Tim Human Orangutan Conflict Response Unit Orangutan Information Center (Hocru-OIC) bersama Yayasan KEHATI melakukan monitoring keberadaan orangutan tapanuli di Desa Aek Nabara Kecamatan Marancar Kabupaten Tapanuli Selatan pada Selasa, 28 Mei 2024. Tak berapa jauh masuk ke dalam rerimbunan pohon di perkebunan warga, tim berhasil menemukan beberapa bekas sarang orangutan tapanuli. Tim memang tak berhasil menenukan 1 individu orangutan pun. Namun, keberadaan sarang mengindikasikan keberadaan orangutan tapanuli di kawasan tersebut.
Pada monitoring tersebut, tim berhasil menemukan 2 bekas sarang orangutan tapanuli dengan tipe posisi 1 kelas A, dan satu sarang lagi dengan tipe posisi 2 kelas B. Artinya orangutan pertama membuat sarang di posisi dekat batang utama dengan usia sarang yang masih baru antara 1-3 hari, dan orangutan kedua membuat sarang di bagian tengah atau ujung cabang, dengan usia sarang ± 2 minggu.
Tipe Posisi sarang orangutan
Tipe kelas sarang orangutan
- Tipe Sarang A: Daun-daunnya baru dan masih hijau. Usia sarang 1 -3 hari
- Tipe Sarang B: Sebagian daun hijau di dalam sarang sudah mulai mengering. Otomatis ketebatalan sarang berkurang. Usia sarang ± 1 minggu.
- Tipe Sarang C: Walaupun sarang masih hijau, tetapi daun dari sarang sudah mulai gugur. Usia sarang ± 2 minggu.
- Tipe Sarang D: Hampir seluruh ranting dan daun dari sarang sudah mulai mengering. Sarang sudah mulai berlobang. Usia sarang ± 3 minggu.
Kegiatan monitoring ini dilakukan secara rutin oleh Tim. Selain untuk mengetahui keberadaan orangutan, kegiatan yang dilakukan bertujuan untuk mencegah interaksi negatif yang terjadi antara orangutan dan manusia.
Desa Aek Nabara sendiri berada di kawasan area penggunaan lain (APL) yang berbatasan dengan hutan lindung dan cagar alam. Pertemuan antara orangutan tapanuli dan manusia semakin tinggi ketika musim panen buah-buahan tiba. Masyarakat di Desa Aek Nabara didominasi oleh petani durian yang menjadi makanan favorit orangutan tapanuli.
“Perilaku orangutan tapanuli yang mengambil buah-buahan ketika musim panen membuat masyarakat kerap menganggap mereka sebagai hama. Hal ini mendorong masyarakat untuk melukai bahkan membunuh mereka. Sehingga, kami harus memberikan pelatihan kepada masyarakat bagaimana caranya mengusir orangutan dengan cara tidak melukai melalui bunyi-bunyian dari meriam spirtus atau meriam karbit,” ungkap Manajer Hocru Krisna.
Tim kemudian melanjutkan monitoring di Desa Bulumario Kecamatan Sipirok. Di sini, tim berhasil menemukan 3 sarang orangutan dengan tipe posisi 3 kelas C, dan 2 sarang lagi dengan tipe posisi 3 kelas B. Selain itu tim menemukan buah medang merah hasil gigitan orangutan. Sejak Januari 2024, total ada 15 titik lokasi yang dikunjungi oleh tim untuk mendapatkan data dan informasi terbaru keberadaan orangutan melalui temuan-temuan di lapangan berupa sarang, jejak pakan dan informasi dari masyarakat yang ditemui.
Di sela-sela kegiatan monitoring, Krisna menjelaskan tantangan yang dihadapi Tim Hocru ketika berada di lapangan. Misal, pada saat masyarakat marah dengan perilaku orangutan yang memakan buah-buahan panen mereka, dan meminta Tim Hocru memindahkan semua orangutan ke lokasi lain. Pemindahan ke lokasi lain tidak bisa dilakukan oleh Tim Hocru karena lokasi berladang masyarakat yang berada di kawasan konservasi yang menjadi habitat orangutan. Selain itu, kegiatan relokasi harus mendapatkan izin dari otoritas yang berwenang, dalam hal ini BKSDA Sumut.
Selain kegiatan monitoring, Orangutan Information Center (OIC) gencar melakukan edukasi, khususnya kepada masyarakat yang memiliki potensi singgungan paling tinggi terhadap orangutan. Kegiatan edukasi menjadi sangat penting untuk memberikan pemahaman menjaga hubungan harmonis dengan orangutan dan menjaga hutan yang menjadi habitat mereka.
Didukung oleh The Body Shop Indonesia, sejak tahun 2021 OIC bersama KEHATI juga melakukan 2 kegiatan, yaitu terkait kegiatan mitigasi interaksi negatif manusia dan oranagutan, serta kampanye pelestarian orangutan tapanuli kepada generasi muda di beberapa kampus di Indonesia, antara lain Universitas Sumatera Utara (USU), IPB University, Universitas Multimedia Nusantara (UMN), Universitas Gadjah Mada (UGM), dan Universitas Andalas (Unand).
Penyadartahuan penting untuk dilakukan tidak hanya dilakukan kepada masyarakat yang tinggal di sekitar habitat orangutan, namun juga masyarakat perkotaan khususnya generasi muda. Hal ini diperlukan untuk mendapatkan dukungan terhadap pelestarian orangutan tapanuli dengan skala yang lebih luas.
“Ancaman terhadap orangutan Tapanuli lebih besar dari orangutan lainnya, salah satunya adalah interaksi negatif dengan manusia, sehingga toleransi masyarakat sangat berperan terhadap keberlangsungan hidup orangutan Tapanuli,” tutup Krisna.
Tinggalkan Balasan
Anda harus masuk untuk berkomentar.
Terkait