Pilihan Solusi Ketersediaan Air berdasarkan Analisis Fishbone

Pilihan Solusi Ketersediaan Air berdasarkan Analisis Fishbone
31 Maret 2020
2215

Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia yang memiliki potensi untuk menjadi Poros Maritim Dunia. Namun faktanya dengan luas lautan 3.25 juta Km2 (http://www2.kkp.go.id/) krisis pengelolaan air masih saja terjadi baik di kawasan padat penduduk maupun pesisir. Tabel 1.1. Persentase akses air bersih berdasarkan kepadatan penduduk & area pesisir Jenis Total Penduduk/ Desa Akses Air Bersih Terpenuhi Sumber Padat penuduk 25488767 (Penduduk) 72.55% BPS Pesisir 12827 (Desa) 66.54% KIARA Sumber: BPS & KIARA Berdasarkan data diatas bisa dilihat bahwa kinerja untuk memenuhi akses air bersih belum dapat terakomodir secara optimal. Banyak warga yang didominasi oleh kalangan ekonomi menengah ke bawah, dipaksa untuk menentukan pilihan dalam memenuhi kebutuhan air bersihnya. Pilihan tersebut, yaitu dengan membuat sumur air tanah atau membeli dari perusahaan daerah air minum (PDAM). Padahal kita tahu bahwa kebutuhan akan air merupakan hal mutlak yang harus dipenuhi. Baik dari segi kebutuhan fisik manusia maupun untuk aktivitas sehari-hari. Tubuh kita terdiri dari ±60 persen air yang mana asupan cairan tersebut harus terpenuhi agar metabolisme tubuh dapat berfungsi dengan baik, tidak terkecuali untuk menghindari kemungkinan dehidrasi. Selain itu manusia membutuhkan pelarut tersebut untuk memasak, mandi, mencuci, dan sebagainya. Sehingga apabila kebutuhan tersebut tidak dapat terpenuhi akan menjadi masalah terhadap kesehatan manusia yang tinggal di area tersebut. Menurut Dr. Neil Mcintyre dari Imperial College London, bumi terdiri dari 98 persen air asin dan 2 persen air segar yang layak dikonsumsi. Pada angka 2 persen tersebut, 70 persennya adalah salju dan es, 30 persen air tanah, kurang dari 0,5 persen air sungai dan danau, dan kurang dari 0,05 persennya lagi berasal dari atmosfer. Sementara itu, satu-satunya sumber air bersih terjangkau yang bisa digunakan hanyalah air tanah, sebab air tanah terletak di bawah daratan dangkal. Berdasarkan data tersebut, bisa dibayangkan betapa terbatasnya komoditas air bersih yang tersedia. Pada saat yang sama, populasi manusia terus meningkat setiap harinya. Praktis, angka 2 persen tadi akan menjadi rebutan lebih banyak orang. Ironisnya lagi, pertumbuhan penduduk juga turut meningkatkan masalah pencemaran air. Kawasan resapan air terus berkurang, dan kasus-kasus yang disebabkan oleh rendahnya budaya peduli lingkungan terus bertambah. Masalah air bersih pun berkembang menjadi konflik menakutkan di masa depan. Sehingga apa yang saat ini maupun apa yang sudah terjadi di masa lampau harus menjadi pembelajaran sebagai upaya mitigasi agar kejadian yang sama tidak akan terulang kembali. Gambar 1.1. Analisis Fishbone atau Ishikawa pada kasus penyediaan air Source: Observasi & analisis penulis Dan untuk dapat menyelesaikan permasalahan diatas penulis melakukan pendekatan dengan metode fish bone atau sering juga disebut ishikawa dalam bahasa Jepang. Dengan mengkategorikan terlebih dahulu sumber dari akar masalahnya untuk selanjutnya dicari solusi dari permasalahan tersebut. Seperti pada table matrix berikut:   Tabel 1.2. Matrix Fishbone Parameters Root Cause Measurement 1.      Tidak ada aturan yang ketat 2.      Tidak ada punishment Material 1.      Tidak ramah lingkungan Method 1.      Penurunan muka tanah karena efek dari sumur tanah perorangan 2.      Unhygienic 3.      Reusable waste water Environment 1.      Area resapan berkurang 2.      Kemarau panjang Manpower 1.      Kebiasaan 2.      Kesadaran rendah Machine 1.      Korosi Source: Observasi & analisis penulis Dari matrix diatas, bisa dijadikan framework untuk penyelesaian dari permasalahan yang sedang dibahas. Oleh sebab itu langkah selanjutnya ialah menjabarkan secara lebih rinci, terstruktur dan sistematis pada masing-masing point di setiap parameter. Dimulai dari parameter pengukuran (measurement), yang mana terdapat dua sumber permasalahan utama yang menjadi penyebab rendahnya akurasi yaitu berkaitan dengan penerapan regulasi yang tidak berjalan ketat dan kurangnya punishment yang memberikan efek jera bagi para pelanggar. Dan langkah selanjutnya apabila kedua hal tersebut telah dirumuskan dan disetujui adalah sosialisasi intensif kepada masyarakat pun mengambil peran yang sangat penting. Pemerintah harus memberikan imbauan terkait beberapa hal penting kepada masyarakat. Salah satunya adalah penghapusan BAB (buang air besar) di ruang terbuka, terutama sumber-sumber air semisal sungai dan danau. Selain itu, limbah rumah tangga juga perlu diolah dengan tidak mencampur atau membuang limbah cair bersama benda-benda padat dan cemaran berbahaya. Upaya membenahi kesadaran akan lingkungan ini bisa dikatakan lebih besar pengaruhnya daripada tindakan memperbaiki. Selain itu juga diperlukan pengkajian terhadap PDAM, baik dari segi tugas, proses kerja, maupun tanggung jawab kelembagaan. Pemerintah harus menetapkan standar minimal kinerja untuk PDAM, melakukan pemantauan rutin, penegakan, dan memberikan insentif sebagai apresiasi pekerjaan. Hal ini perlu jadi perhatian karena PDAM merupakan second option dari pilihan yang masyarakat punya/ Selanjutnya adalah material yang tidak ramah lingkungan, pada implementasinya siapapun tidak bisa membatasi jenis material yang akan digunakan dalam proses operasional sebuah perusahaan atau perorangan karena masing-masing memiliki fungsi dan kegunaan nya sendiri. Namun apabila sebuah material telah sampai di titik zero value atau biasa disebut reduksi maka perlu dipastikan material tersebut di treatment terlebih dahulu sesuai prosedur sebelum akhirnya bisa dibuang ke sungai apabila limbah tersebut berupa cairan. Untuk prosedur yang mengatur bisa merujuk pada PP 101/2014 tentang pengelolaan limbah B3. Lalu ada metode, berdasarkan hasil observasi penulis pada point ketiga ini merupakan contributor terbesar dibandingkan parameter yang lain. Kesimpulan ini didapat setelah penulis mendapatkan tiga akar permasalahan yaitu sumur tanah, unhygienic dan reusable waste water. Diawali dari sumur tanah, diparagraf awal penulis menyampaikan bahwa terdapat limitasi dari pilihan yang dimiliki masyarakat khususnya di level ekonomi menengah kebawah, dimana salah satunya yang paling memungkinkan adalah pembuatan sumur tanah. Namun terdapat masalah lain yang berpotensi akan berdampak besar terhadap lingkungan disamping biaya pembuatannya yang mahal yaitu potensi penurunan muka tanah (land subsidence). Seperti di Jakarta, penurunan permukaan tanah terjadi secara berkala yang saat ini mencapai 12 cm per tahun di Jakarta Utara. Secara ilmiah yang menjadi penyebab turunnya permukaan tanah. Pertama berkurangnya air di dalam tanah akibat penggunaan yang berlebihan membuat kandungan air di pori-pori tanah berkurang. Sehingga permukaan tanah turun lantaran adanya rongga tersebut. Dan yang kedua adanya beban permukaan tanah yang berlebih akibat bangunan tinggi. Dengan begitu beban permukaan tanah semakin berat dan membebani lapisan di bawahnya. Lalu yang ketiga konsolidasi natural, atau terjadinya pemantapan tanah yang bersifat natural. Misalnya ada bagian yang terbentuk dari endapan lengkungan pasir-pasir halus yang kemudian mengeras. Ketiga hal tersebut merupakan sebab dari penurunan permukaan tanah, bahkan dalam kasus terparah, land subsidence bisa menyebabkan permukaan tanah ambles. Selanjutnya adalah unhygienic, dari hasil penelitian sebelumnya oleh Ruslan pada tahun 2008 menunjukkan ada variasi risiko kesehatan lingkungan pada jenis pulau yang sama disebabkan oleh variabilitas ecological system. Hal ini menunjukkkan bahwa masyarakat di pulau-pulau kecil sangat rentan terhadap risiko kesehatan lingkungan. Secara nasional, sanitasi dasar atau bahaya yang muncul dari permasalahan lingkungan dan faktor risiko kebersihan serta perilaku yang tidak higienis atau berisiko, menyumbang 19% kematian di dunia akibat penyakit infeksi. Untuk Indonesia sendiri, masalah kesehatan lingkungan dalam hal ini adalah sarana sanitasi pulau-pulau kecil masih sangat memprihatinkan. Belum optimalnya sanitasi di Indonesia ini ditandai dengan masih tingginya angka kejadian penyakit infeksi dan penyakit menular di masyarakat (Badu, 2012). Prevalensi penyakit akibat sanitasi buruk di Indonesia adalah penyakit diare sebesar 72%, kecacingan 0,85%, scabies 23%, trakhoma 0,14%, hepatitis A 0,57%, hepatitis E 0,02% dan malnutrisi 2,5%, serta kasus kematian akibat sanitasi buruk (Mukherjee, 2011). Kondisi sanitasi dasar manusia yang baik akan selalu dikaitkan dengan tersedianya air. Persediaan air yang banyak dan dengan kualitas yang lebih baik akan lebih cepat meningkatkan derajat kesehatan. Penyakit dermatitis merupakan penyakit berbasis lingkungan yang menempati urutan ke-2 dalam 10 besar penyakit yang paling sering terjadi di pulau-pulau kecil. Dermatitis paling banyak menyerang usia dewasa. Air yang tidak bersih dapat menyebabkan penyakit dermatitis, air yang telah terkontaminasi oleh bakteri jika digunakan untuk keperluan masak, mencuci dll tentu dapat mengiritasi kulit. Sehingga perlu menjadi perhatian yang serius dibagian ini. Lalu yang terakhir di parameter metode ialah reusable waste water. Pengelolaan limbah atau hasil samping dari sebuah proses produksi saat ini belum sepenuhnya sesuai dengan standard AMDAL, tentu hal ini sangat mengancam beragam ekosistem yang ada disana. Lain hal nya apabila dilakukan pengelolaan terlebih dahulu, misalnya dengan proses evaporasi dimana kadar air yang masih terdapat pada limbah cair dipisahkan untuk selanjutnya dilakukan beberapa pengujian seperti nilai pH, warna dll. Tentu ini akan lebih berguna untuk menambah debit air bersih yang ada di sungai. Dari ketiga hal diatas dapat disimpulkan bahwa perbaikan metode dimulai dari perubahan mind set tentang solusi jangka panjang, bukan hanya temporary untuk saat ini. Adapun regulasi yang mengatur batasan (threshold) mengenai penggunaan segala hal yang berkaitan dengan penyediaan air bersih adalah mutlak untuk dijalankan. Dengan catatan semua itu berjalain dengan adil tanpa mengedepankan aspek komersial apapun. Beranjak ke parameter yang keempat yaitu lingkungan (environment) yang mana terdapat dua hal yang menjadi focus yaitu berkurangnya area resapan dan kemarau panjang. Mengenai tata kelola area resapan memiliki korelasi dengan apa yang tertuang di parameter metode point 1. Solusi nya adalah pembuatan kebijakan untuk mengatur penggunaan air pada setiap individu disertai dengan awareness dan juga komitmen warga untuk penerapannya. Sebuah system akan dapat efektif dijalankan apabila terdapat reward dan punishment. Biarpun respon baik pro maupun kontra tidak dapat ditampik kehadirannya. Selanjutnya, selain penggunaan air yang massive, terbatasnya luas lahan untuk resapan sebagai dampak pembangunan yang gencar saat ini, terutama dikawasan padat penduduk dan kota-kota besar seperti Jakarta, Bandung dan Surabaya baik yang bersifat legal maupun illegal begitu banyak. Sering pada penerapannya rencana yang telah di proyeksikan sejak lama untuk area resapan harus terbentur karena isu penolakan maupun aspek komersial. Tentu ini akan sangat menghambat perbaikan yang ada, disaat kebutuhan semakin bertambah setiap harinya. Adapun langkah yang perlu dilakukan dalam upaya memperbaiki tata kelola area tersebut adalah dibagi dua, yang pertama ada preventive action dan selanjutnya