Multispesies Penting di Kawasan Urban?

Kota yang sibuk dan terus tumbuh dengan gedung dan jalanan menimbulkan konsekuensi besar—kota jadi semakin panas! Fenomena ini dikenal dengan Urban Heat Island (UHI), atau “pulau panas” di tengah kota, di mana suhu udara menjadi jauh lebih tinggi dibandingkan daerah sekitarnya. Kota juga mengalami polusi udara, pencemaran air, serta tekanan-tekanan lainnya akibat minimnya ruang terbuka hijau.  Menurut data dari Badan Pusat Statistik (2020), lebih dari 56,7% penduduk Indonesia tinggal di perkotaan, dan jumlah ini diperkirakan terus bertambah. Artinya, makin banyak orang hidup dalam kondisi lingkungan yang tidak ideal.

Di tengah padatnya kota, kita sering lupa bahwa kota juga butuh alam. Kota membutuhkan bantuan dari spesies lain—misalnya lebah yang membantu penyerbukan, burung yang memangsa hama, atau pohon yang menyerap karbon dari udara yang terpolusi. Namun, kenyataannya, pohon-pohon buah di perkotaan sering kali tidak berbuah semaksimal yang tumbuh di dekat hutan atau habitat alami lainnya. Salah satu penyebabnya? Kurangnya penyerbuk alami.

Hubungan antara bunga dan penyerbuk bukan hanya soal datang dan hinggap—ini hubungan timbal balik yang bisa sangat spesifik. Ada jenis bunga yang hanya bisa diserbuki oleh jenis satwa tertentu. Misalnya, bunga durian yang diserbuki oleh kelelawar menghasilkan buah lebih banyak dibandingkan yang hanya diserbuki oleh serangga (Sheherazade dkk., 2019).

Contoh lainnya, kupu-kupu. Kupu-kupu tak bisa hidup sembarangan—mereka bertelur dan melewati fase larva dan kepompongnya hanya di tanaman tertentu. Kupu-kupu jeruk (Papilio demoleus) misalnya, yang hanya mau bertelur di pohon jeruk. Rantai kehidupan inilah yang perlu dijaga dengan hal-hal sederhana seperti menanam pohon atau membuat sudut taman kecil yang ramah satwa. Dengan begitu, energi kehidupan dapat terus mengalir—dan kita, penghuni kota, menjadi bagian dari ekosistem yang lebih adil dan seimbang.  Mengabaikan mereka berarti merugikan diri sendiri.

 

Mewujudkan Kota Multispesies

Beberapa langkah yang dapat diterapkan untuk mendekatkan kota pada prinsip keadilan multispesies antara lain:

  • Kebijakan Ramah Lingkungan: Mengintegrasikan perlindungan spesies ke dalam rencana tata ruang, mengatur pembangunan agar tidak mengganggu area penting ekologi.
  • Pendidikan dan Kesadaran: Perlunya mendorong warga kota untuk lebih memahami dan menghargai makhluk hidup lain di sekitarnya. Salah satu caranya adalah menjadikan halaman rumah lebih ramah biodiversitas. Pekarangan—halaman khas Indonesia yang ditanami tanaman hias, empon-empon, hingga pohon buah—bisa jadi contoh agroforestri kecil yang mendukung kehidupan satwa dan tumbuhan di tengah kota
  • Pemantauan dan Riset: pemantauan satwa di kota bisa dilakukan lewat sains warga. Warga diajak ikut mengamati dan mencatat kehadiran satwa lewat platform seperti Burungnesia (burung), KupuKita (kupu-kupu), Go-Ark (amfibi dan reptil), dan iNaturalist untuk jenis lainnya.

 

Keadilan multispesies adalah langkah menuju kota masa depan yang lebih adil, berkelanjutan, dan harmonis. Ini bukan hanya soal "melindungi hewan", tetapi tentang menciptakan ruang hidup bersama yang saling menguntungkan dan mempertahankan keseimbangan ekologis jangka panjang. Di tengah krisis iklim dan kerusakan alam yang semakin nyata, keadilan untuk semua makhluk hidup adalah keadilan untuk umat manusia itu sendiri.

Keanekaragaman hayati, URBAN, biodiveritas urban, biodiversitas
Tentang Penulis
Nurul L. Winarni
Peneliti pada Pusat Riset Perubahan Iklim-Universitas Indonesia

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *