Apakah Industri Perbenihan Jagung Mengancam Pelestarian Dan Penggunaan Sumber Daya Air ?

Ketahanan Pangan, Pangan Lokal, Pertanian, Pertanian Organik, Tumbuhan, Urban Farming
Apakah Industri Perbenihan Jagung Mengancam Pelestarian Dan Penggunaan Sumber Daya Air ?
21 Juli 2024
311

Topik air dalam dunia pertanian merupakan topik yang sangat hangat dan selalu menjadi perbincangan khususnya pada musim kemarau dibanyak portal berita atau bahkan media sosial. Urgensi akan kebutuhan air bagi para petani sangat tinggi  mengingat beberapa tanaman tidak dapat tumbuh dengan baik pada musim kemarau. Akibatnya, banyak petani menekan resiko dengan menanam tanaman pangan seperti tanaman jagung dari pada komoditi lainnya yang memiliki daun lebar. Peralihan ini telah membentuk suatu kebiasaan atau habit tersendiri bagi petani pada tiap siklus tanamnya, khususnya di musim kemarau.

Hal baru pada dunia pertanian terjadi dekat-dekat ini, dimana industri perbenihan jagung hibrida Indonesia sedang mengalami pertumbuhan yang sangat signifikan akibat adanya kesegaran investasi besar-besar dari perusahaan asing yang sebelumnya dijaga ketat dan disengketakan oleh para pebisnis benih hibrida lokal dalam tuntutan Majelis Konstitusi pada tahun 10 September 2014, dimana penanaman modal asing dalam perbenihan hanya akan disediakan ruang investasi sebesar 30% saja. Penulis juga sempat mendengarkan langsung dari saksi dalam sidang MK tersebut dalam acara kampus yang diselengarakan oleh Komunitas Mahasiswa Benih (KMB) Politeknik Negeri Jember yang bertajuk seminar dengan tema "Optimalisasi Sumber Daya Manusia Yang Berkualitas Guna di Dunia Industri Benih" dengan pemateri Ir.H. Slamet Sulistyono, S.P. selaku pebisnis dan pemilik benih lokal PT. Benih Citra Asia (BCA).

Gambar sebelah kiri merupakan seminar ilmiah mengenai seluk beluk perusahaan perbenihan dengan pemateri Ir.H. Slamet Sulistyono, S.P., sedangkan Gambar sebelah kanan merupakan grafik perusahaan global yang bergerak didunia perbenihan hibrida

Terbukanya kembali penanaman modal asing (PMA) akibat UU Cipta Kerja membuat penanam modal asing tersenyum kembali khususnya yang bergerak dibidang pertanian. Salah satu contoh  yang terlihat jelas adalah menjamurnya industri saprotan berupa perusahaan luar negeri yang memproduksi benih hibrida, dimana mulai melebarkan sayapnya khususnya pada komoditi jagung. Deretan perusahaan luar negeri seperti Syngenta, Bayer, Corteva, Pioner, dan Advanta banyak mengambil alih perhatian petani di negeri ini dengan sistem kontrak/kerja samanya yang menggiurkan serta jelas, mengingat harga dari jagung pipil terkadang naik turun yang sulit ditebak. Akibat adanya daya antusias tinggi dari para petani, lingkungan yang mendukung, dan pendampingan petugas swasta tiap perusahaan yang giat, menyebabkan persaingan bisnis dan perebutan lahan pertanian terjadi dengan perusahaan benih nasional. Dari dampak tersebut banyaknya petani akhirnya homogen atau serempak menanam dan mengembangkan diri menjadi penangkar benih. Sayangnya dampak buruk yang terjadi akan aktivitas ini adalah kelangkaan air akibat budidaya yang tinggi pada tanaman jagung, diperparah dengan kapasitas air yang tidak memumpuni, serta infrastruktur yang kurang merata. Dari hal tersebut bisa dikatakan bahwa industri perbenihan jagung dapat mengancam keberlangsungan pelestarian air dan sumber air.

Gambar kiri merupakan studi membahas terkait aktivitas pertanian dengan konservasi air, sedangkan gambar kanan merupakan chart atau tabel yang menunjukkan penggunaan air ditiap tanaman/komoditi.

Dalam abstraknya Juanda & Samadi (2024) menjelaskan bahwa pertanian bertanggung jawab akan penggunaan air yang berlebih, menyebabkan terganggunya konservasi air dan penurunan muka air tanah, selain dari kegiatan non pertanian, dan limbah rumah tangga pada irigasi sawah. Dalam laporan FAO pada tahun 2022 juga dijelaskan bahwa setidaknya tanaman jagung termasuk dalam kategori kolom 4, dimana membutuhkan atau mengkonsumsi air sebesar 10-20% lebih banyak dari pada rumput, walaupun sebenarnya terdapat kolom 5 yang merupakan puncak dari penggunaan air terbesar, sehingga dapat menyebabkan ganggu pada konservasi air khususnya pada permukaan air tanah. Sayangnya, di Indonesia komoditi padi dan jagung merupakan komoditi yang sering ditanam dari pada tebu, kacang-kacangan dan pisang.

Penelitian Meng et al., (2016) pada gambar kiri menunjukkan bahwa jagung modern 2000-an memiliki tingkat perkembangan yang kurang baik pada ladang tadah hujan, karena jagung modern sekarang cenderung membutuhkan energi yang besar untuk pertumbuhannya, disisi kanan menunjukkan penelitian Kranz et al., (2008) yang dimana terdapat ilustrasi siklus pertumbuhan jagung di Nebraska

Klaim FAO juga didukung dalam jurnal ilmiah Meng et al., (2016) dimana varietas jagung modern sekarang jauh lebih rewel dari pada jagung varietas pada tahun 1980-an, khususnya dari tingkat konsumsi airnya yang tinggi guna menunjang pertumbuhannya dan sensitivitas terhadap perubahan iklim yang terjadi; dampak ini bisa terjadi dikarenakan pemuliaan sekarang jauh lebih berfokus untuk mengatasi world hunger, sehingga tanaman dirancang dengan fokus yield tinggi (berhubungan dengan bentuk tongkol yang besar), dari hal tersebut bila suatu wilayah budidaya telat hujan atau kapasitas airnya tidak memumpuni maka gagal panen akan terjadi, sehingga menimbulkan kerugian ekonomi yang tinggi khususnya bagi kalangan petani. Selanjutnya dijelaskan secara rinci dalam studi yang dilakukan oleh Kranz et al., (2008) bahwa kebutuhan air dalam tanaman jagung akan terus meningkat seiring dengan laju pertumbuhan, khususnya pada fase memasuki vegetatif ke generatif, selain itu penggunaan air akan jauh berlipat ganda bila kondisi tanah pada saat budidaya sukar untuk mencengkram air/mempertahankan kelembaban.  Hal ini sesuai dengan apa yang sedang terjadi dilapangan dimana banyak petani yang kontrak dengan perusahaan benih jagung hibrida akan langsung tanam, tanpa melakukan olah tanah (TOT), sehingga menyebabkan daya serap dan cengkram tanah kurang.

Gambar kiri merupakan kondisi pengairan yang dilakukan petani penangkar benih yang mengairi lahan pertaniannya dengan sistem genang yang memerlukan banyak air, sedangkan gambar kanan merupakan hasil studi yang dilakukan ahli Kranz et al., (2008) dalam memetakan kebutuhan air ditiap masa pertumbuhan dan perkembangan tanaman jagung

Selain dampak langsung akan penggunaan air yang mengacu pada terganggunya konservasi air, terdapat pula dampak lain yang dimungkin dapat terjadi, yakni terganggunya biota atau ekosistem sungai yang telah mendiami sungai tersebut. Biota perairan air tawar dapat hilang atau berpindah tempat karena tidak layak huni, akibat aliran banyak digunakan pada sektor pertanian khususnya pada musim kemarau yang debit air akan menyusut, namun klaim ini dapat dibantah dikarenakan saat ini penulis masih belum sepenuhnya mendapatkan literatur yang tepat untuk menggambarkannya.

Diakhir kata kali ini penulis mengambil kesimpulan bahwa beban PR bagi para petani sangat berat khususnya pada musim kemarau yang panjang dan diperparah dengan standart yang harus dipenuhi demi tercapainya kesepakatan MOU yang berlaku. Belum lagi petani belum memiliki andil penuh akan kedaulatan air dan infrastruktur irigasi, banyak petani dalam budidayanya masih menggunakan sistem membanjiri lahan sehingga menyebabkan penggunaan air yang sia-sia. Selain itu penulis berharap kedepan kelompok masyarakat, LSM, kelompok tani, dan perusahaan swasta bisa lebih merangkul keseimbangan bisnis yang berkaitan dengan sustainable goals terwujud, karena bila iklim atau wadah suatu bisnis sehat maka para pelakunya akan juga tetap hidup.

#Jagung, #kapitalisme, #kelangkaan air, #konservasi, #konservasi air, #lahan, #perusahaan, Hibrida, Pertanian, biodiversity
Tentang Penulis
Bima Oktasa Dwi Wardana
Produksi Pertanian

Tinggalkan Balasan

2024-08-26
Difference:

Tinggalkan Balasan