Dunia memiliki lima jenis badak, dua jenis di Afrika (Diceros bicornis dan Ceratotherium simum) dan tiga jenis di Asia (Rhinoceros unicornis, Rhinoceros sondaicus dan Dicerorhinus sumatrensis). Di Indonesia ada dua jenis, yaitu: badak sunda (Rhinoceros sondaicus Desmarest, 1822) dan badak Sumatra (Dicerorhinus sumatrensis Fischer, 1814).
Kedua jenis badak di Indonesia bukan satwa endemik, tetapi merupakan satwa relich. Penyebarannya dahulu sangat luas, namun kini populasinya terus menurun, juga distribusinya terbatas. Ini terjadi disebabkan alih fungsi hutan sebagai habitat badak; menjadi perkebunan, pemukiman, dan pengusahaan ruang untuk berbagai macam keperluan. Perburuan terhadap badak menapaki jenjang sejarah panjang, menyebabkan tempat sebarannya di beberapa tempat hilang. Bahkan habitat badak yang sudah ditetapkan sebagai kawasan konservasi pun, populasi dalam 45 tahun terakhir terus menurun.
Kedua jenis badak di Indonesia dikatagorikan IUCN (International Union of Conservation Nature and Natural Resources), sebagai satwa kritis atau genting (Critical Endangered Species), jenis yang satu langkah lagi menuju kepunahan. Berbagai daya dan upaya sudah dilakukan untuk menyelamatkannya. Tampaknya upaya tersebut belum maksimal, sebab belum semua potensi atau kemampuan multi pihak mendukung untuk melakukan penyelamatan badak dari kepunahan. Belum muncul gerakan generasi millenial untuk menyelamatkan kedua jenis badak tersebut dari kepunahan. Ini merupakan suatu tantangan bagi Biodiversity Warrior yang anggotanya kaum millennial, diharapkan dapat melakukan gerakan revolusi (perubahan cepat) global, agar kedua jenis badak di Indonesia terhindar dari kepunahan. Gerakan tersebut harus bergaung dan mengguncangkan dunia, dan menggetarkan seluruh permukaan bumi.
Strategi Penyelamatan badak Di Indonesia
Program prioritas dalam dokumen Strategi Konservasi Badak di Indonesia, telah mendorong tindakan nyata untuk penyelamatan badak sunda dan badak Sumatra dari ancaman kepunahan. Tindakan penyelamatan diwujudkan dalam pelaksanaan program yang dilakukan oleh Pemerintah Indonesia; bekerja sama dengan berbagai lembaga, seperti Yayasan Badak Indonesia (YABI), International Rhino Foundation (IRF), World Wide Fund for nature and natural resources (WWF), Wildlife Conservation Society (WCS), Tropical Forest Conservation Action for Sumatera (TFCA-Sumatera, Yayasan KEHATI), dan banyak lagi lembaga lain.
Beberapa tindakan penyelamatannya adalah sebagai berikut:
- Rhino Protection Unit (RPU) dibentuk sejak awal 1996 masih berjalan hingga saat ini di TNUK (4 unit RPU), TNWK (5 unit RPU), dan TNBBS (7 unit RPU).
- Sumatran Rhino Sanctuary (SRS) yang telah dilakukan di TNWK, sejak 1998 telah melahirkan dua individu anak badak dari perkawinan badak jantan (Andalas) dan badak betina (Ratu) pada 23 Juni 2012 dan 12 Mei 2016. Anak badak tersebut diberi nama “Andatu” dan “Delilah”.
- Javan Rhino Study and Conservation Area (JRSCA) di TNUK dilaksanakan sejak 2010 untuk memperluas habitat badak sunda ke bagian Gunung Honje di sebelah timur semenanjung Ujung Kulon yang merupakan habitat utama badak sunda. Saat ini sudah ada 5 individu badak sunda yang memasuki kawasan JRSCA setelah dilakukan pembinaan dan pengelolaan habitat di kawasan tersebut.
- Studi genetik populasi di alam melalui analisa kotoran badak sudah dilakukan bekerja sama antara PHKA, YABI, WWF dan WCS di Ujung Kulon, Way Kambas dan Bukit Barisan Selatan. Program ini dilakukan atas bantuan Lembaga Eijkmen yang mempunyai perlengkapan, bahan dan tenaga ahli untuk melakukan analisis. Program ini memerlukan waktu untuk dapat menyimpulkan struktur populasi kedua jenis badak di masing-masing lokasi tersebut.
- TFCA-Sumatera, ada tiga komponen kegiatan yang akan dilakukan melalui hibah Tropical Forest Conservation Action for Sumatera (TFCA-Sumatera) di bentang alam Taman Nasional Way Kambas dan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan. Komponen kegiatan ini dilakukan dengan membentuk Konsorsium YABI-WCS-YAPEKA (Yayasan Pendidikan Konservasi Alam) yaitu: Komponen I (Perlindungan populasi dan habitat badak Sumatra yang dilakukan oleh YABI); Komponen II (Mitigasi Konflik antara manusia dengan gajah di Way Kambas dan dengan harimau di Bukit Barisan Selatan yang dilakukan oleh WCS); Komponen III ( Peningkatan ekonomi kreatif dan pemberdayaan masyarakat yang dilakukan oleh YAPEKA). Ketiga komponen kegiatan ini telah dilaksanakan secara efektif sejak Mei 2013 s/d April 2016.
- Beberapa kegiatan lain yang dilakukan dalam jangka pendek telah dilaksanakan dengan berbagai dukungan dari donor dari luar, maupun dalam negeri.
- Kegiatan untuk penggalangan dana, terutama dukungan dari donor skala nasional belum dilakukan secara optimal. Diharapkan ke depan generasi millennial dapat melakukan gerakan penggalangan dana, dan gerakan penyelamatan kedua jenis badak di lapangan maupun di laboratorium semi in-situ.
Penyelamatan Badak Sunda
Sejak 1974, ketika ditenggarai tidak ada lagi perburuan. Hingga saat ini, 5 Rhino Protection Unit masih beroperasi sejak 1999. Sementara, rencana second habitat atau “rumah kedua” badak sunda sudah direncanakan sejak 1993 ketika dokumen Strategi dan Rencana Aksi Konservasi (SRAK) Badak Indonesia 1993-2003 ditandatangani Menteri Kehutanan; kini Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Lalu, dilanjutkan SRAK Badak Indonesia 2007-2017. Dalam bahasan draf SRAK Badak Sunda [2019-2029] terbaru, 25 Januari 2019 bahkan, muncul usulan perluasan habitat di Ujung Kulon. Aksi darurat tahap pertama untuk tiga tahun, 2019-2022, merupakan bagian utama dokumen penyusunan SRAK tersebut.
Habitat badak sunda saat ini hanya di Semenanjung Ujung Kulon yang dibatasi Tanah Genting, sekitar dua kilometer jaraknya dari pantai selatan Karangranjang ke pantai utara Laban. Semenanjung Ujung Kulon ada di barat Tanah Genting, ke timurnya terbentang dataran rendah yang menghubungkan ke perbukitan Gunung Honje. Sebagian kawasan Gunung Honje, saat ini menjadi kawasan Javan (Sunda Land) Rhino Studi and Conservation Area [JRSCA]. Koridornya Semenanjung Ujung Kulon; Cibandawoh-Karangranjang ke Gunung Honje; dan Kalejetan-Aermokla. Baru ada lima badak yang daerah jelajahnya sampai di kawasan tersebut.
