Menurut kajian para ahli geologi, sekitar 300 juta tahun lalu daratan di Bumi masih berupa satu benua yang dinamakan Pangea. Benua tersebut dikelilingi oleh satu samudra besar Panthalasa. Pangea kemudian terpecah menjadi dua benua besar yakni Laurasia (di utara) dan Gondwana (di selatan) pada kisaran waktu 200 juta tahun lalu. Benua inilah yang kemudian terpecah mencapai konfigurasi yang lebih dekat dengan keadaan sekarang sekitar 55 juta tahun yang lalu. Proses pergerakan lempeng tersebut, secara spasial meliputi berbagai hal penting, seperti Daratan India, yang sebelumnya berada pada belahan bumi selatan, bergerak menuju ke utara dan bergabung dengan benua Asia, sehingga dalam banyak literatur, India sering dinamakan sebagai anak benua Asia. Amerika selatan yang bergerak ke utara dan menjadi satu rangkaian dengan Amerika Utara, dengan digabungkan oleh daerah genting yang kemudian juga sangat terkenal dengan keberadaan terusan Panama. Indonesia menjadi bukti bagaimana kepingan bumi belahan selatan dan utara bertemu dan menghasilkan satu gugusan kepulauan dengan asal-usul, proses pembentukan, dan letak yang memungkinkannya memiliki keanekaragaman tumbuhan dan satwa yang sangat tinggi.
Keberadaan flora dan fauna baik yang masih ada ataupun berupa fosil, sering dijadikan bukti mengenai teori lempeng benua. Kita mengenal burung kasuari di Papua, burung emu di Australia, burung onta di Afrika dan burung rhea di Amerika. Jenis-jenis burung tersebut merupakan anggota ordo Sthrutioniformes, yang masih memiliki struktur rahang primitif dan walaupun memiliki sayap, namun pergerakan utamanya adalah dengan berlari. Jenis-jenis tersebut memiliki bentuk relatif sama, namun tersebar pada benua yang berjauhan. Kita juga mengenal adanya Tapirus indicus yang bisa dijumpai di Asia tenggara (Gambar 1), dan tiga jenis tapir lainnya di Amerika Selatan (Tapirus pinchaque, T. terrestris dan T. bairdii).

Gambar 1. Tapirus indicus
Tanpa memahami sejarah geologi, akan sangat sulit menjabarkan bagaimana jenis yang memiliki bentuk dan kekerabatan relatif dekat bisa tersebar pada benua yang berjauhan, dan juga tanpa keberadaan flora dan fauna akan sulit membuktikan kebenaran teori pergerakan lempeng benua
Flora dan fauna yang ada pada masa sekarang adalah para penyintas, yang telah melalui berbagai tekanan, baik fisik (perubahan geologis, zaman es, pergeseran geografis) maupun biologis (kompetisi, adaptasi, dan evolusi). Karenanya, bercerita tentang flora dan fauna, kita tidak hanya bercerita tentang berapa jumlah jenis dan keanekaragamannya saja, namun kita tengah memperjuangkan dan merawat artefak sejarah alam yang mewakili proses yang telah berjalan jutaan tahun…… sesuatu yang bahkan tak bertepi.
Peringatan hari cinta puspa dan satwa merupakan salah satu upaya untuk merawat cinta yang tak bertepi. Kita belum tahu pasti berapa jenis tumbuhan dan satwa yang mendiami, dari palung laut terdalam hingga puncak gunung tertinggi dari Sabang sampai Merauke. Kita masih membutuhkan sebuah mission (slightly) impossible untuk melakukan final reckoning berapa jenis tumbuhan dan satwa yang kita miliki. Karenanya memperingati hari cinta puspa dan satwa diharapkan bisa “menggugah kesadaran dan kecintaan kita semua pada puspa tanaman dan satwa alam kita” sebagaimana disampaikan oleh Presiden Soeharto pada pencanangan hari cinta puspa dan satwa pada tanggal 5 November 1993 melalui Kepres Nomor 4 Tahun 1993 tentang Satwa dan Bunga Nasional. Hari cinta puspa dan satwa merupakan bentuk pengakuan nasional atas keanekaragaman hayati Indonesia serta sebagai pengingat atas kewajiban kita untuk menjaganya. Meskipun telah ada landasan hukum dan momentum nasional, pelestarian puspa dan satwa menghadapi berbagai tantangan nyata, seperti hilangnya habitat alami akibat deforestasi, alih guna lahan, kerusakan ekosistem, perburuan dan perdagangan ilegal satwa serta flora langka, perubahan iklim dan polusi yang mempengaruhi keseimbangan ekosistem, serta kurangnya kesadaran masyarakat dalam tindakan sehari-hari yang mendukung pelestarian.
Peringatan hari cinta puspa dan satwa perlu menjadi prioritas kaum muda. Adanya fenomena shifting baseline syndrome (bergesernya nilai nilai dasar yang dimiliki) seperti berkurangnya ketergantungan dengan keanekaragaman hayati menjadi sesuatu yang perlu diperhatikan. Sebagai ilustrasi hal ini bisa kita ambil pada masyarakat Minangkabau di Sumatra Barat yang mempunyai kearifan tradisional dengan falsafah “Alam Takambang Jadi Guru” (Menjadikan alam sebagai guru/ruang pembelajaran). Dengan falsafah tersebut seluruh komponen masyarakat mesti menyadari bahwa apa yang ada di sekitar adalah media pembelajaran untuk kehidupan yang lebih baik, dan keberadaan masyarakat tidak terlepas dari lingkungan yang ada di sekitarnya. Hal ini sangat terlihat dari berbagai aktivitas keseharian dan budaya masyarakat Minangkabau yang sangat bersentuhan dengan alam, seperti adanya tarian alang babega (elang yang sedang terbang berputar-soaring), ukiran itiak pulang patang (bebek pulang ke kandang pada sore hari), penggunaan saluang (seruling dari bambu), serta berbagai kuliner dengan rempah berupa umbi, daun, dan minyak yang dihasilkan dari berbagai jenis tumbuhan dan satwa yang ada disekitarnya, serta pemanfaatannya berbagai tumbuhan sebagai bahan obat-obatan (Gambar 2). Perubahan pada tatanan sosial dan berkurangnya interaksi dengan alam menyebabkan berbagai kearifan tersebut tidak semuanya dinikmati oleh generasi sekarang. Ketika kepedulian tersebut berkurang, maka tereliminasi pula beberapa komponen keanekaragaman hayati tersebut.

Gambar 2. Sitawa dan Sidingin, dua jenis tumbuhan yang sangat umum dalam pengobatan tradisional Minangkabau
Hilangnya suatu kearifan tradisional, bisa memicu hilangnya suatu entitas keanekaragaman, Hilangnya satu unsur keanekaragaman bisa menghilangkan pula warisan kebudayaan
Hari cinta puspa dan satwa saat ini menjadi semakin relevan, karena kita tengah menghadapi kondisi di mana flora dan fauna semakin terdesak oleh tekanan aktivitas manusia dan perubahan global. Meningkatnya perhatian global terhadap keanekaragaman hayati (seperti Kunming‑Montreal Global Biodiversity Framework), menjadikan peran Indonesia sebagai negara mega-biodiversitas menjadi semakin strategis. HCPSN merupakan media mengaktualisasikan tanggung jawab bersama—bahwa setiap tindakan kita, sekecil apapun, memiliki kontribusi terhadap kelangsungan kehidupan tumbuhan dan satwa. setiap makhluk hidup, sekecil apapun, memiliki perannya dalam rangkaian kehidupan. Apabila kita merusak satu bagian, maka rantai keseimbangan bisa terganggu.
Terkait