Pulau kecil disebelah utara Pulau Timor ini menyajikan ekosistem yang beragam dari hutan dataran rendah sedang, hutan tropika kering, savana dan mangrove yang menjadi benteng lautan. Bambu yang bergerombol hijau pada lahan kering menjadi pemandangan ketika pesawat akan mendarat di Bandar Udara Soa Bajawa. Pintu gerbang menjelajahi wilayah kaya tradisi berbingkai kekayaan alam yang memukau. Perubahan suhu pada saat menempuh rute dari Bandara Udara Soa Bajawa ke arah dataran tinggi flores bagian Tengah, Nusa Tenggara Timur akan dirasakan sepanjang perjalanan. Panas yang perlahan berubah menjadi lebih sejuk dan cenderung dingin akan dirasakan seiring dengan rumpun-rumpun bambu yang makin rapat ditemui di kanan kiri jalan. Bambu merupakan saksi perjalanan panjang masyarakat Ngada yang memperkaya tidak hanya dari sisi ekologi dan ekonomi tetapi juga menjadi pengikat sosial dan budaya. Bambu pada Masyarakat Ngada diwariskan dari generasi ke generasi sehingga menjadi bagian kehidupan yang tidak terpisahkan dari pemiliknya.
Data menunjukkan bahwa Indonesia memiliki 176 spesies bambu atau sekitar 10,86% dari spesies bambu dunia. Sementara, bambu yang dibudidayakan masyarakat Ngada hanya didominasi oleh 3 jenis bambu. Bambu tersebut diantaranya adalah Bambu Betung (Dendrocalamus asper) atau biasa disebut oleh masyarakat lokal sebagai bheto, Bambu Ater/Pering (Gigantochloa atter) atau penduduk mengenalnya sebagai peri dan Bambu Ampel/Gurung (Bambusa vulgaris) yang secara lokal dikenal sebagai guru. Jenis bambu yang mendominasi tersebut bukan hanya sekedar pelengkap dalam susunan vegetasi lokal di kebun-kebun masyarakat tetapi memiliki fungsi manfaat yang berbeda. Fungsi tersebut diantaranya adalah sebagai bahan kontruksi, kerajinan, hingga keperluan upacara adat. Keberagaman penggunaan bambu mencerminkan pengetahuan masyarakat dalam mengelola jenis bambu sesuai dengan karakteristik dan sifat-sifatnya serta menunjukkan keselarasan antara kebutuhan dengan daya dukung alam Ngada.

Keberadaan Bambu sebagai penjaga lanskap tidak terlepas dari berbagai fungsi ekologi yang diemban satu rumpun bambu dalam suatu ekosistem. Menaungi dari teriknya matahari hingga perakaran yang mengikat erat tanah subur Ngada. Jenis perakaran rhizome yang kuat dan padat pada spesies ini memiliki kemampuan untuk mencegah terjadinya erosi dan longsor pada wilayah-wilayah perbukitan yang mendominasi wilayah Ngada. Kemampuan bambu dari sisi ekologis bukan hanya sekedar mencengkram tanah, tetapi juga berperan dalam siklus air. Para peneliti pernah mengungkapkan bahwa bambu mampu meningkatkan inflitrasi air hujan hingga 25% dibandingkan dengan areal tanpa vegetasi. Peran bambu, tidak hanya terbatas meberikan manfaat terhadap kehidupan manusia, hewan pun memetik manfaat dari keberadaannya. Bambu mampu menciptakan koridor ekologis yang penting bagi berbagai spesies fauna. Oleh karena itu, pada sisi ekologis, bambu bukan hanya dipandang sebagai tanaman saja, melainkan infrastruktur ekologis yang hidup yang dapat menjamin keberlanjutan ekosistem Ngada dalam bayang-bayang degradasi dan tekanan perubahan iklim terhadap pulau-pulau kecil.
Nilai ekonomi seringkali menjadi pendorong atas keberlanjutan atau kepunahan dari suatu spesies dan hal itu juga berlaku untuk bambu di Kabupaten Ngada. Oleh karena itu, untuk menjaga keberadaan bambu di tanah Ngada perlu didukung perencanaan strategis dan keterlibatan para pihak dalam pengelolaan bambu di Ngada. Bambu di Ngada mampu membuka lapangan kerja baru dengan tingginya permintaan kerajinan anyaman bambu khususnya di desa adat seperti Wogo dan Bena. Aktivitas tersebut mampu memberikan sumbangan terhadap pendapatan rumah tangga. Namun, potensi ekonomi tersebut memerlukan pengetahuan komprehensif dan pandangan bijak dalam pengelolaannya, diantaranya melalui sistem panen berkelanjutan, sertifikasi produk, dan pengembangan ekonomi sirkular berbasis bambu di Ngada.
Pada sisi sosial dan budaya, bambu pada masyarakat Ngada bukan cuma sekedar adat-istiadat tetapi merupakan sistem pengetahuan lokal yang terintegrasi secara erat dengan pola-pola kehidupan baik individu maupun masyarakatnya. Penggunaan bambu pada rumah baik rumah pribadi maupun rumah adat merupakan pengetahuan yang telah diwariskan oleh para leluhur masyarakat adat. Setiap komponen dan teknik pengerjaan material bambu untuk pembuatan rumah didasarkan pada pengetahuan lokal yang menjadi warisan dari para tetua. Proses tersebut dimulai dari pemilihan jenis bambu tertentu untuk ketahanan, teknik sambungan tradisional tanpa paku, hingga pola anyaman yang memiliki makna simbolis.
Secara umum dapat disimpulkan bahwa pada kehidupan Masyarakat Ngada Bambu merupakan entitas yang menjadi pemersatu bagi filosofi spiritual, keberlanjutan ekologis, ketahanan ekonomi, serta keterikatan yang harmonis pada dimensi sosial-budaya. Spesies ini secara ekologis berkedudukan sebagai penjaga lanskap yang menyediakan berbagai jasa lingkungan pendukung kehidupan serta menjadi pengikat kolektivitas sosial yang mewarnai kehidupan Masyarakat Ngada baik di masa lalu, masa kini maupun bertahun kemudian. Keberadaan bambu di dunia yang semakin berubah tertekan oleh dinamika modernisasi jaman. Modernisasi dapat menggerus material-material tradisional seperti bambu. Selain itu, perubahan pola pikir pada generasi muda khususnya pada pengetahuan tradisional seperti ketrampilan menganyam dan membuat bangunan dengan bambu dapat menyebabkan putusnya mata rantai pengetahuan tradisional. Namun, Masyarakat Ngada telah membuktikan bahwa bambu bukan sekadar tanaman melainkan juga merupakan identitas ekologis dan kultural, yang menegaskan hubungan antara manusia dengan alam yang dapat mendukung keberlanjutan masa depan.
Terkait