
Photo : Lalu Febryan Cipta Amali
Bagi sebagian masyarakat di Pulau Lombok, Provinsi Nusa Tenggara Barat, ular Silong bukanlah jenis ular yang asing. Cerita tentang ular ini telah menjadi kisah turun-temurun dari generasi ke generasi. Berdasarkan penuturan yang sering didengar, ular tersebut digambarkan memiliki warna hitam dan putih, serta diyakini sebagai ular berbisa sangat kuat. Dalam beberapa cerita rakyat, jumlah belang pada tubuhnya bahkan disebut dapat menjadi penanda berapa lama seseorang dapat bertahan hidup apabila tergigit. Kepercayaan ini telah melekat kuat di tengah masyarakat, menjadikannya bagian dari folklore setempat yang terus hidup dari waktu ke waktu.
Sebagai seorang peneliti ular yang telah mendata seluruh spesies ular di Provinsi Nusa Tenggara Barat, legenda tentang ular Silong tentu menjadi sesuatu yang menarik untuk ditelusuri. Cerita-cerita tersebut penting untuk diluruskan apabila terdapat kekeliruan yang dapat berdampak pada pemahaman masyarakat. Mitos mengenai keberbahayaan ular Silong, misalnya, kerap menimbulkan ketakutan berlebihan dan memicu tindakan yang tidak perlu. Oleh karena itu, penelitian lapangan menjadi langkah penting untuk mengetahui apakah sosok ular dalam cerita tersebut benar-benar sesuai dengan fakta biologis.
Pada tahun 2019, saya akhirnya mendapatkan visual langsung melalui proses pengamatan terhadap seekor ular yang diyakini sebagai ular Silong. Momen ini menjadi titik awal untuk mengungkap identitas sebenarnya dari spesies yang selama ini dikaitkan dengan berbagai mitos tersebut. Setelah melakukan konfirmasi dengan beberapa rekan sesama peneliti serta membandingkan dokumentasi dari berbagai sumber, saya dapat menyimpulkan bahwa ular yang dimaksud masyarakat adalah Lycodon subcinctus. Penemuan ini menjadi jawaban bagi berbagai dugaan yang selama ini berkembang tanpa kepastian.
Lycodon subcinctus merupakan seekor ular kecil dengan pola hitam-putih yang mencolok, sehingga wajar apabila masyarakat menghubungkannya dengan ular berbahaya. Padahal, secara ilmiah ular ini tidak memiliki bisa dan sama sekali tidak berbahaya bagi manusia. Ketakutan yang timbul lebih banyak berasal dari kemiripan tampilannya dengan beberapa spesies ular berbisa lainnya. Di sisi lain, dalam ekosistem, Lycodon subcinctus justru memiliki peran penting dalam mengendalikan populasi hewan kecil seperti cicak dan tokek, sehingga keberadaannya memberikan manfaat ekologis yang signifikan.
Seiring meningkatnya informasi ilmiah yang dapat diakses oleh masyarakat, pemahaman tentang ular Silong dan spesies yang menyerupainya mulai berubah. Mitos lama perlahan digantikan oleh pengetahuan yang lebih akurat, memungkinkan masyarakat untuk memandang ular ini dengan lebih objektif. Edukasi mengenai perbedaan antara ular berbahaya dan tidak berbahaya dapat membantu mengurangi kesalahpahaman serta mendorong masyarakat untuk hidup berdampingan dengan satwa liar secara lebih harmonis. Pada akhirnya, kisah tentang ular Silong mengingatkan kita bahwa tradisi dan ilmu pengetahuan dapat berjalan beriringan, saling melengkapi dalam memahami keanekaragaman hayati daerah.
Leave a Reply
Terkait