Madu dan Konservasi; Harmoni Ekologi, Ekonomi, dan Sosial di Suaka Margasatwa Rawa Singkil

Bioprospeksi, Kehutanan, Pangan Lokal, Pertanian
Madu dan Konservasi; Harmoni Ekologi, Ekonomi, dan Sosial di Suaka Margasatwa Rawa Singkil
13 March 2025
10
0

Masyarakat sekitar hutan menjadi agen penting dalam mewujudkan upaya pengelolaan sumber daya hutan berkelanjutan berbasis pengetahuan lokal. Hasil penelitian menyatakan bahwa semakin dalam pemahaman masyarakat terhadap pengetahuan lokalnya, akan berimplikasi positif terhadap praktik pemanfaatan sumber daya hutan di sekitarnya (1). Penelitian ini tentu berkorelasi dengan kondisi di Indonesia, dimana sekitar dua per tiga dari daratannya berstatus sebagai kawasan hutan, sekaligus terkenal dengan keberagaman kulturnya. Sehingga menjadi rahasia umum bahwa masyarakat lokal di Indonesia memiliki seperangkat aturan untuk tata kelola sumber daya hutan. Fenomena ini tentunya menarik untuk dikaji secara spesifik, sehingga dapat melahirkan sebuah sintesis semi-kultural yang khas tiap wilayah untuk pengelolaan hutan berkelanjutan di Indonesia.

Salah satu lanskap hutan yang paling terkenal di Indonesia berasal dari Provinsi Aceh. Membaca nama Aceh, saya yakini teman-teman langsung membayangkan Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) yang menjadi destinasi pendakian tersohor di Indonesia, yakni sebagai rute pendakian terpanjang di Asia Tenggara dengan waktu tempuh mencapai 14 hari untuk pergi dan kembali.

Tahukah teman-teman? Selain TNGL, Aceh juga memiliki kawasan penting sebagai penyumbang kekayaan keanekaragaman hayati di Indonesia, kawasan ini dinamakan Suaka Margasatwa Rawa Singkil (SMRS).

Suaka margasatwa merupakan sebuah kawasan yang ditunjuk secara khusus sebagai habitat satwa liar yang terancam punah, untuk SMRS sendiri berdiri karena menjadi habitat penting bagi orangutan sumatera di Indonesia, bahkan para aktivis lingkungan percaya bahwa SMRS merupakan “Jakarta”-nya orangutan sumatera.

Apabila teman-teman berseluncur di mesin pencarian google ataupun menggunakan AI dengan kata kunci “Suaka Margasatwa Rawa Singkil”, informasi yang muncul umumnya terkait dengan peran penting SMRS terhadap fungsi ekologi semata. Hal ini merupakan temuan yang wajar, sebab kawasan yang berstatus sebagai suaka margasatwa seyogyanya memang tidak diperuntukkan bagi kegiatan pemanfaatan sumber daya hutan lainnya, apapun itu bentuknya.

Namun perlu kita ketahui bersama, selain habitat orangutan sumatera, SMRS juga diciptakan sebagai karunia bagi masyarakat sekitar untuk memenuhi kebutuhan hidup, baik itu ekonomi ataupun sosial. Jauh sebelum dideklarasikan sebagai suaka margasatwa, komunitas masyarakat Buloh Seuma telah berinteraksi langsung dengan rawa singkil, bahkan memiliki tradisi untuk memanen madu hutan secara tradisional dari dalam dan sekitar SMRS. Apabila mengacu pada regulasi, tentu saja hal ini tidak diperbolehkan, namun inilah keunikan Indonesia, sebuah kebijakan yang berlaku secara nasional harus memiliki kelentingan untuk mengakomodir kepentingan lokal.

Buloh Seuma sendiri merupakan sebuah “kemukiman”, yakni sebuah pemerintahan adat yang hanya ada di Aceh. Secara administrasi, wilayahnya termasuk dalam Kecamatan Trumon, Kabupaten Aceh Selatan, Provinsi Aceh. Pemukiman ini berada persis di tengah-tengah antara hutan dan lautan yang langsung menghadap ke Samudera Hindia. Hutan-hutan di sekitar pemukiman Buloh Seuma juga diduga menjadi salah satu pusat habitat orangutan sumatera di SMRS (2).

Seiring berjalannya waktu, pemanenan madu hutan secara tradisional oleh masyarakat Buloh Seuma menjelma sebagai instrumen penjaga stabilitas elemen konservasi di SMRS, baik itu perlindungan, pengawetan, ataupun pemanfaatan secara berkelanjutan. Mengapa demikian? Sebab melalui pemanenan ini, masyarakat secara tidak langsung melindungi keberadaan SMRS, terutama untuk memastikan ketersediaan habitat bagi lebah agar dapat terus memproduksi madu liar secara terus menerus. Bahkan konsep ini telah diterapkan oleh masyarakat jauh sebelum penetapan Rawa Singkil sebagai kawasan konservasi.

Sayangnya, kontribusi masyarakat di Buloh Seuma dalam pengelolaan hutan berbasis pemanfaatan madu hutan secara tradisional ini masih belum terdokumentasi secara optimal. Bahkan sebagai salah satu sumber pendapatan, “Kecamatan Trumon dalam Angka Tahun 2024” tidak mencatatkannya, padahal pemanenan madu hutan Buloh Seuma menjadi salah satu hasil hutan bukan kayu dari SMRS. Apalagi pendapatan dari madu hutan tersebut cukup fantastis dan berkontribusi sebagai pondasi struktur sosial-ekonomi masyarakat Buloh Seuma di era modern.

Informasi ini menjadi salah satu bukti terhadap pendapat tentang korelasi positif antara pengetahuan lokal dengan keberlanjutan sumber daya hutan. Tidak perlu bersusah payah “memagari” kawasan sebagai langkah awal menjaga keberlanjutan sumber daya hutan, utamakan interaksi bersama masyarakat, dorong komitmen untuk memastikan eksistensi pengetahuan lokal terhadap tata kelola sumber daya hutan. Niscaya, cita-cita Indonesia untuk mewujudkan keseimbangan secara ekologi, ekonomi, dan sosial dapat terwujud seiring berjalannya waktu.

Referensi

  1. Adom D. 2016. Inclusion of local people and their cultural practices in biodiversity conservation: lesson from successful nations. American Journal of Environmental Protection. 4(3): 67 – 78. doi: 10.12691/env-4-3-2.
  2. Prijono A. 2016. Saga Konservasi Narasi Pelestarian di Pesisir Barat Aceh. Sofiawan A, ed. Jakarta: KEHATI.
Aceh, Buloh Seuma, Leuser, Rawa Singkil Wildlife Reserve, Suaka Margasatwa Rawa Singkil, biodiversitas
Tentang Penulis
Syahlan Faluthi
IPB University - Ilmu Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

2025-03-13
Difference:

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *