Jerat Ekstraktif dan Deforestasi Sawit Di Sumatera

Aktivitas, Flora, Kehutanan, Perdagangan Karbon, Pertanian, Perubahan Iklim, Satwa, Tumbuhan
Jerat Ekstraktif dan Deforestasi Sawit Di Sumatera
29 November 2025
45
1

 

Sumatera, sebagai salah satu paru-paru tropis dunia, kini menghadapi krisis multidimensi yang berakar pada praktik ekonomi ekstraktif. Model pembangunan yang memprioritaskan komoditas kelapa sawit di atas keberlanjutan ekologis telah menghasilkan sebuah keniscayaan bencana. Tragedi berulang berupa banjir bandang dan longsor lumpur adalah manifestasi paling brutal dari kegagalan tata kelola lahan yang sistemik.

Lumpuhnya Sumatera Utara, Sumatera Barat, dan Aceh membentuk perspektif sinis, saat hutan menjadi pelindung badai siklon tropis, justru dibabat habis menjadi ladang cuan yang tidak ramah ekologis. Narasi ekonomi ekstraktif mengemuka, menjauhkan masyarakat lokal pada hutannya, dan memberikan akses eksekutif pada oligarki dengan dalih investasi.

Ekspansi dan Laju Deforestasi Kontemporer

Meskipun terdapat penurunan laju kehilangan hutan secara global, deforestasi di Indonesia tetap menjadi isu kritis, dengan sawit sebagai salah satu pendorong utamanya. Data menunjukkan bahwa deforestasi bersih tahunan global mencapai 4,12 juta hektare selama periode 2015–2025.

Di Indonesia, tantangan ini terus memburuk, berdasarkan laporan Auriga Nusantara (2024) mengindikasikan adanya kenaikan laju kehilangan hutan, di mana deforestasi pada tahun 2024 saja diperkirakan mencapai 261.575 hektare naik 4.191 hektare dari total deforestasi di tahun 2023. Sekitar 14% dari total kehilangan hutan ini secara langsung terkait dengan pembukaan areal perkebunan sawit.

Ekspansi sawit telah mengubah bentang alam Sumatera secara drastis, dengan luas tanam nasional yang kini melebihi 16,8 juta hektare. Ironisnya, sebagian besar ekspansi ini dilakukan dengan melanggar kaidah hukum.

Temuan BPK pada 2019 menunjukkan bahwa sekitar 81% dari total perkebunan sawit nasional beroperasi di luar batas izin yang sah, termasuk merambah kawasan hutan atau taman nasional sekitar 2,9 juta hektare. Artinya Perkebunan kelapa sawit sebagian besar beroperasi tanpa izin di dalam kawasan konservasi dan lahan gambut, seperti yang pernah dipublikasikan oleh Mongabay tahun 2019.

Pengalihfungsian kawasan hulu menjadi monokultur sawit secara efektif menghilangkan fungsi penyangga hidrologi alami hutan, meningkatkan run-off permukaan dan memicu erosi tanah.

Dampak Ekonomi Ekstraktif: Eksternalitas Negatif Jangka Panjang

Model ekstraktif sawit menciptakan distorsi fiskal, di mana keuntungan dikapitalisasi secara privat, namun kerugian sebagai eksternalitas negatif dibebankan kepada publik. Analisis ekonomi menunjukkan bahwa keuntungan jangka pendek dari Crude Palm Oil (CPO) tidak dapat menutupi biaya yang timbul.

Proyeksi ekonomi dalam perspektif fiskal memperingatkan bahwa ekstensifikasi lahan sawit tanpa kontrol ekologis ketat dapat menyebabkan kerugian akumulatif ekspor mencapai Rp 993 miliar pada tahun 2045, dikarenakan gangguan produktivitas lahan jangka panjang

Kerugian material dan korban jiwa akibat bencana hidrometeorologi, seperti banjir bandang Tapanuli yang terjadi pada November 2025, merupakan beban fiskal yang substansial. WALHI Sumatera Utara secara spesifik menuding tujuh perusahaan ekstraktif yang beroperasi di Ekosistem Batang Toru sebagai dalang utama bencana tersebut.

Biaya rehabilitasi infrastruktur, operasi SAR, dan kompensasi sosial menyedot anggaran negara yang seharusnya dialokasikan untuk sektor produktif lainnya.

Dampak ekologis, pembukaan lahan gambut di konsesi sawit melepaskan emisi karbon dalam jumlah masif. Kebakaran hutan dan lahan gambut, yang sering terjadi di Sumatera dan Kalimantan, dapat melepaskan hingga 1,8 miliar ton CO₂, yang secara signifikan memperburuk krisis iklim global.

Tragedi Lumpur: Konflik dan Bencana Buatan

Fenomena banjir lumpur yang melanda Sumatera adalah sebuah bencana ekologis yang diciptakan oleh manusia, WALHI secara tegas menyatakan bahwa bencana di Tapanuli bukan semata-mata fenomena alam, melainkan konsekuensi langsung dari degradasi ekosistem dan hilangnya tutupan hutan di kawasan hulu Ekosistem Batang Toru akibat aktivitas industri ekstraktif.

Selain kerusakan fisik, praktik ekstraktif ini juga memicu krisis sosial. Ketimpangan penguasaan lahan di wilayah sentra sawit sangat ekstrem, sementara korporasi menguasai mayoritas lahan, masyarakat lokal dan adat seringkali terpinggirkan.

Kondisi ini memicu konflik agraria, di mana sektor perkebunan terutama kelapa sawit menjadi penyumbang konflik tertinggi mencapai 101 kasus pada 2020. Konflik ini tidak hanya mengancam stabilitas sosial, tetapi juga melemahkan upaya konservasi yang seharusnya dilakukan oleh masyarakat adat. Begitupun juga konflik agrarian yang terjadi di Taman Nasional Tesso Nilo di Riau, mengancam hilangnya hutan sebagai habitat Gajah Sumatera, kini hanya menyisakan kurang dari 20 persen dari luas totalnya.

Mendesak Transisi ke Ekonomi Restoratif

Data dan bukti empiris menunjukkan bahwa model ekonomi ekstraktif sawit di Sumatera berada di ambang kolaps ekologis dan sosial. Solusi tidak dapat dicapai melalui mitigasi parsial, melainkan melalui transisi kebijakan yang radikal.

Diperlukan penguatan penegakan hukum terhadap 81% konsesi ilegal dan implementasi skema ekonomi restoratif. Ini mencakup program pemulihan kawasan hulu, restorasi hidrologi gambut, dan percepatan pengakuan hak-hak masyarakat adat atas wilayah kelola mereka. Mengabaikan koreksi fundamental ini berarti secara sengaja membiarkan Sumatera tenggelam dalam pusaran bencana yang terus menerus diciptakan.

#konservasi, Ekonomi Ekstraktif, Keanekaragaman hayati, Kelapa sawit, Konflik Agraria, Sumatera, Taman Nasional, deforestasi
Tentang Penulis
Dodik Suprayogi
Independent

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

2025-11-29
Difference:

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *