Gajah Sumatera, Harga Diri & Marwah Bangsa Indonesia

Aktivitas, Kehutanan, Satwa
Gajah Sumatera, Harga Diri & Marwah Bangsa Indonesia
12 August 2025
3
0

Tepat hari ini di setiap tanggal 12 Agustus di berbagai negara di dunia, Hari Gajah Sedunia atau di internasional disebut Global Elephant Day (GED) hadir untuk memberikan wacana akan pelestarian dan perlindungan gajah dunia. Hari yang menandai dimulainya gerakan global untuk bekerja membantu gajah. GED menjadi agenda yang selalu dirayakan oleh organisasi satwa liar di berbagai negara, termasuk di Indonesia.  Jutaan peserta telah menunjukkan cinta dan kepedulian mereka terhadap gajah melalui GED, membuktikan bahwa semua orang di seluruh dunia ingin membantu melindungi makhluk-makhluk luar biasa ini. Hari ini berfungsi sebagai titik kumpul "netral" bagi semua pihak - pemerintah, pengusaha, masyarakat sipil, akademisi dan warga negara—untuk bersatu mendukung konservasi gajah lintas batas.

Bagi sebagian kita, GED mungkin bisa jadi terdengar asing.  Memang perlukah kita bantu hingga orang sedunia harus peduli dan saling bahu membahu?  Jawaban termudahnya dapat kita lihat dari banyaknya tekanan dan ancaman terhadap gajah yang tidak akan pernah hilang dan malah semakin besar. Tekanan dari hilangnya habitat, kematian akibat konflik, penyakit dan perburuan selalu menghiasi dinamika populasi gajah di Afrika dan Asia.

Jika melihat fakta yang ada di Indonesia, saat ini kita memiliki dua anak jenis dari Gajah Asia, yaitu gajah sumatra dan gajah kalimantan.  Keduanya memiliki status konservasi yang perlu perhatian serius dalam upaya perlindungannya.  gajah sumatra (Elephas maximus sumatranus)telah dinyatakan kritis (critically endangered) sejak Oktober 2011.  Jika kita tilik salah satu butir yang memberatkan adalah bahwa sekitar 69,11% hutan sebagai habitat potensial bagi gajah sumatra hilang dalam kurun waktu satu generasi gajah (50-75 tahun).

 

Provinsi Lampung dan Riau dapat kita jadikan contoh akan proses hilangnya habitat.  Lampung,  kembali di era 80-an memiliki 12 kantong yang signifikan tersebar merata di penjuru provinsi.  Bahkan ada satu kantong yang dekat dengan lokasi penyeberangan feri di Bakauheni, tepatnya di wilayah Gunung Rajabasa dan Rawa Sragi.  Namun, tahun 2000, 12 kantong tersebut sudah hilang dan hanya menyisakan dua kantong utama di wilayah kawasan perlindungan alam di Taman Nasional Way Kambas dan Bukit Barisan Selatan.  Pengulangan pola ini juga terjadi di Riau.  Beberapa kantong utama yang cukup besar di Tesso Nilo, Balai Raja – Giam Siak, semakin mengecil dan akhirnya bertahan di kantong-kantong yang terisolasi. Melihat kondisi ini, kita tidak boleh menganggap petak habitat yang lebih kecil sebagai habitat gajah yang ideal.   Penyusutan luasan ini malah masuk ke dalam skema hilangnya habitat; petak tersebut tidak lagi cocok untuk gajah. Akhirnya, gajah akan punah dari area tersebut karena Konflik Gajah Manusia (KGM)  dan pembunuhan atau penangkapan balasan akibat konflik akan terus terjadi.

 

Namun, di tengah fragmentasi habitat yang terjadi, kita bisa melihat banyak harapan akan upaya konservasi gajah.  Sejak awal tahun 2025, perhatian pemerintah sangat terasa saat ini. Dimulai pasca lawatan Presiden Prabowo Subianto ke Raja Inggris hingga  berkomitmen untuk mendukung upaya konservasi gajah dengan memberikan sebagian konsesi yang dikelola untuk kepentingan konservasi gajah.   Gaung ini pun diamini dan terus dikuatkan oleh jajaran-jajaran pembantu beliau.  Kita dapat melihat dari siaran pers Kementerian Kehutanan RI pada Kamis, 7 Juli 2025 lalu yang menegaskan akan komitmennya dalam mendukung arahan Presiden Prabowo Subianto untuk menyelamatkan dan melestarikan populasi Gajah Sumatra melalui penguatan pengelolaan koridor gajah di 22 lanskap kunci di Pulau Sumatra.

Komitmen ini sekaligus memberi angin segar akan kelanjutan dari beberapa inisiasi koridor hidupan liar di beberapa provinsi di Pulau Sumatra. Jika kita urut mulai dari paling utara, maka Aceh melalui Keputusan Gubernur Aceh Nomor 522/1246/2023 telah menetapkan Peta Indikatif Koridor Hidupan Liar sebagai Kawasan Ekosistem Esensial Provinsi Aceh di 9 lokasi.  Berikutnya adalah komitmen Pemprov Jambi terhadap perlindungan kehidupan satwa liar di Provinsi Jambi diwujudkan dalam SK Gubernur Jambi nomor: 177/ KEP.GUB/DISHUT-3.3/2020 yang menetapkan terbentuknya Forum Kolaborasi Pengelola Kawasan Ekosistem Esensial Koridor Hidupan Liar di Bentang Alam Bukit Tigapuluh Kabupaten Tebo. Tak kalah dengan Jambi, Provinsi Bengkulu juga telah cukup lama mendukung inisiatif koridor hidupan liar gajah melalui Keputusan Gubernur Nomor S.497.DLHK.2017 tentang Pembentukan Forum Kolaboratif Pembangunan Kawasan Ekosistem Esensial Koridor [KEE] Gajah Sumatra di Bentang Alam Seblat, pada 22 Desember 2017.

Ke-22 kantong gajah ini jika kita lihat lebih dalam, maka akan ada dua jenis koridor yang dilakukan.  Pertama adalah koridor yang dibentuk di dalam kantong gajah dan yang kedua koridor yang menghubungkan antar kantong gajah.  Inisiatif beberapa koridor hidupan liar di Aceh, Jambi dan Bengkulu merupakan inisiatif koridor di dalam kantong gajah.  Tingginya fragmentasi habitat diharapkan dapat ditekan melalui inisiatif ini.  Koridor sebagai benteng pertahanan terakhir pergerakan dan habitat gajah akan membantu para pihak menyadari bahwa ada aliran besar pergerakan gajah.  Bagi penulis, koridor ini ibarat bagian dari ember besar yang merupakan kantong gajah itu sendiri.  Bentuk ember di tiap lanskap tentunya berbeda. Jika ada bocor, yang bisa kita analogikan sebagai konflik satwa, maka menambal kebocoran menjadi fokus upaya kita bersama.

Forum Konservasi Gajah Indonesia diharapkan hadir dan membantu upaya bersama ini.  FKGI senantiasa mendorong terbentuknya kebijakan dan strategi konservasi gajah di Indonesia yang selaras dengan pembangunan yang berkelanjutan dan membantu pemegang kebijakan di tingkat daerah dan nasional untuk menyelaraskan rencana pembangunan yang berkelanjutan dengan konservasi gajah di Indonesia melalui penataan ruang. Jika menilik istilah ember di atas, maka kesesuaian bentuk, ukuran dan kekuatan ke-22 ember menjadi bagian perencanaan nasional yang tidak terpisahkan.  Pendekatan ilmiah dengan selalu melihat data sebagai acuan utama dalam perencanaan, menjadi dasar adanya Peta Jalan Penanggulangan Konflik Gajah Manusia.

Kita berharap, perayaan GED di tiap tahun juga dapat menjadi refleksi kita semua akan semua upaya yang telah kita lakukan.  Penguatan di sisi sumber daya manusia sebagai motor penggerak konservasi sangat diperlukan.  Mari kita mulai buang 4L- Lu Lagi Lu Lagi- yang mencerminkan bahwa kerja ini hanya dilakukan segelintir orang yang itu-itu saja.  Dengan tersebarnya kantong gajah di 22 kantong yang terpisah, maka menghadirkan agenda perlindungan di tiap lanskap menjadi kebutuhan yang serius.

Jika kita melihat tema 80 tahun Indonesia merdeka, berangkat dari semangat “Dimiliki Bersama, Dirayakan Bersama”, yang mengangkat kebanggaan kolektif sebagai energi penggerak bagi bangsa.  Maka untuk gajah Indonesia, rasa bangga akan gajah menjadi cerminan bangsa yang berdaulat.  Menteri Kehutanan, Raja Juli Antoni menganalogikan gajah sumatra sebagai harga diri kita, harga diri bangsa.  Oleh karena itu, Menhut mengajak kolaborasi semua pihak menjaga aset kekayaan bangsa tersebut, sesuai dengan amanat Pasal 33 UUD 1945. Dan sudah selayaknya kita sebagai bangsa menyatakan bahwa gajah sebagai Harga Diri & Marwah Bangsa Indonesia,  Merdeka!!!

#gajah, #konservasi, Keanekaragaman hayati, biodiversitas, biodiversity, satwa
Tentang Penulis
Donny Gunaryadi
Ketua Forum Kosnervasi Gajah Indonesia

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *