Urut Sewu, Jejak Lanskap Pesisir Purba yang Kian Terlupakan

Kelautan, Perubahan Iklim, Urban Biodiversity
Urut Sewu, Jejak Lanskap Pesisir Purba yang Kian Terlupakan
9 December 2025
9
0

Urut Sewu, mendengar nama itu mungkin kebanyakan orang teringat pada konflik agraria, garis pantai yang diperebutkan, atau kisah-kisah perlawanan masyarakat pesisir. Namun jauh sebelum kata ini dipenuhi makna sosial-politik yang kompleks, Urut Sewu tampaknya memiliki sejarah yang lebih tua dan lebih panjang—secara harfiah maupun geografis.

Artikel ini tidak bertujuan menawarkan kesimpulan mutlak, tetapi menghadirkan jejak-jejak sejarah dan geologi yang menunjukkan satu pola menarik: bahwa Urut Sewu mungkin muncul terlebih dahulu sebagai nama sebuah lanskap pesisir, sebelum menjadi nama desa-desa di atasnya.

(Foto: www.iqbalkautsar.com)

Jejak Urut Sewu dalam Catatan Sejarah

Dalam arsip Mataram abad ke-17 yang dialihaksarakan oleh S. Margana (2010), wilayah di barat Sungai Bagawanta disebut Siti Sewu. Dalam bahasa Jawa: siti berarti tanah, dan sewu berarti banyak, luas, atau berjajar panjang. Istilah ini kemudian melekat di ingatan masyarakat Kebumen, dan dalam perkembangan lisan berubah ejaannya menjadi Urut Sewu.

(Foto: Koleksi Teguh Hindarto)

Dalam sebuah artikel berjudul, De Toestand Van Bagelen 1830 yang dimuat Tijdschrift Voor Nederlandsch Indie (20st Jaargang II, 1858:68-69) terdapat catatan yang berbunyi:

Setelah memberikan pandangan umum tentang Bagelen, kita beralih ke Oeroet Sewoe. Ini adalah jalur tanah yang panjang, lebarnya tiga atau empat dan panjangnya sekitar 40 pal, membentang dari sungai Tjinjing Goeling di Karang Bolong hingga batas ujung Mataram...Lanskap ini adalah tanggul yang dikelilingi bukit pasir (met duinen afgezette dijk), yang menentang kemarahan air laut dan mencegahnya merebut kembali daratan Bagelen yang lebih rendah.

Jauh dari menyerah pada kekuatan ombak Laut Selatan yang tidak terhalang, tanggul ini, sebaliknya, terus tumbuh, karena pasir yang tampaknya digali oleh gelombang berbusa dari kedalaman jurang dan dilemparkan ke sini. Dari ujung ke ujung, lanskap Oeroet Sewoe ini dihuni dan ditanami, sehingga satu desa panjang, yang dihiasi dengan pohon kelapa dan pohon buah-buahan lainnya, membentuk keseluruhan bagian tengah, dan tanah tegalan yang indah dan di sana-sini sawah mengelilingi desa di kedua sisinya. 

Dari catatan ini, peneliti kolonial lebih fokus mencatat bagaimana kondisi bentang alam di wilayah yang dinamakan Urut Sewu. Namun dari catatan ini pula, kita bisa melihat pola toponimi yang menarik. Kondisi wilayah yang luas memanjang dengan dikelilingi bukit pasir mungkin menjadi asal-usul penamaan Siti Sewu/ Urut Sewu. Hal ini makin memperkuat dugaan bahwa Urut Sewu bukan sekadar nama administratif, melainkan nama bagi satu bentang pesisir dengan ciri geologi unik.

Dukungan Geologi Modern: Jejak Teras Laut Holosen

(Foto: www.brin.go.id)

Penelitian dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) dan berbagai kajian geologi pesisir selatan Jawa menunjukkan bahwa wilayah Kebumen–Purworejo–Kulon Progo memiliki sisa-sisa punggungan pasir purba, terbentuk pada masa Teras Laut Holosen Maksimum (sekitar 6.000–7.000 tahun lalu) ketika muka laut berada lebih tinggi dari sekarang.

Jejaknya tampak dari garis punggungan pasir memanjang yang masih membentuk kontur naik-turun halus di banyak desa. Selain itu di pesisir selatan juga sering dijumpai cekungan-cekungan rawa yang mungkin sekarang mulai menjadi lahan pertanian. Sisa gumuk pasir rendah juga masih bertahan, diperkuat oleh keberadaan vegetasi khas seperti rumput spinifex, katang-katang, dan pandan laut yang tumbuh jauh ke daratan sebagai penanda lokasi pantai kuno.

Benteng Alami Penahan Tsunami

Bentuk punggungan pasir seperti di lanskap Urut Sewu dalam banyak studi internasional diketahui berperan sebagai “benteng alami” yang dapat meredam energi gelombang besar—termasuk tsunami—sebelum mencapai permukiman. Hal ini juga sejalan dengan catatan Belanda dalam De Toestand Van Bagelen 1830 yang berbunyi:

Lanskap ini adalah tanggul yang dikelilingi bukit pasir (met duinen afgezette dijk), yang menentang kemarahan air laut dan mencegahnya merebut kembali daratan Bagelen yang lebih rendah. Jauh dari menyerah pada kekuatan ombak Laut Selatan yang tidak terhalang, tanggul ini, sebaliknya, terus tumbuh, karena pasir yang tampaknya digali oleh gelombang berbusa dari kedalaman jurang dan dilemparkan ke sini.

Walaupun sudah disadari dan tercatat dalam catatan Belanda sejak dahulu, lanskap Urut Sewu kini makin terancam. Struktur alami yang memiliki nilai ekologis dan mitigasi bencana ini kini makin menghilang akibat penambangan pasir, perubahan tata ruang, serta hilangnya vegetasi pantai. Padahal, jika harus membangun tembok laut buatan seperti yang dilakukan Jepang biayanya bisa mencapai sedikitnya 14 triliun rupiah.

Menjaga Jejak, Merawat Ingatan

Urut Sewu bukan hanya sebuah tanah kosong yang tandus. Ia adalah seribu cerita ekologis yang sebagian besar belum sempat dituliskan. Hari ini, ketika dinamika kawasan semakin kompleks, upaya membaca kembali sejarah pesisir dan merekam biodiversitasnya menjadi bentuk kecil perlawanan: agar lanskap ini tidak lenyap hanya sebagai catatan konflik, tetapi dikenang sebagai ekomosaik purba yang pernah dan (semoga) terus memberi kehidupan.

Referensi:

https://www.brin.go.id/news/125820/benteng-alami-penahan-tsunami-di-selatan-jawa-kian-terkikis-penambangan-pasir

https://historyandlegacy-kebumen.blogspot.com/2022/07/gumuk-pasir-di-kawasan-urut-sewu-masa_7.html

#konservasi, Ekologi lanskap, pesisir
Tentang Penulis
Haqqul Fata
Individu

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

2025-12-09
Difference:

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *