Berangkat dari pengalaman baru ini, saya selaku penulis selain berkecimpung didunia pertanian dalam fokus pemuliaan, akademisi, dan bertani langsung; saya juga terjun dalam pengelolaan atau pemeliharaan hewan ternak baik itu unggas atau bahkan ruminansia. Setelah saya beberapa minggu yang lalu sempat membahas kontroversi pertanian organik dan konvensional, saatnya saya untuk membahas peternakan organik. Memang peternakan organik masih tidak umum atau bahkan jarang sekali didengar dan bahas dalam media sosial. Peternakan organik merupakan peternakan dengan menekankan konsep kesejahteraan hewan dan juga menekan emisi dalam proses beternaknya.
Peternakan organik baru saya pahami lebih mendalam saat dosen saya memberikan penugasan terkait dengan keuntungan dan ruginya sistem budidaya pertanian dan peternakan organik vs konvensional di luar negeri, lalu apakah bisa diterapkan di Indonesia. Untuk memahami itu sumber literatur saya menggunakan bahasan dari laporan EU Commission No4 November 2013 dengan judul "Organic Versus Conventional Farming, Which Performs Better Financially dengan contoh sampel studi kasus di 5 negara di Uni Eropa dan beberapa literatur lainnya yang dapat mendukung bahasan artikel ilmiah ringan ini.
Bagaimana Sejarah Dari Peternakan Organik ?
Peternakan organik memiliki sejarah yang berbeda-beda ditiap negara, hal ini didasarkan pada kesadaran dan kesiapan, serta permintaan dari para konsumen akan produk organik khususnya disektor peternakan. Adapun contohnya seperti Belanda misal, walaupun konsep peternakan ayam organik, Belanda telah memulai peternakan organik pada rentang tahun 2001 atau 2002 dimana pada saat itu telah menghilangkan praktik pemotongan paruh, penyediaan kandang burung diwajibkan, pengurangan populasi/kepadatan dan ayam harus memiliki akses untuk menghirup udara bebas. Sama dengan di Amerika Serikat, dimana peternakan organik dimulai pada tahun 2002 pada peternakan unggas dengan lebih menekankan penyediaan teras ayam, sehingga para ayam dapat meregangkan tubuh mereka dan menghirup udara bebas. Sedangkan untuk peternakan hewan seperti ruminansia seperti sapi perah, pedaging, dan domba telah lama diterapkan dilapisan dunia, namun yang tercatat pasti dan memiliki undang-undang adalah dinegara Amerika Serikat; Dimana sapi digembalakan di ruang publik sejak era perang saudara dan memiliki undang-undang pada tahun 1934.
Di Indonesia sendiri peternakan organik masih belum jelas tercatat kapan dimulai, namun terdapat banyak organisasi yang memperjuangkan dekat-dekat ini, salah satunya yakni organisasi AFJ Farmed Animals Advocacy. Keragaman mereka dalam memperjuangkan peternakan organik sangat beragam, baik dari cage free/atau bebas kandang baterai pada peternakan ayam, bahkan dalam memperjuangkan kesejahteraan hewan ternak seperti sapi, domba, atau bahkan kelinci. Selain itu, untungnya pemerintah Indonesia sendiri sudah mau mengupayakan gerakan tersebut , yang dimana telah membentuk badan sertifikasi nasional terkait produk organik. Gerakan ini diharapkan dapat mendorong dan memberikan wadah baik bagi peternak untuk lebih bisa mensejahterakan hewan ternaknya dan menaungi gerakan aktivis yang peduli akan kesejahteraan hewan ternak.
Seperti apa konsep peternakan organik itu ?
Sesuai dengan bagian diatas dimana peternakan organik adalah suatu teknik beternak yang memiliki konsep win win solution, dimana peternak mendapatkan untung akan produk yang dihasilkan dan juga hewan ternak dapat hidup dengan sejahtera kehidupannya. Adapun syarat dari peternakan organik dijabarkan oleh badan sertifikasi organik Indonesia yakni, hewan ternak harus dipelihara sejak lahir, lalu pakan ternak yang diberikan sebagian besar organik, terdapat treatmen/perlakuan yang mensejahterakan ternak mencangkup kebersihan dan kenyamanan kandang, akses air minum bersih, terdapat akses kandang alam, mendapatkan perlakuan medis yang baik, serta mengelola ternak dengan manajemen yang baik.
Selain persyaratan, dampak yang dapat dirasakan oleh para peternak dalam beternak secara organik yakni mencangkup pendapatan yang jauh lebih tinggi dan menumbuhkan rasa kepeduliaan (terkait batin), serta efisiensi pengeluaran pakan. Produk yang berlabel sertifikat organik juga memiliki nilai harga yang lebih tinggi dan jauh memiliki peminat tersendiri, khususnya pada kalangan atas, sehingga akan mendatangkan keuntungan yang jauh lebih besar bagi peternak.
Apakah Di Indonesia Bisa Diterapkan ? (Analisis)
Jika kita ingin membahas bisa atau tidaknya, untuk menjawab diperlukannya analisis mendalam, khususnya dalam ranah ekonomi (business oriented) dan juga kesesuaian sumber daya alam yang dimiliki. Kedua hal ini sangat penting dalam menerapkan proses teknik beternak, karena dari sisi orientasi bisnis berfungsi untuk menunjang segala aktivitas yang sedang berjalan, begitupula dalam sisi ketersediaan dan kesiapan lingkungan atau sumber daya alam yang dimiliki; hewan ternak memerlukan pasokan pangan yang besar untuk menghasilkan produk mereka dengan kualitas yang baik.
Dalam laporan EU Commission digambarkan dengan jelas bahwa terdapat gambaran kurva siklus budidaya hewan ternak secara organik, yakni intensitas pemberian input (pakan & treatment) yang rendah dari sistem organik akan menghasilkan hasil panen yang rendah dibanding dengan peternakan konvensional, namun dilain sisi untuk harga/pendapatan net margin peternakan organik memiliki harga yang jauh lebih tinggi dari pada konvensional. Dari hal ini dapat digambarkan bahwa produk organik memiliki harga yang tinggi dikarenakan memerlukan sumber daya alam yang besar, tidak sebanding dengan konvensional yang memiliki banyak opsi khususnya pakan yang menunjang laju produksi produk. Sehingga dapat diambil kesimpulan sementara bahwa peternakan organik memberikan peluang keuntungan yang besar bagi peternak.
Namun, walaupun begitu tidak serta merta produk organik dapat mendatangkan keuntungan dengan begitu saja. Hal terpenting dalam penerapan suatu metode adalah bagaimana bisnis tersebut dapat berjalan dengan baik, yakni dengan mempertimbangkan minat konsumen, tanggapan mereka tentang peternakan organik, dan apakah mereka mampu dalam mengaksesnya. Hal ini sesuai dengan pernyataan (Baş et al., 2024), dimana menjelaskan bahwa kunci dari berjalannya bisnis adalah mengetahui apa kebutuhan konsumen dan bisa kah konsumen mengaksesnya (terkait pendapatan masyarakat). Dalam studi EU Comission telah memberikan gambaran yang jelas bahwa berjalannya peternakan organik dibeberapa wilayah Uni Eropa seperti Jerman dan Prancis adalah mereka para masyarakat sebagai konsumen telah memiliki kesadaran penuh akan produk organik, sehingga mereka mau membeli dengan harga yang sedikit mahal. Selain itu, peternak organik memiliki cara jitu dalam meningkatkan margin mereka,yakni dengan mengelolah dan meningkatkan nilai produk (value added) menjadi keju organik, mengingat negara seperti Swiss, Jerman dan Prancis adalah negara dengan tingkat konsumtif keju terbesar di Uni Eropa, sehingga ada pasar untuk mengkomersilkan produk organik.
Selain dari ranah bisnis, hal tidak kalah penting lainnya adalah gambaran SDA yang diperlukan dalam beternak organik. Dari hasil studi yang dilakukan oleh EU Commission memberikan gambaran bahwa peternakan organik harus memiliki area pada rumput yang luas. Hal ini dikarenakan peternakan organik dalam memproduksi susunya atau dagingnya memiliki konsep meminimalisir penggunaan pakan sintetik dan juga menekan emisi karbon dari lahan jagung untuk pakan sapi. hal ini dapat dilihat dari tabel yang tertera dalam studi berikut :
Dari beberapa penjelasan diatas dapat dipahami bahwa banyak sekali hal yang perlu dilakukan dalam memulai konsep beternak dengan sistem organik, baik dari sistem manajemen bisnis dan kandang, serta urusan SDA. Di Indonesia sendiri perkembangan peternakan organik mengalami pertumbuhan yang lamban. Data statistik organik Indonesia pada tahun 2015 menjabarkan hanya ada 0,81 % peternakan organik yang tersertifikasi, meliputi peternakan organik kambing dan itik. Kurang berkembangnya peternakan organik ini dijelaskan oleh Wanniatie et al 2017 yakni :
- Keterbatasan lahan penggembalaan. Pemilik usaha pertanian organik tidak memiliki lahan yang luas untuk beternak dan juga penyediaan pakan yang dibutuhkan,
- Sertifikasi akan pakan. Sesuai gambaran diatas, dijelaskan bahwa pakan hewan ternak dalam metode organik perlu memenuhi sertifikasi, mencangkup kelengkapan gizi hijauan dan teknis budidaya hijauan organik,
- Standarisasi pengobatan pada hewan ternak. Hal unik dalam studi kali ini dijelaskan bahwa status hewan ternak bila sakit dan diberi dengan penanganan medis berupa farmasetika akan kembali dan berubah dalam status hewan ternak konvensional,
- Mahalnya sertifikasi organik. Bukan hal baru saja diketahui bahwa produk organik perlu dan memerlukan sertifikasi organik dengan proses biaya yang sangat mahal, hal ini lah mengapa para peternak enggan mau menjuluki peternakan mereka organik.
Selain itu menurut studi yang dilakukan oleh Maskur et al., (2023), Elisia & Febri (2022) dan Amam (2020) menjelaskan bahwa hambatan peternakan rumininsia paling umum terjadi dikarenakan kurangnya perhatian dan kesiapan peternak dalam menghadapi pergantian musim, serta akses pakan yang terbatas, selain alasan lainnya seperti kurangnya bibit super, infrastruktur yang tidak memadai, akses modal terbatas, kemampuan peternak yang belum mampu menangani kesehatan ternak dan persoalan harga jual beli ternak. Permasalahan musim memang memiliki dampak yang signifikan dalam berjalannya bisnis peternakan, belum lagi tuntutan sistem budidaya organik, yang dimana menekankan keberagaman pakan dan budidaya non kimia, menyebabkan dirasa mustahil atau sulit bagi para peternak organik Indonesia terjadi.
Lalu bagaimana tentang minat konsumen Indonesia terhadap produk peternakan organik ? jawaban ini dapat dilihat dari Global Organic Trade dimana Indonesia memiliki peringkat ukuran pasar yang rendah dan disertai dengan perkiraan pertumbuhan yang minim. Konsumsi produk organik Indonesia hanya mewakili 0,03% dari permintaan global akan produk organik. Namun menurut CAGR, negara Indonesia akan mendapatkan kurva tumbuh pada komoditi organik pada periode 2021-2026 sebesar 6,1 %.
Conclusion/Kesimpulan dari penulis
Dari hasil bahasan ini penulis ingin menarik kesimpulan bahwa peternakan organik di Indonesia masih terbilang tindakan atau penerapan yang beresiko, terlebih lagi minat konsumen di Indonesia masih minim, selain itu juga terkait dengan kemampuan tiap individu peternak akan prasarana dan pembiayaan diperlukannya modal yang besar. Peternakan organik dapat tercipta dan berjalan apabila lingkungan mendukung dan terdapat subsidi baik untuk peternak, serta juga para konsumen. Penerapan subsidi bagi para peternak meliputi bantuan pembiayaan sertifikat organik, subsidi pakan bersertifikat dan fasilitas mencangkup lahan bersama (bank pakan), dilain sisi konsumen juga perlu diedukasi dengan pemberian subsidi promo paket hasil ternak organik, mengkampanyekan isu-isu lingkungan ternak, dan berpartisipasi dalam gerakan.
Tinggalkan Balasan
Anda harus masuk untuk berkomentar.
Terkait