corrective action. Dimulai dari preventive yang mana ini adalah kunci sebuah perencanaan yang baik, dengan kita melakukan analisis resiko diawal maka kita dapat mengetahui upaya apa yang dapat dilakukan untuk mengantisipasi worst case tersebut. Misalnya saja apabila lahan di Jakarta sudah tidak cukup lagi untuk melakukan expansion area resapan, maka kita perlu mencari area yang memiliki space luas dengan struktur lapisan tanah yang baik untuk penyerapan yang selanjutnya kedua area tersebut di integrasikan dengan system piping sehingga kebutuhan air di Jabodetabek tetap dapat terakomodir. Dan yang tidak kalah penting masih dalam hal preventive yaitu penyusuan kebijakan yang mengatur IMB (izin mendirikan bangunan) yang mana point-point di dalamnya perlu mempertimbangkan juga peruntuhan lahan yang akan dibangun selain luas tanahnya agar nantinya run rate penggunaan air dapat di estimasi dan dimonitor. Dampak yang sangat terasa ada pada warga yang tinggal disekitarnya. Apalagi jika area yang dimaksud selanjutnya akan dibangun line produksi yang membutuhkan air sebagai solvent dalam debit yang besar, tentu hal tersebut akan sangat memberatkan. Atau cara lainnya adalah apabila pemerintah telah melakukan akusisi untuk sebuah proyek resapan namun ternyata proyek tersebut belum dapat di eksekusi di tahun yang sama, maka area tanah yang telah di akusisi tersebut tetap perlu ada pemantauan berkala agar pada saat digunakan tetap sterile tanpa ada isu dari masalah perizinan maupun komersial yang belum terpenuhi. Karena dalam beberapa kasus sering terdapat oknum warga yang mengklaim bahwa mereka belum mendapatkan uang konpensasi apapun di waktu lampau yang tentunya hal tersebut bertentangan dengan fakta yang ada. Tentu ini akan menjadi hambatan bagi berjalannya project improvement ini. Lalu selanjutnya ada corrective action, hal ini dilakukan apabila kendala tersebut sudah di depan mata. Tentu diperlukan pengambilan keputusan yang cepat dan tepat berdasarkan intuisi dan analisis resiko yang matang, Seperti pada saat terjadi kekeringan terjadi merata di semua daerah di Indonesia. Apakah yang perlu dilakukan? Apakah membuka diri dari bantuan Negara lain? Atau merangkul semua ahli untuk selanjutnya berdiskusi dan sama-sama merumuskan untuk action plan nya seperti apa. Hal tersebut perlu dipikirkan secara matang. Yang diprediksikan paling akan berpengaruh adalah ketika pemerintah merangkul lembaga-lembaga research untuk terus mengembangkan teknologi dalam penyediaan sanitasi dan air bersih. Mengingat kepadatan penduduk di Indonesia, teknologi level standar tidak bisa betul-betul bekerja efektif pada pengairan. Kurangnya ruang dan jarak sumber air yang dekat juga menjadi alasan lainnya. Dalam penyediaan air, melakukan penyebaran sumber daya teknologi ke daerah-daerah lebih efektif daripada pemusatan di satu sektor. Bagaimanapun, sumber air yang tersedia tidak terletak pada satu titik saja. Selain dari faktor manusianya yang tentu hal ini dapat dilakukan dengan sinergi semua pihak, ada juga factor alam yang sering ini diluar control manusia manapun. Contohnya kekeringan karena kemarau yang panjang yang dapat mengurangi persentase angka ketersediaan air bersih. Adapun pada tahun 2017, BMKG mengeluarkan data menyangkut musim kemarau yang berakibat kekeringan pada berbagai daerah di Indonesia. Tidak hanya menyurutkan sumber air bersih untuk kebutuhan pangan, faktor tersebut juga berpengaruh terhadap industri dan lingkungan. Berhubung air layak konsumsi sukar didapat, industri makanan dan minuman mengakalinya dengan filtrasi pada air yang tak layak. Meskipun sudah disaring, tidak ada jaminan teknologi level standar tersebut akan bekerja sempurna. Di Jawa Barat, Sutopo Purwo Nugroho selaku Kepala BNPB, mengungkapkan bahwa kekeringan yang melanda telah berdampak kepada 936.328 jiwa penduduk. Sama halnya dengan Jawa Tengah dan Jawa Timur, mengalami kekeringan yang diakibatkan musim kemarau tahun itu. Lalu, di NTB, sebanyak 640.048 jiwa turut merasakan dampak dari kekeringan. Di NTT, 9 kabupaten melaporkan kekeringan disebabkan sumber-sumber air yang mengering. Sementara itu, di Yogyakarta, kekeringan menyerang hingga 10 kecamatan di Kabupaten Kulon Progo. Dari data tersebut ternyata Indonesia bukan pertama kalinya merasakan kemarau panjang, sehingga kita perlu flashback & menarik semua data kebelakang untuk dilakukan sampling dan uji kecukupan data. Sehingga data empiris yang di tampilkan dapat menjadi input dalam pengambilan keputusan pada setiap kasusnya. Dan apabila dilihat apa yang ada pada point kemarau ini, hubungannya sangat erat dengan tata kelola penyediaan air bersih. Karena tersedia atau tidaknya air untuk dapat mencukupi di musim kemarau yang panjang adalah tergantung pada system dan tata kelolanya. Juga rasa kemanusaan perlu diterapkan sejak dini, dimana gotong royong menjadi pondasi saat satu mengalami kesulitan yang lain datang membantu dan bahkan bukan untuk menutup diri. Contohnya melakukan pertolongan alternatif dengan sedekah air bersih. Dibandingkan dengan kelompok berfinansial cukup, mereka yang kekurangan cenderung terbebani biaya besar untuk memenuhi kebutuhan air bersih. Jika kekeringan melanda, sumber-sumber air dengan jarak dan biaya terjangkau akan menipis. Akhirnya, masyarakat terpaksa mengeluarkan dana lebih, atau bahkan mengonsumsi air yang kualitasnya lebih buruk. Karena itulah, bantuan air bersih dari sesama merupakan pertolongan yang mulia. Dan sejatinya cara bersedekah pun beragam. Bisa dengan memberikan air minum secara langsung, membangun sumber daya air bagi daerah-daerah yang kesulitan, berdonasi, maupun menjadi relawan peduli lingkungan. Karena air begitu penting bagi kehidupan, memberikan atau memudahkan akses air bersih kepada makhluk hidup sama dengan merawat kehidupan itu sendiri. Selanjutnya saya mengobservasi apa yang terjadi pada manusia ataupun warganya, mungkin stigma yang terbangun saat ini adalah melulu tentang behavior, memang faktanya benar namun berdasarkan data berikut saya sangat bangga dan bersyukur karena terdapat penurunan yang cukup significant disbanding tahun-tahun sebelumnya. Ini menunjukan perlahan kesadaran tersebut mulai ada, dan di negara maju manapun bahkan sekaliber Negara adi daya amerika perlu waktu puluhan bahkan ratusan tahun untuk dapat berada di titik kesadaran penuh warganya dan bukan secara instan tapi hal tersebut lebih kepada proses yang siapapun perlu melaluinya terlebih dahulu. Lalu ada juga kebiasaan lain yang tidak kalah penting adalah penggunaan air itu sendiri, hingga saat ini tidak ada regulasi yang mengatur penggunaan air hingga menyentuh sampai ke aspek individu. Semua orang bebas menggunakan air selama persediaan masih melimpah, dan hal tersebut seakan jadi bom waktu saat persediaan mulai menipis. Mulai dari untuk kebutuhan sehari-hari, kakus hingga kelalaian seperti lupa mematikan air pada saat mengisi juga tidak ada yang mengatur. Maka dari itu mari kita redam ego masing-masing untuk sama-sama peduli akan kebutuhan air bukan hanya untuk generasi saat ini namun juga untuk generasi mendatang yang akan membawa Indonesia semakin baik dari waktu ke waktu dengan cara menanamkan gagasan pentingnya air bersih sejak dini. Poin ini juga merupakan tindakan penyuluhan, hanya saja lebih menjurus kepada anak-anak yang berusia lebih muda. Hal tersebut dapat dilakukan dengan menggaet sekolah-sekolah untuk terus mengingatkan para siswa. Tema-tema kesehatan, lingkungan, dan peduli sosial diangkat menjadi salah satu materi pembelajaran. Dengan terlibatnya para generasi muda, kita bisa lebih antisipatif terhadap masalah air bersih di masa depan. Dan yang terakhir adalah