Apakah Indonesia Masih Layak Disebut Negara Megabiodiversitas?

Aktivitas, Flora, Kehutanan, Kelautan, Satwa, Tumbuhan
Apakah Indonesia Masih Layak Disebut Negara Megabiodiversitas?
5 November 2025
67
0

Perayaan Hari Cinta Puspa dan Satwa Nasional (HCPSN) pada tiap tanggal 5 November dapat menjadi sebuah momentum untuk kembali menengok siapa diri kita, sebagai bangsa pewaris kekayaan hayati yang luar biasa. Namun, di balik gegap gempita kampanye cinta alam, seiring hilangnya hutan, terjadinya krisis iklim, dan tingginya tekanan pembangunan, muncul pertanyaan reflektif: masihkah Indonesia layak disebut negara megabiodiversitas?

Predikat “megabiodiversitas” yang kita miliki bukan sekadar gelar kehormatan ekologis. UNEP-World Conservation Monitoring Centre menyatakan hanya 17 negara di dunia yang tergolong megabiodiverse, dan Indonesia, negara kita ini menempati posisi kedua setelah Brasil. Apa yang kita miliki? Kekayaan hayati berupa sekitar 10% spesies tumbuhan berbunga dunia, 12% mamalia, dan 17% burung, dengan ribuan spesies endemik yang tak ditemukan di tempat lain. Dari kekayaan di daratan berupa hamparan hutan tropis Sumatera hingga Papua, kehidupan bawah laut berupa warna warni terumbu karang  hingga sejumlah palung, belum lagi kehidupan pesisir di ekosistem mangrove, menjadikan kekayaan hayati Indonesia sebagai fondasi identitas ekologis bangsa ini.

Sayangnya, fakta yang sedang terjadi selama dua dekade terakhir menunjukkan ironi yang pahit. Di balik “mahkota megabiodiversitas”, Indonesia juga menjadi salah satu negara dengan laju kehilangan keanekaragaman hayati tertinggi di dunia. Laporan terbaru IUCN Red List Version 2025-2 menempatkan Indonesia sebagai negara dengan jumlah spesies terancam tertinggi di Asia Tenggara, mencapai 2.839 spesies. Dari jumlah itu, lebih dari separuhnya (54%) merupakan tumbuhan, diikuti oleh invertebrata (14%) dan ikan (13). Data ini menegaskan pentingnya konservasi lintas-ekosistem yang tidak hanya berfokus pada satwa karismatik, tetapi juga pada keanekaragaman flora fauna yang menopang kehidupan.

Data tersebut juga merilis status hewan dan tumbuhan Indonesia yang masuk kategori IUCN. Pada status konservasi tumbuhan Indonesia, terlihat bahwa lebih dari 1.500 spesies (sekitar 22%) kini berstatus terancam punah (kategori Critically Endangered, Endangered, dan Vulnerable). Sementara kelompok Least Concern (LC) memang mendominasi (61,8%), yang artinya masih banyak spesies yang belum dipantau secara menyeluruh.

Pada  spesies hewan, dari total lebih dari 10.900 spesies, sebanyak 1.302 spesies telah masuk kategori terancam punah, termasuk ratusan mamalia, burung, ikan, dan invertebrata. Kategori Least Concern (7.551 spesies) masih besar, tetapi lebih dari 14% fauna nasional masuk dalam kategori Data Deficient (DD) yang artinya, kita bahkan belum tahu apakah mereka masih aman atau justru menuju kepunahan.

Dari data tersebut terdapat pola yang menegaskan satu kenyataan pahit, bahwa Indonesia memang masih kaya biodiversitas, tetapi keseimbangan ekologinya rapuh. Lebih dari 2.800 spesies hewan dan tumbuhan kini berada di ambang keterancaman, menjadikan negeri ini bukan hanya pusat kehidupan, tetapi juga pusat kehilangan. Padahal ketika satu spesies hilang, kita tidak hanya kehilangan makhluk hidup. Lebih dalam, kita kehilangan fungsi ekosistem, pengetahuan lokal, dan potensi ekonomi masa depan.

Degradasi keanekaragaman hayati yang sedang berlangsung ini bukan semata-mata akibat faktor alam, tetapi hasil dari pilihan politik dan ekonomi yang seringkali menempatkan alam sebagai instrumen pertumbuhan. Tekanan yang berasal dari deforestasi dan konversi lahan menjadikan kawasan hutan yang dulu menjadi rumah bagi ribuan spesies kini terfragmentasi menjadi blok-blok kecil diapit oleh kebun dan permukiman.

Sebuah artikel di TheJakartaPost menyebutkan total deforestasi bruto pada tahun 2024 mencapai 216.200 ha, yang meskipun terdapat upaya reboisasi seluas 40.800 ha, kita tetap mengalami kehilangan seluas 175.400 ha. Selanjutnya, data Global Forest Watch menunjukkan, dari tahun 2002 hingga 2024, Indonesia kehilangan 10,7 juta hektar hutan primer basah, yang setara dengan 11% dari luas total hutan primer basah pada periode tersebut.

Apa penyebabnya? Pola pembangunan yang lebih menekankan nilai ekonomi jangka pendek sering mengabaikan fungsi ekologis jangka panjang. Bahkan sering kali, konservasi dipersepsikan sebagai kegiatan yang “menghambat pembangunan.” Padahal, biodiversitas adalah fondasi ekonomi hijau. Ekosistem yang sehat menjaga produktivitas pertanian, kualitas air, ketahanan pangan, hingga mitigasi bencana. Banyak penelitian menunjukkan bahwa nilai ekonomi dari jasa ekosistem Indonesia, seperti penyerapan karbon, maupun penyediaan air, jauh melampaui pendapatan dari eksploitasi sumber daya alam mentah. Namun karena manfaat ini tidak tercermin dalam harga pasar, biodiversitas tetap diperlakukan sebagai sesuatu yang bisa dikorbankan demi pertumbuhan jangka pendek.

Dampaknya, nasib hutan hujan tropis Indonesia yang dahulu dibanggakan sebagai “paru dunia” kini semakin terfragmentasi. Ibarat kanker yang menggerogoti paru-paru, masih bisakah bernafas dengan baik sementara penyakit itu kian kronis?

Cinta yang tak cukup dengan simbol

Perayaan Hari Cinta Puspa dan Satwa Nasional sering kali berhenti pada tataran simbolik: lomba foto satwa, aksi tanam pohon, atau unggahan dengan beragam tagar. Semua itu baik, namun belum cukup. Sementara di lapangan, populasi satwa maupun tumbuhan terus menurun dan hutan terus tergerus.

Dengan demikian, apakah Indonesia masih layak menyandang gelar megabiodiversitas? Jawabannya: ya, tapi ada syaratnya. Kita perlu menggeser konservasi dari pendekatan simbolik menuju pendekatan bioekonomi dan ekologi sistemik. Dalam pendekatan ini, biodiversitas tidak hanya dipandang sebagai entitas yang harus dilindungi, tetapi juga penopang ekonomi melalui jasa ekosistem: penyediaan air, penyimpanan karbon, pengendalian hama alami, dan sejumlah jasa ekosistem lainnya. Tanpa valuasi ekonomi yang jelas, alam akan terus dipandang “gratis” dan dieksploitasi tanpa batas. Kita perlu mengadopsi pendekatan bioekonomi untuk mengintegrasikan nilai ekologis dan sosial dalam pengambilan keputusan ekonomi.

Di tengah krisis iklim dan degradasi habitat, cinta terhadap puspa dan satwa harus diterjemahkan menjadi keberanian politik dan konsistensi ilmiah. Indonesia memiliki semua prasyarat menjadi pelopor megabiodiversitas yang berdaulat, asalkan mampu mengubah arah pembangunan dari ekonomi ekstraktif menuju ekonomi ekologis yang berpihak pada kehidupan. Jika kita gagal menjaga biodiversitas, maka predikat “megabiodiversitas” akan tinggal nama. Namun jika kita berhasil mengelola kekayaan hayati dengan bijak, dunia akan kembali menatap Indonesia bukan sekadar sebagai negeri yang kaya keanekaragaman hayatinya, tetapi sebagai teladan bagaimana ilmu, ekonomi, dan nilai-nilai lokal berpadu untuk melestarikan kehidupan.

#konservasi, Keanekaragaman hayati, biodiversitas, biodiversity
Tentang Penulis
Aisyah Handayani
Peneliti BRIN

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *