PARADIGMA KUOTA TANGKAP NELAYAN YANG MERUGIKAN NELAYAN

Kelautan, Ketahanan Pangan
PARADIGMA KUOTA TANGKAP NELAYAN YANG MERUGIKAN NELAYAN
21 December 2025
82
10

Tema Artikel tentang Penangkapan, Konservasi, dan Ekowisata

Lucas Unggul Abimanyu Kusuma Hadi1 , Indri Amelia Sandra2  ,Keysa Wiguna3 , Muh. Herjayanto4

lucasunggul93@gmail.com1, ameasan25@gmail.com2 keysawiguna69gmail.com3 , herjayanto@untirta.ac.id4

Shellter Community 1,  @shellter_untirta Universitas Sultan Ageng Tirtayasa

Tirthawatch4 , Universitas Sultan Ageng Tirtayasa

Ilmu Perikanan Fakultas Pertanian Universitas Sultan Ageng Tirtayasa1,2,3,4

 

Kebijakan Penangkapan Ikan Terukur (PIT), atau sistem kuota penangkapan ikan, diatur melalui Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 28 Tahun 2023 sebagai pelaksana Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2023 tentang Penangkapan Ikan Terukur yang masih berlaku hingga kini, dengan tujuan mengelola perikanan secara berkelanjutan, menjaga keseimbangan ekosistem laut, serta meningkatkan penerimaan negara. Berdasarkan Pasal 4 ayat (1), kuota dalam Zona Penangkapan Ikan Terukur dibagi menjadi kuota industri, kuota nelayan lokal, dan kuota non-komersial, yang ditegaskan kembali dalam Pasal 35 mencakup kegiatan pemerintah, pemerintah daerah, lembaga pendidikan, pelatihan, penelitian, serta rekreasi atau wisata.

Pembagian subjek dalam penangkapan ikan mempunyai kepentingan dalam membagi jarak atau wilayah penangkapan ikan. Hal ini teridentifikasi jelas pada Pasal 4 yang tertulis pada setiap zona penangkapan ikan, kuota industri di atas 12 mil laut, kuota nelayan hingga 12 mil laut, dan kuota kegiatan bukan komersial hingga atau lebih dari 12 mil laut. Jarak maksimum yang diperbolehkan bagi nelayan adalah 12 mil (sekitar 22 km) dari lepas pantai. Berdalih menjaga ekosistem perikanan, apakah etis jika pembatasan ini justru mengurangi akses nelayan kecil dan memperluas ruang industri besar, padahal potensi penangkapan terbaik berada di laut dalam? Pembagian kuota ini tidak hanya membatasi akses nelayan terhadap laut yang lebih dalam, tetapi juga menegaskan bahwa potensi penangkapan ikan, sebagaimana tercantum dalam Pasal 3, ditetapkan oleh Menteri berdasarkan acuan Regional Fisheries Management Organization (RFMO). Hal ini dapat dikatakan, keputusan yang mengikat nelayan lebih bersifat administratif daripada ekologis, seolah menjadi pencitraan kebijakan dengan dalih menjaga keberagaman maritim. Pola kebijakan yang hirarki-sentris ini menjadikan laut sebagai milik kekuasaan tanpa partisipasi nelayan sebagai kedaulatan utama, padahal data, sains, dan birokrasi seharusnya menyesuaikan dengan keadaan sosial yang dinamis di lapangan.

Pembatasan akses laut dan tonase penangkapan perikanan, memiliki dampak yang besar bagi keadaan sosial nelayan. Perijinan, surat berlayar, retribusi, pajak penangkapan dan kebutuhan persyaratan lainnya turut membebani dinamika nelayan di dalamnya, dengan dalil sebagai ucapan terima kasih nelayan kepada pemerintah diberikan akses melaut kepada mereka serta biaya kerusakan yang ditanggung akibat penangkapan oleh nelayan. Bayangkan, bukankah kita masyarakat dan pemerintah harus berterima kasih kepada nelayan yang menjaga ketahanan pangan kita. 

Hal ini selaras dengan menurunnya minat generasi muda untuk menjadi nelayan, karena profesi ini sering dianggap rendah gengsi dan berisiko tinggi dengan upah yang tidak sepadan. Nelayan pun kerap menjadi kelompok marginal secara sosial maupun ekonomi. Sementara permintaan ikan di pasar tradisional terus meningkat, kebijakan dan paradigma pemerintah justru membatasi pasokan, sehingga harga ikan naik di pasaran dan daya beli masyarakat menurun. Hal ini menyebabkan nelayan sering tidak dapat menjual hasil tangkapannya dengan harga yang layak kepada pembeli maupun tengkulak.

Selisih antara biaya penangkapan dan hasil tangkapan membuat banyak nelayan terperangkap dalam kemiskinan struktural. Perusahaan dengan modal besar mampu memenuhi persyaratan resmi dan memanfaatkan teknologi modern untuk melaut lebih jauh, sementara nelayan kecil terbatasi oleh alat tradisional dan wilayah sempit. Atas dasar hal tersebut, pelibatan nelayan dalam proses pengambilan keputusan menjadi krusial agar kebijakan yang dibuat benar-benar mencerminkan realitas sosial di lapangan. Tanpa partisipasi tersebut, kebijakan lingkungan berpotensi melahirkan ketidakadilan baru bagi masyarakat pesisir.

Mengatasi permasalahan tersebut, perlu solusi praktis bagi nelayan yang tetap mempertimbangkan sektor swasta dan ketahanan laut. Banyak nelayan tradisional belum melek kebijakan, teknologi, dan teori yang membantu mereka menjadi tulang punggung pasokan pangan, sementara birokrasi terpusat tanpa koordinasi membuat kebijakan sulit diterapkan. Beberapa kasus seperti pagar laut menunjukkan nelayan sering disalahkan, padahal mereka hanya menyesuaikan diri demi menghidupi keluarga. Fokus perubahan bukan mentalitas mereka, melainkan birokrasi agar generasi muda tertarik menjadi nelayan. Solusi terbaik adalah memberi ruang bagi nelayan sebagai penggerak utama, dengan pemerintah berperan sebagai pengkoordinasi antara nelayan, swasta, dan masyarakat, didukung kebijakan bersih dan pendanaan berkelanjutan agar upaya ketahanan pangan benar-benar terlaksana.

Koperasi nelayan merupakan contoh konkret dalam memfasilitasi kebutuhan nelayan berdasarkan asas kekeluargaan dan gotong royong. Koperasi diharapkan tidak hanya memenuhi kebutuhan, tetapi juga menjadi wadah penyaluran hasil tangkapan agar nelayan dapat menjual komoditasnya secara lebih adil. Tantangan pengembangannya tidak hanya terletak pada sistem, tetapi juga pada kualitas sumber daya manusia dan infrastruktur yang mendukung. Birokrasi yang kompeten serta sinergi dengan pihak swasta, seperti Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) atau industri pengolahan, agar hasil tangkapan nelayan memiliki akses pasar dan harga yang lebih stabil. Saat ini, nelayan tradisional masih bergantung pada Tempat Pelelangan Ikan dengan harga fluktuatif tanpa kajian harga yang jelas.

Mahasiswa ilmu perikanan memiliki peran penting untuk menjembatani teori dan praktik di lapangan melalui edukasi, pemberdayaan masyarakat, dan pemanfaatan teknologi seperti Internet of Things (IoT) serta kecerdasan buatan Artificial Intelligence (AI). Program penyuluhan di desa nelayan dapat difokuskan pada pelatihan teknis, pengolahan hasil perikanan, hingga pengelolaan limbah bernilai ekonomi seperti produk zero waste. Mahasiswa juga dapat menjadi penghubung antara pemerintah, teknologi, dan masyarakat nelayan dalam menciptakan transparansi data serta efisiensi kebijakan sektor kelautan dan perikanan.

Secara keseluruhan, kebijakan tanpa dialog dan sinergi dapat memunculkan ketidakadilan dan ketimpangan di lapangan. Esai ini merupakan bentuk keprihatinan mahasiswa terhadap proses yang terjadi tidak hanya di nelayan, tetapi juga pertanian skala kecil yang bergantung pada komoditasnya. Untuk menjaga ketahanan pangan, hilirisasi digital, dan meningkatkan minat generasi muda masuk sektor pertanian, diperlukan strategi kuat.

 

 

#konservasi, #perahu #kearifanlokal #sungaimusi, #shellter, Nelayan
Tentang Penulis
Lucas
Universitas Sultan Ageng Tirtayasa

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

2025-12-21
Difference:

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *