Hari Konservasi Alam Nasional dan Jalan Terjal Pengelolaannya

Aktivitas, Kehutanan
Hari Konservasi Alam Nasional dan Jalan Terjal Pengelolaannya
10 Agustus 2022
855

Sejak tahun 2009 setiap tanggal 10 Agustus diperingati sebagai Hari Konservasi Alam Nasional (HKAN). Perayaan tersebut ditetapkan melalui Keputusan Presiden Republik Indonesia kala itu, Susilo Bambang Yudhoyono, dengan tujuan untuk mengampanyekan pentingnya konservasi alam bagi kesejahteraan masyarakat, di samping untuk mengedukasi dan mengajak masyarakat berperan aktif dalam menyelamatkan ekosistem alam.

 

Tiga belas tahun sejak penetapan HKAN, bagaimana pengelolaan kawasan konservasi kita hari ini dan di masa yang akan datang?

 

Syahdan, jejak penetapan kawasan konservasi alam di Indonesia sudah ada sebelum negara ini ada. Tepatnya dimulai pada tahun 1937 di masa Pemerintahan Kolonial Hindia Belanda yang membentuk suatu badan bernama ”Natuur Bescherming afseling Ven’s Lands Flantatuin” yang mempunyai tugas pokok dan fungsi untuk mengawasi cagar alam dan suaka margasatwa, serta mengusahakan anggaran dan penambahan pegawai.

 

Sejarah panjang penetapan itu melahirkan berbagai dinamika pengelolaan kawasan konservasi di Indonesia. Namun satu hal yang patut dibanggakan hari ini adalah fakta bahwa kita merupakan negara mega biodiversitas di dunia. Itu berarti Indonesia adalah negara kepulauan yang dianugerahi kekayaan keanekaragaman hayati dengan tingkat endemisitas yang sangat tinggi.

 

Hal ini didukung dengan jumlah kawasan konservasi seluas 27.048.933,11 Ha: yang meliputi area teresterial dan perairan; berupa 212 unit Cagar Alam, 80 unit Suaka Margasatwa, 54 unit Taman Nasional, 133 unit Taman Wisata Alam, 36 unit Taman Hutan Raya, 11 unit Taman Buru, serta 34 unit Kawasan Suaka Alam-Kawasan Pelestarian Alam atau kawasan konservasi yang belum ditetapkan fungsinya secara definitif (Statistik Dirjen KSDAE, 2020).

 

Meski demikian, jumlah luasan serta unit kawasan konservasi yang besar itu seolah menjadi beban tersendiri bagi lembaga pengelolanya. Jalan terjal dalam pengelolaannya pun semakin kompleks dari waktu ke waktu. Permasalahan yang sering kali muncul kadang kala menjelma dalam berbagai konflik; sebut saja konflik antara negara dan warga negaranya di kawasan konservasi, konflik manusia dan satwa, hingga pemanasan global dan perubahan iklim yang ikut menambah permasalahan di kawasan konservasi kita.

 

Untuk konflik antara negara dan warga negara di kawasan konservasi, tidak hanya soal penetepan batas wilayah, namun pola itu biasanya berkaitan dengan alih fungsi kawasan untuk pembangunan. Konflik ini tidak hanya berdampak pada permasalahan sosial atau berlatar ekonomi, namun juga menyebabkan berbagai spesies endemik terancam punah, yang bisa saja menggusur status Indonesia sebagai negara mega biodiversitas. Contoh kasus yang paling mudah untuk merujuk pada masalah ini adalah alih fungsi kawasan di Taman Nasional Bogani Nani Wartabone.

 

Rintangan terbesar yang dihadapi dalam pengelolaan kawasan konservasi ini adalah para “invisible hand” yang alih-alih bersembunyi, namun kini tanpa malu-malu menampakkan wajah mereka dalam bentuk oligarki yang bertumpu pada tiga kaki kekuasan; pengusaha, partai politik, dan militerisme. Ini adalah persoalan sulit, rumit, dan pelik karena kuasa oligarki yang berjejaring secara sistematis dengan relasi kekuasaan politik pusat dan daerah yang memiliki daya rusak yang masif; dan tentu saja bersifat esktraktif cum destruktif.

 

Meski demikian, kita patut memberikan apresiasi dalam melihat upaya serius penyelesaian persoalan, yang kini telah ditunjukan oleh pemerintah melalui Direktorat Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem (KSDAE), dalam penyelesaian dan penanganan konflik tenurial di kawasan konservasi, dengan cara memanusiakan manusia; di mana penegakan hukum di kawasan konservasi merupakan sikap yang tegas dengan mengedepankan pendekatan yang humanis tanpa menggunakan kekerasan bagi masyarakat adat atau masyarakat lokal yang memanfaatkan atau berada di sekitar kawasan konservasi (KSDAE, 2021).

 

Pendekatan yang humanis ini juga sebelumnya sudah pernah ditulis oleh mantan Direktur Jenderal KSADE, Wiratno, yang menyebutnya sebagai 10 cara baru dalam mengelola kawasan konservasi di Indonesia, di antaranya memposisikan masyarakat sebagai subyek atau pelaku utama dalam berbagai model pengelolaan kawasan. Juga penghormatan pada HAM, di mana cara dalam mengelola kawasan konservasi ini harus mempertimbangkan prinsip-prinsip penghormatan terhadap hak asasi manusia. Kemudian membangun kerjasama lintas Eselon 1 di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, kerjasama lintas kementerian, serta penghormatan nilai budaya dan adat (Wiratno, 2018).

 

Di tengah permasalahan yang sedang dihadapi di kawasan konservasi, tentu saja tanggung jawabnya tidak hanya bisa diserahkan kepada satu pihak atau lembaga, namun harus melibatkan banyak pihak atau multi pemangku kepentingan. Sebagaimana yang menjadi tujuan awal dari penetapan Hari Konservasi Alam Nasional, yaitu mengampanyekan pentingnya konservasi alam bagi kesejahteraan masyarakat, dan juga mengedukasi dan mengajak masyarakat berperan aktif dalam menyelamatkan ekosistem alam; maka diperlukan sebuah gerakan kolaborasi untuk menyelamatkan kawasan konservasi kita; menyelamatkan bumi dari ancaman kepunahan spesies, sekaligus dari ancaman kerusakan.

 

Selamat Hari Konservasi Alam Nasional!***

Tentang Penulis
Christopel Paino
Perkumpulan Jaring Advokasi Pengelolaan Sumber Daya Alam (Japesda) Gorontalo

jurnalis lingkungan Mongabay Indonesia

Syarat dan ketentuan

  1. Memuat hanya topik terkait keanekaragaman hayati dan lingkungan hidup
  2. Panjang tulisan 5.000-6.000 karakter
  3. Tidak plagiat
  4. Tulisan belum pernah dimuat di media dan situs lain
  5. Mencantumkan nama, jabatan, dan organisasi
  6. Melampirkan foto diri dan biografi singkat
  7. Melampirkan foto pendukung (jika ada)
  8. Mengirimkan tulisan ke [email protected]
  9. Jika akan dimuat dimuat, pihak admin akan menghubungi penulis untuk menginformasikan tanggal pemuatan

Tinggalkan Balasan

Tinggalkan Balasan