Perluasan habitat di kawasan Gunung Honje, perlu dikondisikan dari JRSCA di Cihujan-Cilintang bagian barat ke Cimahi-Cibiuk bagian timur Gunung Honje. Jika luas JRSCA sekitar 5.000 hektar, ditambah perluasan habitat sekitar 5.000 hektar; akan ada kantong populasi ke dua di habitat alaminya seluas 10.000 hektar. Perluasan habitat ini tidak dapat disebut second habitat. Rumah kedua badak sunda harus ditentukan di luar Ujung Kulon. Penentuan lokasi rumah ke dua badak sunda, perlu ditentukan segera. Saat ini, hanya 60 persen dari luasan Semenanjung Ujung Kulon yang digunakan sebagai wilayah sebaran badak. Sisanya, perbukitan Gunung Payung di bagian barat dan Gunung Kendeng bagian tengah, tidak digunakan sebagai daerah jelajah. Namun, tidak mudah mendapatkan rumah ke dua bagi badak sunda, seperti habitat aslinya di Ujung Kulon.
Kriteria rumah kedua badak sunda:
- Habitat nyaman, sesuai perilaku hidup.
- Akses mudah untuk pengelolaan jangka panjang.
- Bebas perburuan dan kerusakan habitat.
- Jauh dari lokasi bencana seperti tsunami (tidak di tepi pantai), gempa (tidak dekat sesar patahan), erupsi gunung berapi (tidak dekat gunung api aktif), dan longsor (tidak ditempatkan di perbukitan).
- Keragaman vegetasi, khususnya jenis-jenis pakan tinggi.
Selain perencanaan teknis, pendananan yang cukup sangat diperlukan untuk penyelamatan badak sunda. Pastinya dengan komitmen kuat semua pihak. Tanpa aksi nyata, sama saja membiarkan badak sunda menuju kepunahan, meski berbagai strategi dipersiapkan.
Penyelamatan Badak Sumatra
Badak Sumatra yang kritis hanya hidup di tiga bentang alam Sumatra dan satu wilayah di luar kawasan konservasi di Kalimantan Timur. Penurunan jumlah badak Sumatra tidak lagi disebabkan perburuan dan penyempitan habitat. Tetapi juga, populasi kecil yang hidup terpencar. Permasalahan penting yang harus diselesaikan saat ini juga adalah jumlah populasi badak sumatra sesungguhnya, yang belum diketahui pasti, meski diyakini tidak lebih dari 100 individu di seluruh tempat sebarannya.
Tindakan darurat penyelamatan badak Sumatra harus segera dilaksanakan mengacu pada dokumen Rencana Aksi Darurat (RAD) Konservasi Badak Sumatra yang sudah ditetapkan oleh Direktorat Jenderal KSDAE, KLHK, Nomor: SK. 421/KSDAE/SET/KSA.2/12/2018.
Saat penyusunan Strategi dan Rencana Aksi (SRAK) Badak Indonesia 1993-2003, badak di Sumatra diperkirakan berjumlah 400-800 individu, pada 1990. Kala itu, peneliti meyakini satwa bercula dua ini masih hidup di Gunung Leuser, Kerinci Seblat, Bukit Barisan Selatan, dan Way Kambas.
Populasi badak Sumatra terus menurun. Populasinya saat ini diyakini tidak lebih dari 100 individu. Penurunan populasi ini tidak saja disebabkan perburuan dan penyempitan habitat. Namun, juga disebabkan populasi kecil yang hidup terpencar.
Di Taman Nasional Kerinci Seblat bagian utara, kawasan Bengkulu selatan, pada tahun 1995 diperkirakan ada 10 individu badak. Namun badak Sumatra di wilayah tersebut kini diyakini sudah habis, sejak 2011.
Sadjudin, 2017 dalam buku “Detak Konservasi Sumatra” menuliskan bahwa pada 1955 Boeadi, seorang peneliti LIPI, saat itu berhasil menangkap 12 individu badak di Giam Siak Bukit Batu, Riau dalam kurun waktu 1,5 tahun. Sebanyak 9 individu dilepaskan kembali, satu badak mati di hutan, 2 individu dibawa ke Kebun Raya Bogor. Namun tidak sampai tiga bulan dipelihara, keduanya mati. Kerangkanya disimpan di Museum Zoologi Bogor.
Di TNBBS, sejak 2012 WWF-Indonesia telah memasang kamera jebak. Pada 2015, hasilnya hanya ditemukan 2 individu badak yang tertangkap kamera. Sedangkan temuan RPU TNBBS dari berbagai ukuran jejak dan lokasi yang berbeda dan berjauhan, masih diperkirakan populasinya sekitar 17-24 individu (pertemuan para pakar di Gisting, 2016). Para pakar nasional dan internasional sepakat, untuk segera mentranslokasikan badak yang ada di TNBBS ke TNWK.
Berdasarkan lokakarya Population Viability Analisis [2015], badak Sumatra yang ada di TNWK diperkirakan 31-36 individu. Ditambah satu anakan yang lahir di alam pada Agustus 2016 (RPU-Way Kambas, 2016). Oleh karena itu, Sadjudin (2017) dalam “Detak Konservasi Sumatra” memprediksi, TNWK akan manjadi benteng terakhir badak Sumatra di dunia. Way Kambas menjadi tumpuan terakhir badak Sumatra karena perlindungan yang efektif dan maksimal, serta adanya Sumatran Rhino Sanctuary yang sudah melahirkan dua anak badak.
Semua taksiran populasi ini, merupakan perkiraan. Tidak seperti badak sunda di Ujung Kulon, yang dugaan populasinya melalui kamera jebak telah mendekati sempurna. Badak sunda menempati habitat hutan dataran rendah yang sempit di semenanjung Ujung Kulon, lebih mudah dibedakan dari satu individu dengan individu lainnya. Ini juga setelah sepuluh tahun pemasangan kamera jebak. Sekarang, kita tidak perlu lagi berkutat pada hitung-hitungan badak Sumatra di Sumatra maupun di Kalimantan. Namun, yang terpenting adalah tindakan darurat harus segera dilakukan. Perlindungan efektif badak Sumatra di TNWK, tidak hanya untuk menyelamatkan populasi di alam, tetapi juga terhadap badak di SRS (Sumatran Rhino Sanctuary).
Penyelamatan populasi badak Sumatra merupakan masalah serius. Oleh karena itu, disusun dokumen Rencana Aksi Darurat [RAD] yang ditetapkan oleh Direktorat Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem [Ditjen KSDAE], Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Titik berat yang harus difokuskan adalah:
- Melakukan konsolidasi (menyatukan) populasi badak Sumatra yang berada di Kawasan Ekosistem Leuser dan TNGL ke habitat yang luasnya lebih dari 100.000 hektar.
- Melacak keberadaan badak di TNBBS, mengindentifikasi, menangkapnya dan mentranslokasikan ke SRS, TNWK. Hal lain, jika satu dua tahun ke depan di TNBBS telah dibangun SRS seperti di TNWK, maka badak yang sudah siap dilepasliarkan di SRS, Way Kambas, akan lebih baik dikirim ke SRS di Bukit Barisan Selatan. Sebab, di TNBBS harus dipersiapkan juga sebagai lokasi habitat ke dua badak Sumatra yang ada di Lampung.
- Lahirnya dua anak badak di SRS, Way Kambas, dengan total 7 individu badak, diperlukan pengkayaan keragaman genetik dan perluasan SRS 120 hektar. Untuk itu, perlindungan efektif baik bagi badak yang ada di alam maupun di SRS harus ditingkatkan.
- Badak Sumatra yang ada di Kalimantam Timur harus dilacak dan ditangkap untuk diselamatkan ke SRS di Hutan Lindung Kelian Lestari. Saat ini sudah ada satu badak jantan, Pahu yang diselamatkan dari hutan kawasan HPH di Kutai Barat.
- Potensi dana yang ada, baik dari Program TFCA-Sumatera, maupun donor lainnya; perlu difokuskan bagi penyelamatan badak melalui Rencana Aksi Darurat Konservasi Badak Sumatra di Sumatra dan Kalimantan.
Dapatkah Generasi Millenial Bertindak Menyelamatkannya
Populasi maupun sebaran wilayah tempat hidup badak sunda dan badak Sumatra, saat ini sangat kecil dan terbatas. Kedua jenis badak ini masih terancam oleh perburuan liar dan kehilangan habitat sebagai tempat hidupnya di alam. Populasi yang sangat kecil ini akan sangat peka terhadap bencana alam, kelemahan genetik dan demografik. Maka diperlukan suatu gerakan dari anak-nak muda, generasi millenial untuk menyelamatkannya; dengan memadukan semangat militansi di lapangan, dan teknologi rekayasa genetik yang sudah mulai diterapkan negara maju di dunia, seperti di Jerman untuk badak Afrika.
Oleh karena itu; diperlukan gerakan generasi millenial yang dapat melakukan aksi nyata secara cepat, baik untuk penggalangan dana maupun untuk aksi nyata di lapangan. World Rhino Day, Hari Badak Sedunia setiap 22 September, pada tahun 2021 ini harus dijadikan pemicu gerakan revolusi (perubahan cepat) dari untuk menyelamatkan kedua jenis badak di Indonesia yang semakin terancam kepunahan, perlu dilakukan oleh generasi millenial.
Gerakan Revolusi Penyelamatan Badak Di Indonesia ini perlu dilakukan oleh generasi millenial pada umumnya, khususnya oleh Biodiversity Warriors (BW) yang sudah menjadi program unggulan Yayasan Keanekaragaman Hayati Indonesia (KEHATI), beranggotakan anak-anak muda yang militant untuk mengampanyekan penyelamatkan keaneragaman hayati dari ancaman kepunahan; melalui media sosial. Digaungkan hingga ke seluruh kawasan nusantara, dan bahkan dapat mengguncangkan generasi millennial seluruh dunia.
Daftar Pustaka
Sadjudin, H. R. 2021. Strategi Penyelamatan Badak; dalam Metode Dan Kajian Konservasi Biodiversitas Indonesia; Halaman 655-660 (Edt. Jatna Supriatna). Yayasan Pustaka Obor Indonesia. Jakarta.
Sadjudin, H.R. 2019. Tindakan Darurat Penyelamatan Badak Sumatera Harus Dilakukan. www.mongabay.co.id.
Sadjudin, H.R. 2019. Kepunahan Badak Sumatera, Mata Dunia Kini Tertuju Ke Indonesia. www.mongabay.co.id.
Sadjudin. H. R. 2019. Mewaspadai Kematian Badak Jawa Di Ujungkulon. www.mongabay.co.id.
Sadjudin, H. R. 2019. Habitat Badak Jawa, Adakah Yang Seideal Ujung Kulon ? www.mongabay.co.id.
Sadjudin, H. R. 2018. Yayasan Badak Indonesia (YABI); dalam Langgam Salindia Kisah Lapangan Pelaku Konservasi Sumatera, Halaman 11-21 (Edt. Safrizaldi Jpang). Pundi Sumatera (Fasilitator Tengah dan Selatan TFCA-Sumatera).
Sadjudin, H.R. 2018. Terancam Punah, Haruskah Badak Jawa Bertahan Di Ujung Kulon ? Konservasi Badak Sumatera Berbasis Masyarakat Di Taman Nasional Way Kambas, www.mongabay.co.id.
Sadjudin, H.R. 2018. Jangan Pernah Menyerah, Menyelamatkan Badak Sumatera Di Kalimantan Timur. www.mongabay.co.id.
Sadjudin, H.R. 2017. Way Kambas, Benteng Terakhir Badak Sumatra; dalam Detak Konservasi Sumatra, hal 158-170 (ed.Syaffrizaldi Jpang). PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Sadjudin, H.R. 2015. Lestarikan ! Dua Jenis Badak Ini Sudah Diambang Kepunahan.
Sadjudin, H. R. 1999. Program Konservasi Badak Sumatera (Dicerorhinus sumatrensis Fischer, 1814) di Taman Nasional Way Kambas, Lampung Tengah, Halaman 44-53; dalam Prosiding Seminar dan Lokakarya Konservasi Badak Sumatera Berbasis Msyarakat Di Taman Nasional Way Kambas. Bandar Lampung 13-14 Nopember 1999.
Tinggalkan Balasan
Anda harus masuk untuk berkomentar.
Terkait
Syarat dan ketentuan