Buaya Muara (Crocodylus porosus), Si Perkasa Pesisir Jakarta

Satwa
Buaya Muara (Crocodylus porosus), Si Perkasa Pesisir Jakarta
2 September 2016
1846
0

Buaya Muara (Crocodylus porosus), Si Perkasa Pesisir Jakarta

Berbicara tentang buaya, yang terlintas diingatan adalah salah satu tradisi dari Suku Betawi, yaitu roti buaya. Suku Betawi percaya bahwa buaya hanya kawin sekali dengan pasangannya. Karena itu, roti ini dipercaya melambangkan kesetiaan dalam perkawinan.

Pada saat pernikahan, roti diletakkan di sisi mempelai perempuan dan para tamu. Buaya secara tradisional, dianggap bersifat sabar (dalam menunggu mangsa). Selain kesetiaan, buaya juga melambangkan kemapanan. Akan tetapi, kini dalam simbolisme budaya modern, makna buaya berubah menjadi hal yang buruk, misalnya buaya darat (orang yang mata keranjang).

Karena itu, penyebutan lelaki buaya untuk menyebut laki-laki yang doyan perempuan sesungguhnya salah kaprah. Selain muncul dalam bagian terpenting orang Betawi, yakni pernikahan, mitos buaya juga bertebaran dalam folklor Betawi.

Salah satu kisah yang paling terkenal adalah cerita Nenek Jenab dan Buaya Buntung. Alkisah, Jenab yang sangat cantik selalu menolak pria yang ingin melamarnya. Namun, ketika ia sudah berumah tangga, suaminya justru berubah menjadi buaya buntung.

Ada lagi kisah buaya putih penunggu Setu Babakan, cagar budaya Betawi di selatan Jakarta. Buaya putih itu adalah seorang gadis cantik yang memilih menceburkan diri ke hutan karena putus asa akibat kekasihnya tak kunjung datang dan melamarnya.

Di Kalimalang, Jakarta Timur juga ada mitos tentang buaya penunggu sungai atau orang yang mengaku bersaudara dengan buaya. Namun sayangnya, keberadaan buaya yang merupakan local wisdom dan sumber nilai orang Betawi justru dikaitkan dengan kisah-kisah buruk, seperti buaya buntung meminta tumbal berupa nyawa manusia.

Pada tanggal 22 Agustus 2016, teramati satu individu Buaya muara (Crocodilus porosus) di Hutan Lindung Angke Kapuk, Jakarta Utara. Hutan Lindung Angke Kapuk merupakan salah satu kawasan konservasi alami yang masih tersisa di Ibu Kota dan merupakan Hutan Mangrove terakhir di Jakarta.

Kawasan konservasi ini mempunyai luas 44,76 Ha, belum banyak masyarakat yang mengetahui kawasan ini, karena memang areal ini dikelilingi perumahan mewah, maka tidak semua masyarakat tahu akan kawasan ini. Jika dilihat dari geografis kawasan ini, sebenarnya memiliki peran penting untuk menjaga laut Jakarta tetap terjaga dan mencegah terjadinya banjir pasang surut air laut.

Buaya muara (Crocodilus porosus) atau Saltwater crocodile yang ditemukan di Hutan Lindung Angke Kapuk, Jakarta Utara ini diperkirakan masih remaja yang memiliki panjang kurang lebih 1 meter. Dinamai Buaya Muara, karena buaya ini terutama hidup di sungai-sungai dan di dekat laut (muara). Buaya ini juga dikenal dengan nama buaya air asin, buaya laut, dan nama-nama lokal lainnya.

Buaya muara memiliki ekor yang panjang dan kuat, yang digunakan untuk berenang. Selain itu,ekor tersebut juga digunakan untuk menyerang mangsa dan mempertahankan dirinya. Warna kulit si perkasa ini cokelat kotor sampai hitam dengan bentuk kepala yang lonjong, sedangkan bentuk moncong bervariasi menurut umur dan ukuran tubuh.

Buaya muara mencapai kedewasaan pada ukuran panjang 3-3,6 meter. Panjang minimum buaya muara individu betina pada saat memijah adalah 2,2 meter dan 3 meter untuk individu jantan, atau individu betina minimum berumur 10 tahun dan individu jantan berumur 15 tahun.

Di alam, Buaya muara mulai berkembangbiak apabila individu betina telah mencapai umur 10 tahun dan individu jantan mencapai umur 15 tahun. Masa hidu nya dapat mencapai 60-80 tahun dengan potensial reproduksi dari umur 25-30 tahun.

Buaya muara bereproduksi pada musim hujan, yang berlangsung antara bulan November hingga bulan Maret. Umumnya Buaya muara ditemukan memijah diperairan air tawar, dimana individu jantan akan menetapkan serta mempertahankan wilayahnya apabila ada individu jantan lain yang berusaha masuk ke daerah tersebut.

Lama pengeraman telur berkisar antara 78-114 hari dengan rata-rata pengeraman selama 98 hari. Berat telur Buaya muara yang dihasilkan berkisar antara 69-118 gram dengan berat rata-rata telur sebesar 93 gram. Sedangkan panjang anakan buaya setelah menetas berkisar antara 20-30 cm. Individu betina bertelur pada awal musim hujan. Sekali bertelur dihasilkan rata-rata 22 butir telur dengan berat rata-rata 104 gram, anakan yang menetas berukuran 310-370 mm dan memiliki warna abu-abu kecokelatan.

Buaya muara memperbanyak keturunannya dengan cara bertelur. Kopulasi dilakukan di dalam air yang didahului perkelahian antara individu betina dengan individu jantan dan hanya berlangsung beberapa menit pada siang hari. Tanda-tanda masa birahi dan terjadinya perkawinan adalah individu jantan selalu membenturkan kepala ke tubuh individu betina. Perkawinan terjadi di dalam kolam dan sulit dideteksi, pada umumnya terjadi antara bulan Februari – Oktober.

Sebelum bertelur, individu betina mempersiapkan tempat untuk bertelur yang letaknya tidak jauh dari tepi-tepi sungai dengan mengumpulkan ranting-ranting dan daun yang telah busuk. Setelah telur diletakkan di dalam sarang yang dibuatnya, buaya tersebut menimbun sarang dengan ranting daun busuk yang bercampur dengan lumpur. Setelah itu, individu betina akan menjaga sarangnya hingga telur-telurnya menetas selama tiga bulan, kemudian membawa anak-anaknya ke dalam sungai.

Kelestarian Buaya muara mendapatkan ancaman dari aktivitas manusia, antara lain perburuan dan konversi habitat. Perburuan merupakan ancaman utama. Kegiatan berburu ini biasanya dilakukan oleh masyarakat. Buaya muara termasuk satwa yang dilindungi oleh Peraturan Pemerintah No. 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa liar. Berdasarkan CITES (Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora) atau konvensi perdagangan Internasional tumbuhan dan satwa liar spesies terancam, Buaya muara dimasukkan ke dalam Apendiks II, yaitu daftar spesies yang tidak segera terancam kepunahan, tapi mungkin terancam punah bila perdagangan terus berlanjut tanpa adanya pengaturan. 

Keberadaan Buaya muara di Hutan Lindung Angke Kapuk, Jakarta Utara dapat dijadikan sebagai sarana pembelajaran bagi mahasiswa yang ingin mengetahui lebih detail mengenai perilakunya. Selain itu, juga dapat menarik wisatawan lokal maupun mancanegara yang ingin melakukan destinasi wisata berbasis lingkungan untuk melihat Buaya muara di pesisir Jakarta sehingga terciptanya keharmonisan antara Buaya muara dengan manusia.

Kelestarian populasi Buaya muara ditunjang oleh kelestarian habitatnya. Oleh karena itu, perlu dilakukan pengelolaan habitat agar populasi Buaya muara dapat lestari. Pengelolaan ini dapat dilakukan terhadap faktor-faktor yang dapat dirubah dan diusahakan. Pengendalian habitat ini harus dilakukan bukan hanya oleh pihak pengelola saja, namun harus adanya kerjasama antara pihak pengelola dan masyarakat sekitar.

 

Tentang Penulis
BW Admin
Binus

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

2020-08-20
Difference:

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *