Anda yang pernah tinggal di daerah pedesaan pasti pernah mendengar mitos tentang burung kedasih, burung pembawa pesan kematian. Ada banyak masyarakat yang percaya bahwa siulan burung tersebur merupakan petunjuk bahwa akan ada orang meninggal di daerah setempat. Akibat mitos tersebut, banyak orang yang ketakutan ketika mendengar suara burung ini di dekat rumah mereka. Lantas, benarkah mitos tersebut? Seperti apa sih bentuk burung ini yang sesungguhnya? Yuk, kita kenali lebih dekat si pembawa maut ini!
Cacomantis merulinus, atau yang lebih sering disebut kedasih atau srikedasih merupakan burung dari keluarga cuculidae, dan tersebar di hampir seluruh Asia Tenggara, China dan India. Nama resminya yang dipakai di kalangan peneliti adalah Wiwik Kelabu, merujuk pada warna tubuhnya yang sebagian besar abu-abu. Sebenarnya bentuk burung ini tidak seseram reputasinya di masyarakat, dengan dada dan perut berwarna oranye terang yang terlihat cantik. Mungkin satu-satunya hal yang agak menakutkan dari burung ini adalah matanya yang berwarna merah menyala, itupun jarang terlihat jelas bila kita tidak mengamatinya dari dekat.
Seperti jenis lain di keluarga cuculidae, burung Wiwik Kelabu cenderung pemalu, sulit ditemukan wujud aslinya, dan lebih sering terlihat di tempat-tempat yang sepi, termasuk kuburan. Cara termudah untuk mengetahui keberadaannya adalah melalui suaranya yang khas, siulan dengan nada tinggi dan menyayat hati “wiiik..wiiik…wikwikwikwik” berulang-ulang. Di saat-saat tertentu, burung ini memiliki ‘lagu’ yang berbeda, yaitu siulan rendah “ku ku ku ku” yang memang terdengar seperti nyanyian sedih. Mungkin kombinasi antara suara yang sendu ditambah hobinya yang suka bersembunyi di tempat sepi membuat masyarakat sering menyangkut-bautkan burung ini dengan kematian.
Sebenarnya, gelar ‘pembawa kematian’ masih bisa disematkan bagi burung ini, setidaknya bagi calon anak burung dari spesies lain yang masih berada di dalam telur. Seperti burung dari keluarga cuculidae yang lain, Wiwik Kelabu tidak mengerami telurnya sendiri, melainkan ‘menitipkan’ telur tersebut ke sarang burung-burung kecil dari jenis lain seperti cikrak (Phylloscopus sp). Sang induk yang akan bertelur akan mencari sarang burung lain yang belum dierami, meletakan satu butir telurnya di sarang tersebut, kemudian langsung meninggalkannya begitu saja.
Biasanya, ‘telur palsu’ dari si Wiwik Kelabu memiliki corak yang sama dengan telur di sarang yang sama, sehingga burung pemilik sarang akan tertipu. Sang pemilik sarang asli akan mengerami telur di sarang tersebut, baik telur asli maupun telur yang ‘palsu’ hingga menetas. Anakan Wiwik Kelabu menetas lebih cepat dari telur pemilik sarang yang asli, kemudian dia akan mendorong telur-telur lain hingga jatuh dari sarang dan mati. Dengan cara ini, anakan Wiwik Kelabu tidak akan memiliki pesaing dan mendapatkan suplai makanan yang jauh lebih banyak dari induk tirinya. Unik sekali, ya?
Meskipun terdengar kejam, perilaku ‘parasit sarang’ ini menunjukan bagaimana uniknya dunia hewan yang ada di sekitar kita. Perilaku tersebut juga membantu menjaga keseimbangan ekosistem di alam dengan membatasi populasi burung yang menjadi inang dari anak burung Wiwik Kelabu tersebut. Hal ini seharusnya dapat menyadarkan kita tentang betapa pentingnya keberadaan burung-burung ini di habitat aslinya, berusaha bertahan hidup sambil terus memerankan perannya masing-masing dalam menjaga keseimbangan alam agar tetap lestari sepanjang waktu.
Ya, itulah sekilas cerita tentang si Wiwik Kelabu, burung pembawa kematian. Terserah Anda ingin tetap percaya atau tidak terhadap mitos tersebut, yang jelas burung-burung ini akan tetap bernyanyi dan menghiasi alam dengan lagu sendunya sepanjang waktu.
http://pecintasatwa.com/mengenal-wiwik-kelabu-burung-pembawa-pesan-kematian/
Tinggalkan Balasan
Anda harus masuk untuk berkomentar.