Padang Lamun: Ekosistem Terlupakan yang Mengemban Peran Besar

Flora, Kehutanan, Kelautan, Tumbuhan
Padang Lamun: Ekosistem Terlupakan yang Mengemban Peran Besar
16 November 2024
78
[wp_ulike button_type=”text” wrapper_class=”like-front”]

Padang Lamun: Ekosistem Terlupakan yang Mengemban Peran Besar

Ekosistem lamun atau yang biasa disebut dengan padang lamun merupakan sebuah ekosistem yang didominasi oleh tutupan lamun (seagrass), bersubstrat pasir, dan terdapat beberapa terumbu karang (Kuswowo dkk., 2015). Padang lamun merupakan salah satu ekosistem perairan yang mempunyai peran yang sangat penting, baik bagi manusia dan bagi ekosistem lain disekitarnya. Sebelum membahas peran besar yang diemban oleh ekosistem ini, perlu diketahui perbedaan antara seaweed, lamun (seagrass), dan makroalga.

Perbedaan Lamun, Makroalga, dan Seaweed

Tidak hanya di daratan, laut juga memiliki tumbuhan yang menyusun ekosistemnya. Terdapat begitu banyak tumbuhan laut, salah satunya adalah lamun. Lamun merupakan vegetasi utama yang menyusun ekosistem lamun. Walau secara harfiah lamun (seagrass) dan seaweed memiliki arti yang sama, yaitu rumput laut, tetapi sebenarnya merujuk pada hal yang berbeda. Lamun (seagrass) merupakan salah satu tumbuhan tingkat tinggi yang tersebar di sepanjang pesisir pantai dan termasuk ke dalam golongan Angiospermae dan bukan merupakan makroalga. Lamun merupakan tumbuhan berbunga yang memiliki sejarah evolusi yang sangat panjang, meskipun saat ini jumlah spesiesnya tergolong rendah (Orth dkk., 2006). Diperkirakan, hanya ada kurang dari 60 spesies lamun yang tersebar di berbagai wilayah, dengan distribusi yang mencakup ribuan kilometer sepanjang garis pantai (Short dkk., 2007). Di Indonesia, sejauh ini tercatat sekitar 12 spesies lamun. Berbeda dengan makroalga yang memiliki sangat banyak spesies.

Perbedaan Seaweed dan Seagrass

Sumber: The Blue Biologist (https://shorturl.at/Gn8jk)

Lalu jika lamun tidak termasuk ke dalam golongan makroalga, lalu apa sebenarnya makroalga itu? Makroalga merupakan alga dengan ukuran makro (individunya dapat dilihat langsung dengan mata) dan berbentuk thallus. Menurut Van den Hoek dkk. (1995) secara umum makroalga terbagi ke dalam tiga divisi, yaitu alga merah (Rhodophyta), alga hijau (Chlorophyta), serta alga cokelat (Phaeophyceae). Sama halnya dengan tumbuhan daratan, makroalga juga memiliki struktur yang sama, walau sekilas tampak berbeda, tetapi sebenarnya hanya memiliki perbedaan dalam penyebutannya. Makroalga tersusun atas 3 bagian utama: blade (daun), stipe (batang), dan holdfast (akar). Jelas, sekarang dapat dipahami bahwa makroalga dan lamun merupakan hal yang berbeda sekali, bukan?

Struktur Algae

Image by Byron Inouye (https://shorturl.at/XwAKe)

Bagaimana dengan seaweed? Seaweed merupakan semua makroalga yang berada di perairan laut. Seagrass yang merupakan Angiospermae (tumbuhan tingkat tinggi), yang singkatnya berarti tumbuhan berbunga, berbeda dengan seaweed yang merupakan bagian dari makroalga (tumbuhan tingkat rendah). Perbedaan kasat mata yang cukup mencolok dari seagrass dan seaweed adalah perakaran seagrass yang berada di dalam (bawah) substrat layaknya tumbuhan darat, sedangkan perakaran seaweed tidak berada di dalam tanah, tetapi umumnya menempel pada bebatuan pantai, terumbu karang, dan permukaan lainnya.

Sumber: Heiko Hübscher (https://shorturl.at/0CSVR)

Sumber: Nadya Peek (https://flic.kr/p/5q1GE9)

Peran Besar Ekosistem Lamun

Bioindikator Lingkungan

Menurut Phillips & Menez (1988) komunitas makroalga dan lamun dalam ekosistem lamun memiliki fungsi dalam menstabilkan sedimen (sediment trap) yang mana dapat menjadi pelindung dan tempat tinggal bagi banyak satwa perairan serta merupakan komunitas yang produktif di zona perairan dangkal. Menurut Li & Huang (2012) lamun dapat digunakan sebagai bioindikator serta monitoring terkait pencemaran ekosistem perairan, terutama untuk kontaminasi logam berat. Dalam Keputusan Kementerian Negara Lingkungan Hidup Nomor 200 Tahun 2004 Tentang Kriteria Baku Kerusakan Dan Pedoman Penentuan Status Padang Lamun, dijelaskan bahwa tutupan tumbuhan lamun dapat dijadikan acuan dasar rusak atau tidaknya sebuah ekosistem lamun. Selain komunitas tumbuhan, fauna yang terdapat di ekosistem lamun juga mengambil peran sebagai bioindikator lingkungan pula. Filum Echinodermata dan Filum Moluska merupakan beberapa contoh kelompok satwa yang dapat dijadikan sebagai bioindikator lingkungan, baik ekosistem lamun atau ekosistem laut secara umum (Sari dkk., 2010).

Pembersih Laut

Satwa-satwa seperti Echinodermata dan Moluska yang sudah disebutkan tadi, mempunyai fungsi sebagai pembersih laut yang mana peranannya dalam jaringan makanan berada dalam berbagai kedudukan, meliputi herbivora, karnivora, ataupun sebagai pemakan detritus. Perannya sebagai satwa detritivora tersebut dikarenakan satwa ini umum memakan bangkai, rumput laut, maupun sisa-sisa kotoran yang berpotensi mengganggu kualitas ekosistem laut ataupun pantai. Dengan begitu, lantai dan perairan laut dapat menjadi lebih bersih dan tidak mengganggu kehidupan makhluk-makhluk hidup lainnya.

Satwa Echinodermata

Sumber: Freas & Cheng (2021) (https://shorturl.at/KDHDf)

Sumber Makanan Berbagai Makhluk Hidup

Ekosistem beserta komunitas-komunitas di dalamnya menyediakan berbagai sumber makanan yang sangat dibutuhkan oleh makhluk hidup lain. Lamun atau seagrass-nya sendiri menjadi sumber makanan satw-satwa air mulai dari kepiting, lobster, bulu babi, penyu, angsa, manatee, hingga dugong. Filum Echinodermata yang sebelumnya sudah dibahas juga merupakan sumber makanan bagi ikan-ikan hingga manusia. Ikan yang tinggal di ekosistem ini juga menjadi sumber makanan burung-burung air hingga manusia. Manusia kerap menggunakan ekosistem lamun sebagai lokasi budidaya, baik budidaya seagrass, seaweed, ikan, udang, hingga tiram dan kerang. Tidakkah menakjubkan bahwa ekosistem 'terpencil' ini ternyata menjadi 'pusat' ekosistem yang menunjang kehidupan banyak sekali makhluk hidup?

Pemasok Oksigen dan Sebagai Bentuk Blue Carbon

Blue Carbon merujuk pada karbon yang terakumulasi dalam ekosistem pesisir dan laut, terutama pada hutan mangrove, rawa air asin, dan padang lamun. Ekosistem-ekosistem ini memiliki efisiensi tinggi dalam proses penyimpanan karbon, yang berarti mereka mampu menangkap dan mengikat karbon dioksida (CO2) dari atmosfer, sehingga berkontribusi pada mitigasi perubahan iklim. Istilah "karbon biru" secara khusus menekankan peran lingkungan laut dan pesisir dalam proses penyimpanan karbon, yang membedakannya dengan "karbon hijau" yang terdapat pada ekosistem daratan seperti hutan.

Seperti halnya hutan di daratan, padang lamun juga memainkan peran vital dalam penurunan kadar karbondioksida (CO2). Penelitian yang dilakukan di Teluk Banten pada Agustus 2009 dan Juli 2010 menunjukkan kemampuan lamun menyerap CO2, yang terlihat dari perbedaan tekanan parsial CO2 antara atmosfer dan air (Adi & Rustam, 2010; Rustam dkk., 2013). Tanaman lamun, serupa dengan tanaman darat lainnya, memanfaatkan CO2 untuk fotosintesis, yang kemudian disimpan dalam biomasa yang dikenal sebagai blue carbon. Selain itu, bagian bawah tanaman seperti rizoma dan akar, bersama dengan serasah, mampu terjebak dalam sedimen untuk periode waktu yang lama. Selama dekade terakhir, penelitian mendalam mengenai peran lamun dalam mitigasi perubahan iklim, sebagai penyimpan blue carbon, terus berkembang seiring dengan penelitian yang dilakukan pada hutan daratan.

Perlukah Mengupayakan Konservasi Ekosistem Lamun?

Dalam Kepmen LH No. 200 Tahun 2004 dikatakan bahwa padang lamun merupakan sumber daya alam yang mempunyai berbagai fungsi sebagai habitat tempat berkembang biak, mencari makan dan berlindung bagi biota laut, peredam gelombang air laut, pelindung pantai dari erosi serta penangkap sedimen, oleh karena itu perlu tetap dipelihara kelestariannya. Wahyudin dkk. (2016) dalam penelitiannya menyatakan bahwa padang lamun merupakan ekosistem yang tidak sedikit mendorong kesejahteraan penduduk pesisir pantai, baik secara ekonomi, ekologi, dan sosial. Keberadaan padang lamun menjadi 'pusat' bagi ekosistem-ekosistem lain di sekitarnya, baik ekosistem perairan laut dangkal lain, hingga ekosistem manusia.

Jika padang lamun rusak, maka seluruh makhluk hidup yang terhubung dengan ekosistem tersebut tidak akan dapat bertahan hidup. Maka oleh karena itu, penting sekali untuk menggaungkan dan mengupayakan konservasi ekosistem lamun. Untuk melindungi keberadaan lamun, diperlukan regulasi dan tindakan yang konkret, seperti transplantasi, penanaman, serta peraturan lainnya yang mendukung. Salah satu langkah yang dapat diambil adalah dengan membentuk zona perlindungan laut di area-area tertentu. Hal ini dapat menjadi regulasi yang efektif, terutama di daerah-daerah yang memiliki tiga ekosistem utama pesisir, yaitu terumbu karang, mangrove, dan lamun. Upaya ini akan sangat penting untuk menjaga keberlanjutan ekosistem pesisir kita.

Kehati, Kehutanan, biodiversitas, ekosistem, kelautan, lamun
Tentang Penulis
__dejan

Tinggalkan Balasan

2024-11-16
Difference:

Tinggalkan Balasan