






- PSN Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Tanjung Sauh, Batam ancam kehidupan masyarakat suku laut. Rumah-rumah panggung sederhana yang ada di pesisir pulau telah dinomori agar segera pindah ke rumah relokasi di Pulau Ngenang, sebelah Tanjung Sauh Besar. Tapi, mereka menolak karena rumah relokasi tak sesuai dengan identitas mereka sebagai suku laut.
- Tak hanya ancam masa depan masyarakat suku laut. Kehadiran proyek juga sebabkan bentang pesisir pulau rusak. Identifikasi Akar Bhumi Indonesia, sekitar 10 hektar hutan mangrove telah rusak akibat reklamasi. Sementara di daratan, bukit dan hutan telah dibuka habis.
- Muhamad Burhanudin, Manajer Advokasi Kebijakan Lingkungan Yayasan Kehati katakan, hilangnya hutan di pulau kecil, pada akhirnya akan mengancam masa depan pulau itu sendiri. Di kawasan Pasifik, sebuah pulau di Nauru tenggelam, karena kerusakan ekologis. Begitu juga di Bangka Belitung yang banyak alami kerusakan akibat tambang timah.
- Panbil Group, selaku pengelola proyek membantah pengerjaan proyek dengan target investasi Rp33 triliun hingga 2030 itu tak sesuai prosedur. Anwar, salah satu direksi perusahaan klaim seluruh kegiatan proyek mengikuti ketentuan yang ada. Tidak ada kemudahan atau privilege apapun, meski berstatus PSN.
Rimbun eksosistem mangrove itu tak ada lagi di pesisir Pulau Tanjung Sauh Kecil, Kota Batam, Kepulauan Riau (Kepri). Hijau pepohonan yang sebelumnya menyelimuti perbukitan juga hilang, tersisa pulau rata dengan tanah.
Burung-burung yang biasa terbang kesana kemari pun tak ada lagi, tergantikan lalu-lalang dump truck membawa material tanah. Deru suara ombak berpadu dengan suara mesin dari alat berat yang beroperasi di lokasi. Debu proyek mengudara ke langit. Sementara di pesisir, air laut berubah warna kecoklatan terdampak reklamasi yang menimbun kawasan mangrove.
Tak hanya di Tanjung Sauh Kecil. Pemandangan serupa juga terjadi di Pulau Tanjung Sauh Besar. Kedua pulau di Kecamatan Nongsa, Batam itu tak lagi berbentuk akibat proyek pembangunan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Tanjung Sauh, satu dari puluhan daftar Proyek Strategis Nasional (PSN). Pulau Ngenang pun alami hal serupa.
Ini kali kedua Mongabay mengunjungi proyek dengan pengelola Panbil Group ini tiga bulan lalu. Saat itu, masih terlihat sisa hutan mangrove di pesisir Pulau Tanjung Sauh Kecil. Kini, sabuk pesisir itu tak ada lagi.
Kala bbising alat berat meratakan tanah, sekitar 300 meter dari lokasi pematangan di Tanjung Sauh Besar, 40-an keluarga SukuLlaut Air Mas seolah menunggu giliran tergusur. Rumah-rumah panggung sederhana di pesisir pulau dinomori agar segera pindah ke rumah relokasi di Pulau Ngenang, sebelah Tanjung Sauh Besar.
Hingga kini mereka masih menolak pindah lantaran rumah relokasi berada di daratan, bukan di laut seperti tempat tinggal mereka saat ini. Selain itu, ada makam tua di Tanjung Sauh Besar juga menjadi alasan keengganan mereka pindah rumah.
“Ini tanah berkat, Tuhan yang menunjuk kami tinggal disini,” kata Mani, tertua Suku Laut yang sudah berumur 100 tahun.

Penampakan Suku Laut Air Mas di pesisir pulau Tanjung Sauh yang bakal terdampak PSN. Foto: Yogi Eka Sahputra/Mongabay Indonesia.
Tangkapan sulit
Khairuddin, nelayan Suku Laut baru saja kembali melaut hari itu. Dia tunjukkan ember berisi ikan belanak hasil tangkapan, sekitar 3-4 kilogram.
“Tidak pernah dapat segini. Dulu, sehari gitu bisa 30 kilogram lebih. Sekarang jauh menurun. Kadang dapat, kadang tidak,” katanya, 3 Agustus lalu.
Penurunan hasil tangkapan bukan tanpa sebab. Laut tempat nelayan biasa memancing sekarang sudah keruh akibat proyek pematangan lahan PSN Tanjung Sauh.
Saat angin laut kencang, endapan tanah bekas pemotongan lahan seolah teraduk dan membuat air makin keruh. “Kalau laut keruh, kami tidak bisa menyelam mencari kepiting atau memasang jaring,” katanya.
Belum lagi, bakau atau mangrove yang ditimbun akibat pembangunan itut, padahal ekosistem itu tempat berkembang biak ikan, udang hingga kepiting. “Itu masih saat ini, bagaimana akan datang, ketika semua bakau ditimbun,” ujarnya khawatir.
Hasan, nelayan Suku Laut lain amini itu. Penimbunan mangrove dan rusaknya bentang pesisir menyebabkan nelayan sulit mencari kepiting. Belum lagi tertutupnya alur sungai akibat penimbunan material, kian menyulitkan kehidupan nelayan karena hasil tangkapan sepi.
“Dulu, masih bisa dapat ketam (kepiting), sekarang mana ada lagi, ketam itukan adanya di sungai-sungai. Mangrove yang selama ini jadi tempat pemijahan ikan dan habitat kepiting juga rusak. Jadi ya makin susah sekarang,” katanya.
Hasan katakan, dulu, dia bisa mendapat Rp100.000 lebih dari sehari memancing. Kini, hanya untuk dapat Rp25.000 sudah sangat sulit. “Dulu, dari pagi sampai jam 12 siang, Rp100.000 lebih dapat, sekarang lihat, saudara saya baru pulang melaut belum ada dapat satupun,” ceritanya.

Seorang anak suku laut di Pulau Tanjung Sauh menunjukkan ikan hasil tangkapannya. Foto: Yogi Eka Sahputra/Mongabay Indonesia.
Hendrik Hermawan, pendiri Akar Bhumi Indonesia menyoroti kehadiran KEK Tanjung Sauh yang berdampak pada nelayan dan kehidupan masyarakat suku laut.
Pemerintah, katanya, seolah tidak peduli dengan berbagai dampak karena proyek ini. “Suara masyarakat diabaikan dan hanya mementingkan kepentingan pemodal.”
Dia menilai, proyek ini jauh dari prinsip perlindungan lingkungan dan sarat akan pengabaian hak masyarakat. Di beberapa titik, reklamasi berlangsung tanpa memasang dinding pembatas. Masyarakat juga tidak mendapatkan informasi yang memadai terkait proyek ini.
Salah satu contoh soal uang sagu hati atau uang paku kepada warga. “Mereka dikasih uang paku, warga tidak mendapatkan dengan rinci tujuan uang itu. Artinya komunikasi perusahaan maupun pemerintah kurang. Ini seperti kasus Rempang, keputusan pusat kalian (warga) harus pergi,” katanya.
Amatan Hendrik, sekitar 10 hektar hutan mangrove telah tertimbun material proyek ini. “Kemungkinannya (luas mangrove terdampak) akan terus bertambah, karena pengerjaan baru sebagian.”
Penjelasan perusahaan
Panbil Group, pengelola proyek membantah pengerjaan proyek dengan target investasi Rp33 triliun hingga 2030 itu tak sesuai prosedur.
Anwar, salah satu direksi perusahaan klaim, seluruh kegiatan proyek mengikuti ketentuan yang ada. Tidak ada kemudahan atau privilege apapun, meski berstatus PSN.
Lahan untuk industri di Batam sangat terbatas tetapi dia pastikan bila pemilihan Tanjung Sauh sebagai lokasi proyek sudah sesuai dengan tata ruang kota dan provinsi.
“Sudah diatur semua, baik zona tangkap ikan, zona konservasi, maupun yang bisa dijadikan industri,” katanya, Selasa (12/8/25).
Perusahaan telah mengurus izin analisis masalah dampak lingkungan (amdal). Kemudian keluar Persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut (PKPRL) dan Persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Darat (PKKPR Darat).
“Untuk mangrove kami sudah koordinasi dengan Menteri Lingkungan Hidup, menunaikan kewajiban kepada negara, setelah itu baru bisa kami kerjakan.”
Dia tetap memberi perhatian terhadap persoalan lingkungan yang timbul. Termasuk, pada area yang elevasi tanahnya lebih rendah agar tidak terkena dampak pasang surut. Selain itu, perusahaan akan memasang proteksi agar sedimentasi tidak turun ke laut dan menciptakan kekeruhan.
“Sekarang ya namanya proses. Mungkin agak kurang-kurang sikit ya. Tapi itulah yang mau kami perbaiki. Kami bisa berkoordinasi segala hal yang bisa kami lakukan untuk mencegah terjadinya ekses-ekses kepada lingkungan sudah kami lakukan secara maksimal,” katanya.
Teddy Tambunan, Director of Environmental Panbil Group mengatakan, melalui PKPRL pemantauan dampak pengerjaan di Pulau Tanjung Sauh berlangsung dua kali setahun. Misal, dengan menurunkan tim penyelam untuk melihat apakah ada kerusakan di wilayah perairan. Hasil pemantauan itu kemudian perusahaan laporkan setiap enam bulan sekali.
“Jadi, tetap kami lakukan pemantauan terus. Setiap periode enam bulan sekali kita laporkan yang mana bukan hanya dari sisi darat saja, tapi juga lautnya, pantainya, bahkan sosialnya, juga masyarakatnya,” jelas Teddy. Pada kualitas air laut, hasil pemeriksaan parameter diklaimnya di bawah baku mutu.
Selain itu, mereka juga terapkan penggunaan tirai untuk cegah tanah turun ke laut.
“Kita sudah pasang pelampung di sekeliling pulau, pelampung itu merupakan tirai sepanjang empat meter ke bawah laut untuk mengurangi sedimentasi.
” Sedangkan soal penutupan alur sungai,” kata Teddy,.

Pembukaan hutan dan pematangan lahan untuk PSN KEK Tanjung Sauh, Batam. Foto: Yogi Eka Sahputra/Mongabay Indonesia.
Ancam masa depan pulau
Pegiat lingkungan khawatir pemanfaatan pulau-pulau kecil untuk industri akan berdampak kepada lingkungan secara menyeluruh. Bahkan juga kepada identitas Provinsi Kepulauan Riau (Kepri) sebagai daerah yang memiliki banyak pulau kecil akan hilang.
Parid Ridwanuddin, peneliti kelautan Yayasan Auriga Nusantara katakan, Pasal 23 Undang-Undang Nomor 27/2007 secara jelas mengatur pemanfaatan pulau kecil.
“Yang diperbolehkan itu akvitias yang tidak menyebabkan daya dukung ekologis melemah. Seperti riset, pengembangan, pendidikan. Sedangkan, reklamasi yang jelas-jelas akan menghancurkan ekosistem perairan itu tidak ada disitu,” katanya.
Dia bilang, tidak ada larangan pemanfaatan pulau kecil. Meski begitu, pemanfaatan harus sejalan dengan perlindungan ekosistem laut dan masyarakat setempat. Sebab itu, segala bentuk pemanfaatan yang mengarah pada upaya privatisasi adalah terlarang, sebagaimana putusan Mahkamah Konstitusi 32 tahun 2010.
“Boleh saja pulau kecil dimanfaatkan, selama tujuan melindungi ekosistem laut dan masyarakat yang punya ketergantungan tinggi dengan ekosistem itu. Kalau ini kan tidak, otak atik untuk kepentingan bisnis. Melihat pulau kecil harus satu kesatuan sebuah ekosistem.”

Perubahan bentang di Pulau Tanjung Sauh setelah kehadiran PSN. Foto: Yogi Eka Sahputra/Mongabay Indonesia.
Muhamad Burhanudin, Manajer Advokasi Kebijakan Lingkungan Yayasan Kehati mengatakan, saat ini tidak ada regulasi yang sepenuhnya menjaga tutupan hutan di sebuah kawasan. Bila sebelumnya ambang batas ekologis hutan 30%, sebagaimana Undang-undang 41/1999 tentang Kehutanan, UU Cipta Kerja menganulirnya.
Senada dengan Parid menurut Burhan pulau-pulau kecil harus tunduk kepada undang-undang perlindungan pulau- pulau kecil. “Tidak boleh sebenarnya keluarkan izin (di pulau-pulau kecil), kenyataannya sering kali apalagi untuk PSN, aturan itu dilanggar,” jelasnya.
Burhanudin mengatakan, hilangnya hutan di pulau kecil, akhirnya akan mengancam masa depan pulau itu sendiri. Di kawasan Pasifik, pulau di Nauru tenggelam, karena kerusakan ekologis. Begitu juga di Bangka Belitung yang banyak alami kerusakan akibat tambang timah.
Sumber: Mongabay.co.id

Leave a Reply
Terkait