efek terhadap machine atau peralatan, kualitas air yang rendah dengan kondisi pH yang tidak normal akan sangat berpengaruh pada keutuhan material yang terkena sentuhan langsung. Misalnya apabila air tersebut telah tercemar suatu zat kimia sehingga mengubah sifatnya menjadi asam atau basa, dan sesaat setelah terkena logam menyebabkan korosi maka saat itu juga kita harus mulai kritis untuk berpikir lalu bagaimana apabila air tersebut masuk kedalam tubuh saya. Yang mana air yang sudah terkontaminasi mikroorganisme—termasuk senyawa polutan mikro mutagenik dan karsinogenik (penyebab kanker), sehingga turut memberikan dampak buruk pada makhluk hidup. Jika air tercemar itu dikonsumsi oleh masyarakat, penyakit-penyakit berbahaya akan turut mengintai. Efeknya, perkara ekonomi untuk pengobatan menjadi lebih pelik lagi. Yang lebih miris, hal ini lebih rawan terjadi pada negara-negara berkembang, termasuk Indonesia. Lalu solusinya adalah melakukan penjernihan melalui system filtrasi pada air yang tercemar atau apabila pencemaran bukan bersifat fisik melainkan kimia perlu dilakukan beberapa langkah dan hal tersebut akan masuk ke point waste treatment karena apabila dilakukan dengan pihak yang area expertisenya bukan dibidang tersebut akan sangat beresiko, terlebih apabila nantinya air tersebut akan dikonsumsi tentu sangat tidak dianjurkan. Namun terdapat poin positif dari parameter ini, dengan kita mengetahui pengaruh air terhadap benda di sekitar maka itu secara otomatis akan menjadi indicator dan menunjukan kepada kita apakah air tersebut layak untuk digunakan dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari atau tidak. Hanya yang menentukan adalah telah berapa lama pencemaran tersebut berlangsung dan berapa lama kita bisa sadar akan masalah tersebut akan sangat menentukan dampak yang didapat apakah bersifat kronis ataupun kritis. Berikut enam parameter yang menjadi sebab akibat dari kurangnya persediaan air di Indonesia beserti pilihan solusi yang ditawarkan dengan merunut kepada data yang menunjukan permasalahan mengenai persediaan air bersih diseluruh dunia berdasarkan referensi yang valid dan dapat dipertanggung jawabkan. Adapaun rangkuman dari setiap solusi yang ditawarkan, akan ditampilkan pada paragraph kesimpulan dibawah ini. Kesimpulannya adalah apabila terdapat slogan bahwa air merupakan sumber kehidupan adalah benar. Tidak ada satupun didunia ini yang dapat hidup tanpa air. Namun air tersebut memiliki batas baik dalam persediaan maupun recoverynya. Aturan memang perlu ada namun kesadaranlah yang akan merubah keadaan. Tentang bagaimana semua makhluk hidup dengan saling memberi dan bukan untuk memuaskan kepentingan pribadi. Saat ini, sudah banyak komunitas yang bergerak untuk mengatasi masalah air bersih di Indonesia bahkan dunia. Untuk turut memberikan andil, Anda bisa memilih bentuk bantuan yang sanggup Anda berikan. Pertama, memberikan donasi. Kedua, bergabung menjadi relawan untuk mendistribusikan sarana air bersih secara profesional. Ketiga, mengusulkan lokasi yang patut mendapat akses air bersih; pun mencakup komunitas masyarakat atau fasilitas umum—masjid misalnya—yang memang kekurangan air. Dan yang keempat adalah dengan mengkritisi pemangku kebijakan melalui karya yang edukatif sehingga bukan hanya permasalahan yang diangkat namun menawarkan juga solusi dari permasalahan yang ada secara sistematis, terstruktur dan berlaku massive. Mari kita sama-sama menjadikan ini sebagai momentum untuk menciptakan sinergi antar bangsa, ras dan budaya diseluruh penjuru dunia tanpa terkecuali demi kelangsungan generasi mendatang umat manusia. #bwkehati #hariairsedunia #bwchallenge

Tentang Penulis
Muhammad Arif Nurrohman
Universitas Pancasila

Tinggalkan Balasan

Artikel
Terkait
Tidak ada artikel yang ditemukan
2020-03-31
Difference:

Tinggalkan Balasan