INVESTASI berkelanjutan, atau populer sebagai investasi hijau, menunjukkan perkembangan luar biasa dalam beberapa tahun terakhir.
Bahkan, investasi berkelanjutan dinilai sebagai genre investasi dengan pertumbuhan paling pesat di pasar modal di berbagai belahan dunia, terutama di negara-negara maju.
Ada hampir 2.400 pengelola dan pemilik aset keuangan yang menandatangani komitmen UN Principle for Responsible Investment (PRI), dengan total dana kelolaan 86 trilliun dollar AS.
Sementara, survei terakhir yang dilakukan Global Sustainable Investment Alliance (GSIA)) memperlihatkan aset investasi berkelanjutan di negara maju tumbuh menjadi 30,7 trilliun dollar AS.
Investasi berkelanjutan, adalah proses investasi yang mengindahkan aspek-aspek lingkungan, sosial, dan tata kelola yang baik.
Hal ini mencakup Environment, Social, dan Governance (ESG) untuk menjaga keberlanjutan perekonomian dan keberhidupan di Planet Bumi.
Investasi hanya dilakukan pada perusahaan atau bisnis yang tidak mengakibatkan kerugian, atau lebih bagus lagi memberikan dampak positif, pada lingkungan dan masyarakat sekitar.
Perlu dicatat, perusahaan yang peduli lingkungan dan sosial bukanlah sekadar perusahaan yang nilai corporate social responsibility (CSR)-nya paling besar.
Tetapi lebih pada perusahaan yang mengadopsi dan mengintegrasikan kepedulian itu pada model bisnis dan praktik operasionalnya.
Investasi berkelanjutan tidak hanya mengenai aspek hijau atau lingkungan, tetapi juga faktor sosial dan tata kelola.
Bahkan, sebetulnya, investasi yang memperhitungkan aspek sosial atau tata kelola lebih dahulu dan berkembang diadopsi investor. Misalnya, investasi yang menghindari perusahaan rokok atau produsen alkohol.
Harus diakui, melesatnya popularitas investasi berkelanjutan atau investasi ESG saat ini dipicu oleh meningkatnya perhatian pada isu-isu lingkungan.
Hal ini terutama ancaman perubahan iklim, yang berakibat maraknya produk atau instrumen investasi khusus berkaintan dengan lingkungan.
Do No Harm, ESG
Jadi, investasi berkelanjutan dapat berupa sekadar investasi pada bisnis atau perusahaan yang tidak merugikan (do no harm) terhadap lingkungan alam dan masyarakat di sekitar kita.
Berbagai cara dapat dilakukan dalam mengadopsi praktik investasi yang bertanggung jawab ini.
Pertama, dan paling sederhana, adalah exclusion atau negative screening. Tidak berinvestasi pada perusahaan yang bisnisnya merugikan lingkungan atau masyarakat. Misalnya, perusahaan rokok, alkohol, pornografi, senjata, batubara, dan lain-lain.
Kedua, dengan mempertimbangkan dan menilai berbagai kebijakan dan praktik lingkungan, sosial, dan tata kelola setiap perusahaan, dan memilih hanya berinvestasi pada perusahaan yang nilai ESG-nya baik.
Pendekatan ini secara spesifik dikenal sebagai ESG integration, atau mengintegrasikan faktor ESG ke dalam proses investasi.
Faktor-faktor yang dinilai berkaitan dengan lingkungan (E) misalnya, mengenai emisi karbon, konservasi atau efisiensi energi, kepedulian pada alam dan keaneragaman hayati, penggunaan sumber daya air, pengelolaan sampah dan polusi, dan lain sebagainya.
Dari aspek sosial (S), misalnya dengan memberikan upah dan hak yang layak bagi karyawan, dan tidak mempekerjakan anak di bawah umur.
Kemudian mendorong kesetaraan gender, memberdayakan masyarakat di sekitar dalam bisnis dan operasinya, berlaku fair terhadap pemasok, menjaga integritas dan kerahasiaan nasabah, dan lain-lain.
Sementara dari sisi tata kelola (G), perusahaan akan dinilai dari independensi dewan komisaris dan direksi, dan kompensasi manajemen yang fair dan transparan.
Berikutnya struktur organisasi yang mendorong check and balance, menjamin perusahaan terhindar dari praktik-praktik koruptif dan tidak etis, dan lain sebagainya.
Saat ini, investasi dengan pendekatan ESG ini merupakan komponen terbesar dan tumbuh paling pesat dalam perkembangan investasi berkelanjutan di pasar modal dunia.
Tak lama lagi diperkirakan semua fund manager dunia akan mengadopsi ESG dalam keputusan investasinya, terutama di kawasan Eropa.
Bahkan, di AS dalam waktu lima tahun mendatang, menurut laporan Deloitte bulan Februari 2020, ESG akan mencakup separuh dari seluruh dana kelolaan investasi.
Di Indonesia, Yayasan KEHATI adalah pionir investasi ESG di pasar modal Indonesia ketika meluncurkan Indeks SRI KEHATI pada tahun 2009, yang menggabungkan metoda exclusion dan ESG integration.
Dalam dua tahun terakhir, reksadana berbasis ESG yang diluncurkan berbagai Manajer Investasi, yang mengacu pada indeks SRI KEHATI, melonjak 10 kali lipat menjadi sekitar Rp 2 triliun pada saat ini.
Perlu diketahui, dari perspektif investor, investasi berbasis ESG tidak semata-mata karena peduli pada lingkungan dan masyarakat, tetapi juga untuk meningkatkan peluang dan pengelolaan risiko dari portofolio.
Berbagai studi dan riset menunjukkan, bahwa investasi berbasis ESG dapat memberikan kinerja yang lebih baik.
Termasuk seperti yang ditunjukkan oleh Indeks SRI KEHATI, yang kinerjanya konsisten melampau kinerja IHSG atau LQ45 daam 10 tahun terakhir.
Impact Investment, Investasi Berdampak
Seperti disampaikan di atas, investasi berkelanjutan adalah investasi yang tidak merugikan lingkungan dan masyarakat di sekitarnya, atau bahkan investasi yang memberikan dampak positif pada lingkungan dan masyarakat, yang biasanya dikenal sebagai impact investing atau investasi berdampak.
Investasi berdampak bergerak lebih jauh, tidak hanya do no harm tetapi juga positively impacting secara sosial dan lingkungan.
Secara formal, investasi berdampak didefinisikan sebagai investasi pada perusahaan atau bisnis yang tidak hanya memberikan financial return pada investor tetapi pada saat yang bersamaan juga bertujuan memberikan dampak positif terhadap lingkungan atau masyarakat.
Namun, tidak semua investasi pada perusahaan yang memberikan dampak positif pada lingkungan dan masyarakat dapat dikategorikan sebagai investasi berdampak. Setidaknya ada tiga syarat.
Pertama, prinisip intentionality, dampak tersebut memang direncanakan dan bagian dari model bisnis perusahaan, bukan dampak yang merupakan “hasil sampingan” atau kebetulan.
Kedua, prinsip additionality, yaitu memberikan dampak positif lebih dari yang seharusnya.
Setiap perusahaan akan memberikan dampak positif dengan memberikan peluang kerja bagi masyarakat. Tetapi itu adalah sebuah keniscayaan.
Berbeda dengan, misalnya, perusahaan yang bertujuan memberikan peluang kerja pada komunitas terpinggirkan, misal eks narapidana, orang dengan kebutuhan khusus, wanita orang tua tunggal, dan lain-lain.
Ketiga, measurability, dampak lingkungan tersebut dapat diukur. Misalnya, perusahaan clean dan renewable energy dapat diukur bagaiaman kontribusinya terhadap penurunan emisi karbon.
Perusahaan yang bertujuan meningkatkan akses jasa keuangan bagi masyarakat pedesaan harus menjelaskan indikator dan keterukurannya.
Investasi berkelanjutan pada perusahaan-perusahaan publik yang tercatat di bursa efek seringkali mengadopsi pendekatan do no harm dan ESG, karena pendekatan investasi berdampak tidak terlalu mudah diterapkan di sini.
Hingga saat ini, masih terbatas perusahaan besar yang terdaftar di bursa efek yang bertujuan secara spesifik dan substansial untuk menghasilkan dampak positif secara lingkungan dan sosial.
Oleh karena itu, sejauh ini, investasi berdampak lebih banyak dilakukan pada perusahaan-perusahaan relatif kecil, termasuk perusahaan rintisan.
Namun perlu dicatat, obligasi hijau (green bond) dapat dikategorikan sebagai investasi berdampak.
Pendanaan dari obligasi hijau digunakan oleh penerbitnya untuk mendanai proyek atau bisnis yang berdampak positif pada lingkungan.
Jika investasi ESG biasanya dilakukan manajer investasi (MI) pada perusahaan yang tercatat di bursa efek, investasi berdampak biasanya dilakukan oleh venture capital (VC) atau perusahaan private equity.
Tentu, investor institusi lain, atau pun individual, juga dapat menjadi investor pada investasi ESG maupun investasi berdampak.
Investasi berdampak, seperti ESG, merupakan salah satu genre dari investasi berkelanjutan yang berkembang pesat di berbagai penjuru dunia.
Data Global Impact Investing Network (GIIN) menunjukkan dana kelolaan investasi berdampak melesat menjadi 502 miliar dollar AS berdasarkan survei terakhir pada April 2019 yang lalu.
Sementara penerbitan green bond, yang dapat dikategorikan sebagai investasi berdampak, telah mencapai 805 miliar dollar As berdasarkan data terakhir dari Climate Bond Initiative (CBI) bulan Maret 2020 ini.
Di Indonesia sendiri, beberapa venture capital dan philantrophist investors, mulai memberi perhatian pada startup yang model bisnisnya berdampak lingkungan dan sosial.
Bahkan, investor yang khusus mendedikasikan pada investasi berdampak juga sudah mulai berkembang, walau dalam skala yang masih relatif kecil.
Demikian juga tentunya obligasi hijau, yang dirintis oleh pemerintah dengan mengeluarkan sukuk hijau untuk pertama kalinya pada tahun 2018.
Yayasan KEHATI juga aktif mendorong aktivitas investasi yang berdampak positif terhadap lingkungan dan sosial.
Investasi Berkelanjutan, Sebuah Norma Baru
Untuk keberlanjutan eksistensi dan kesejahteraan manusia, kita perlu dukungan alam yang berkelanjutan. Cara hidup kita saat ini, tidak menjamin keberlanjutan itu.
Dengan kata lain, daya dukung (carrying capacity) alam dan segenap Planet Bumi tidak cukup jika kita tidak merubah gaya hidup, produksi, dan konsumsi kita menjadi lebih ramah lingkungan dan sosial.
Dengan demikian, adalah sebuah keniscayaan investasi yang kita lakukan harus mendukung transformasi menuju pembangunan yang berkelanjutan yang menempatkan profit, people, dan planet sebagai sebuah tujuan bersama yang tidak terpisahkan satu sama lain.
Dunia keuangan, khususnya investasi, menjadi kekuatan utama untuk mencapai ambisi ini.
Prinsip-prinsip berkelanjutan segera akan menjadi nilai-nilai dan norma baru di dunia keuangan dan investasi. Indonesia jika tidak mempersiapkan diri dan ikut bergabung akan tertinggal dan terisolasi, yang tentunya akan berdampak bagi strategi kita dalam membangun negeri.
Editor:
Hilda B Alexander
Sumber foto: Shutterstock
Sumber berita:
Tinggalkan Balasan
Anda harus masuk untuk berkomentar.
Terkait
Syarat dan ketentuan