Jika Pohon Mati, Kita Pun Mati

Aktivitas, Kehutanan, Perubahan Iklim
Jika Pohon Mati, Kita Pun Mati
10 Januari 2025
0

“If the trees die, we die”.

 

Jika Anda menonton film Avatar (2009), pasti paham bahwa kutipan itu menjadi inti dari narasi film tersebut. Pesan itu disampaikan melalui karakter Neytiri yang sering menekankan keterhubungan semua kehidupan di Pandora. Dari frasa itu, keseluruhan film tersebut hendak menegaskan bahwa menghancurkan alam—yang diwakili oleh pepohonan dan ekosistem Pandora—akan mengarah pada kehancuran semua kehidupan, termasuk manusia.

 

Bagi kehidupan di bumi, pesan tersebut benar belaka. Pohon adalah produsen utama dalam ekosistem. Mereka mengubah energi matahari menjadi energi kimia berupa glukosa yang menjadi sumber makanan bagi makhluk hidup.

 

Lebih dari itu, pohon adalah penyedia habitat bagi semua makhluk hidup, pelindung tanah, penyedia oksigen, penyimpan air, pencegah banjir, sumber nutrisi organik, sekaligus simbol peradaban dan budaya dalam lintasan sejarah umat manusia.

 

“Pohon barangkali bersifat fana, namun keberadaannya menentukan keberlanjutan siklus alam yang abadi”. Begitu filsuf Prancis Albert Camus menggambarkan betapa pentingnya pohon dalam karyanya The Myth of Sisyphus (1942).

 

Pohon juga penyerap karbon yang efektif. Pohon dewasa rata-rata menyerap sekitar 22 kilogram karbon dioksida per tahun. Dalam masa hidupnya, satu pohon dapat menyerap sekitar 1 ton karbon dioksida (Intergovernmental Panel on Climate Change/IPCC Special Report on Climate Change and Land, 2019). Satu hektar hutan tropis dapat menyerap sekitar 50-200 ton karbon per tahun, tergantung densitas dan jenis vegetasinya.

 

Deforestasi dan Krisis Iklim

 

Laporan IPCC bulan Mei 2023 lalu menyebutkan, aktivitas manusia terutama melalui produksi emisi gas rumah kaca (GRK) telah menyebabkan pemanasan global dengan suhu rata-rata permukaan global pada periode 2011-2020 1,1 derajat celcius lebih tinggi daripada 1850-1900. Dari angka tersebut, suhu permukaan global dalam dua dekade pertama abad ke-21 (2001-2020) adalah 0,99 derajat celcius lebih tinggi dari 1850-1900. Diperkirakan, hilangnya pepohonan global, terutama akibat deforestasi sejak tahun 1850, turut menyumbang kenaikan suhu global hingga sekitar 0,3-0,5 derajat celcius.

 

Pada tahun 2023, Global Forest Watch mencatat, kehilangan hutan primer tropis mencapai 3,7 juta hektar, setara dengan hilangnya area seluas 10 lapangan sepak bola setiap menit. Meskipun angka ini menunjukkan penurunan 9% dibandingkan tahun 2022, tingkat kehilangan hutan primer tropis tetap signifikan.

 

Kehilangan hutan primer tropis pada tahun 2023 tersebut diperkirakan menghasilkan emisi karbon dioksida 2,4 gigaton, setara dengan hampir setengah dari emisi bahan bakar fosil tahunan di Amerika Serikat (World Resources Institute, 2024). Jika deforestasi terus berlanjut pada tingkat saat ini, menurut IPCC, diperkirakan suhu global dapat meningkat tambahan 0,1-0,3 derajat celcius pada tahun 2100, di luar dampak dari emisi lain.

 

Hilangnya pepohonan global tidak hanya menyebabkan kenaikan suhu langsung, tetapi juga memperburuk dampak perubahan iklim lainnya, seperti krisis air dan penurunan keanekaragaman hayati.

 

Tingkat kepunahan keanekaragaman hayati global terbukti sekitar 100 hingga 1.000 kali tingkat kepunahan rata-rata selama puluhan juta tahun terakhir dan terus meningkat dari waktu ke waktu. The Intergovernmental Science-Policy Platform on Biodiversity and Ecosystem Services (IPBES) tahun 2019 menyebut, kehilangan keanekaragaman hayati menjadi satu dari tiga bencana paling mematikan bagi planet bumi atau triple planetary crisis, di samping polusi serta kerusakan lingkungan dan perubahan iklim.

 

Sebagai negara megabiodiversitas, Indonesia menghadapi ancaman signifikan terhadap spesies pohon, bahkan, mengarah kepada kepunahan. Pada tahun 2019, 135 spesies pohon di Indonesia diklasifikasikan di ambang kepunahan (critically endangered) dan masuk ke dalam IUCN Red List of Threatened Species. Sebanyak 350 spesies dipterocarp—spesies yang sangat penting bagi kelangsungan hutan hujan tropis—juga terancam dalam kepunahan dengan tanpa upaya konservasi yang signifikan (Botanic Gardens Conservation International, 2023).

 

Tidak hanya di kawasan hutan, krisis biodiversitas, termasuk pepohonan di dalamnya, juga terjadi di perkotaan. Ledakan jumlah penduduk menjadi masalah utama. Pada tahun 2023, dari sekitar 277,5 juta penduduk di Indoneisa, 57% tinggal di perkotaan, sisanya di perdesaan. Angka ini meningkat daripada tiga tahun sebelumnya yang sekitar 56,7% (2020), dan diproyeksikan mencapai 66,6% tahun 2035. Proporsi tersebut diprediksikan akan meningkat menjadi 70% pada tahun 2045 dengan total jumlah penduduk diperkirakan mencapai 320 juta jiwa (BPS, 2023).

 

Bertambahnya populasi mendorong perluasan kawasan perkotaan untuk permukiman dan kegiatan sosial ekonomi, yang kerapkali menggantikan habitat alami dan ruang terbuka hijau (RTH) dengan infrastruktur beton.

 

Menurut data Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) 2021, penyusutan RTH berlangsung secara signifikan di perkotaan di Indonesia. Di Jakarta, misalnya, RTH hanya mencakup sekitar 5,18% dari total luas kota, jauh dari target 30% yang diamanatkan Undang Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang. Sementara, Kota Semarang dan Kota Bandung masing-masing mencapai 15% dan 12,25% (Buku Informasi Statistik Infrastruktur PUPR, 2021). Angka ini kontras dengan Kota Singapura yang mengalokasikan 47% wilayahnya untuk ruang hijau.

 

Penyusutan RTH ini berisiko mengurangi kualitas lingkungan hidup perkotaan, memperburuk polusi udara, serta mengurangi ruang rekreasi dan resapan air yang sangat dibutuhkan oleh penduduk kota. Selain itu, kekurangan ruang hijau dapat memperburuk efek perubahan iklim dan menurunkan daya tahan kota terhadap bencana alam, seperti banjir.

 

Holistik dan Kolaboratif

 

Mengatasi krisis biodiversitas dan semakin langkanya pohon, memerlukan pendekatan yang holistik dan kolaboratif di tingkat lokal, nasional, dan global.

 

Pertama, melindungi hutan yang tersisa. Kebijakan moratorium deforestasi yang sudah dikeluarkan pemerintah harus secara konsistem dijalankan. Upaya pengalihfungsian hutan, terutama hutan primer, untuk tujuan apapun harus dicegah, termasuk untuk food estate.

 

Kedua, restorasi ekosistem. Langkah ini termasuk memulihkan hutan yang rusak dengan teknik rehabilitasi dan pengelolaan air, serta mendorong sistem pertanian yang mengintegrasikan pepohonan dengan tanaman dan peternakan untuk meningkatkan keberlanjutan (agroforestry).

 

Ketiga, penguatan kebijakan dan penegakan hukum yang adil dan tegas, termasuk ketegasan dalam menghukum pelaku deforestasi ilegal, perdagangan satwa liar, ataupun pelaku alih fungsi RTH yang tak sesuai dengan peruntukannya. Langkah ini juga perlu diimbangi dengan insentif untuk komunitas lokal maupun masyarakat urban yang menjaga hutan dan menanam pohon di lahannya.

 

Keempat, pemberdayaan komunitas lokal. Mengakui hak atas tanah masyarakat adat dan lokal adalah langkah yang sangat penting dan sesuai amanat konstitusi. Selain itu, masyarakat adat, dengan kearifan lokalnya, seringkali menjadi penjaga hutan yang efektif.

 

Kelima, penguatan riset, teknologi, dan kolaborasi internasional. Riset tidak hanya sangat penting bagi pengembangan metode penanaman pohon, tetapi juga sebagai landasan penyusunan kebijakan publik yang komprehensif. Sementara, kolaborasi internasional terutama sangat dibutuhkan untuk mendorong sumber daya pendanaan dan kerja sama perlindungan ekosistem lintas batas.

 

Keenam, pendidikan dan kesadaran publik. Kampanye nasional untuk mengedukasi masyarakat tentang pentingnya biodiversitas dan peran pohon dalam mitigasi perubahan iklim sangat diperlukan. Kesadaran rendah dari masyarakat dan dunia usaha berkontribusi besar pada memburuknya biodiversitas di Indonesia.

 

Biodiversitas, termasuk pohon, harus dipandang sebagai aset bersama yang berkontribusi langsung bagi kualitas hidup dan keberlanjutan kehidupan. Edukasi dalam hal ini termasuk tentang jenis, spesies, jasa ekosistem, bagaimana cara melindunginya, dan mengapa kelestariannya penting.

 

Enam pendekatan tersebut memerlukan komitmen dari berbagai pihak, mulai dari pemerintah, organisasi non-pemerintah, sektor swasta, hingga individu. Selain komitmen, hal yang sangat penting adalah menjaga api keasadaran: “If the trees die, we die”.

 

Selamat Hari Gerakan Sejuta Pohon 2025. Mari menanam pohon.

Tentang Penulis
Muhamad Burhanudin
Manajer Kebijakan Lingkungan Hidup Yayasan KEHATI

Syarat dan ketentuan

  1. Memuat hanya topik terkait keanekaragaman hayati dan lingkungan hidup
  2. Panjang tulisan 5.000-6.000 karakter
  3. Tidak plagiat
  4. Tulisan belum pernah dimuat di media dan situs lain
  5. Mencantumkan nama, jabatan, dan organisasi
  6. Melampirkan foto diri dan biografi singkat
  7. Melampirkan foto pendukung (jika ada)
  8. Mengirimkan tulisan ke [email protected]
  9. Jika akan dimuat dimuat, pihak admin akan menghubungi penulis untuk menginformasikan tanggal pemuatan

Tinggalkan Balasan

Tinggalkan Balasan